UNDANG-UNDANG Dasar 1945 nyaris tak mungkin diubah. Pada 18
Agustus 1945 siang, beberapa jam sebelum UUD yang disusun oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia disahkan, anggota Iwa
Kusumasumantri mengajukan usul pada Ketua PPKI Soekarno: "Di
sini belum ada artikel tentang perubahan Undang-undang Dasar dan
itu menurut pendapat saya masih perlu diadakan."
Usulnya diterima. Rencana UUD itu ditambah satu pasal yang
merupakan satu bab tersendiri, Bag XVI tentang Perubahan
Undang-undang Dasar. Terdiri atas dua ayat: 1. Untuk mengubah
UUD sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota MPR harus
hadir 2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kuranngya
2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.
Sebelumnya terjadi perdebatan tentang tata cara pengambilan
keputusan. Anggota Subardjo berkeberatan atas cara pengambilan
keputusan yang harus disetujui 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir. Alasannya: "Dalam praktek bisa menyebabkan diktatur." Ia
mengusulkan agar dipakai cara pengambilan keputusan "dengan
suara yang terbanyak".
Usul ini ditolak oleh anggota Supomo, yang merancang pasal 37
tersebut. Tokoh Islam Ki Bagus Hadikusumo kemudian mendukung
pendapat Supomo berdasar alasan perubahan UUD begitu penting
hingga tidak bisa diputuskan oleh separuh lebih satu orang
anggota.
Ketua Soekarno kemudian menawarkan pada sidang untuk mengambil
keputusan dengan pemungutan suara. Yang setuju dengan rumusan
Supomo agar mengangkat tangan. "Siapa yang mufakat, saya minta
supaya mengangkat tangan," ujar Soekarno. Ternyata dari 27
anggota, ada 16 yang mengangkat tangan. Dengan begitu masuklah
pasal 37 dalam UUD 1945.
Walaupun pasal tentang kemungkinan perubahan UUD nyaris
dilupakan, itu tidak berarti UUD dirancang "asal saja". UUD 1945
semula dirancang oleh suatu Panitia Kecil dari Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Panitia yang bernama
Panitia Perancang UUD ini diketuai oleh Soekarno dengan 18
anggota. Mereka mulai bekerja sejak 11 Juli 1945.
Kesadaran akan pentingnya tugas mereka tercermin dalam ucapan
Soekarno yang dalam suatu sidang mengingatkan para anggota:
"Pekerjaan ini tidak boleh kita selesaikan dengan gugup." Dan
karena suatu UUD adalah satu hal yang keramat bagi rakyat, "kita
perlu mengingat akan kekeramatan pekerjaan itu."
Toh semua anggota panitia tampaknya sadar, UUD yang mereka
rancang bersifat "sementara". Seperti dikatakan Soekarno: "UUD
yang buat sekarang ini adalah UUD sementara. Kalau boleh saya
memakai perkataan: ini adalah UUD kilat. Nanti kalau kita telah
bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat UUD yang lebih
lengkap dan lebih sempurna."
Itu sebabnya dirancang suatu UUD yang sangat singkat dan soepel
(elastis), tidak lebih dari 40 pasal. Alasannya, menurut Supomo
(yang kemudian dicantumkan dalam penjelasan UUD): "Kita harus
menjaga supaya sistem UUD dan undang-undang lainnya jangan
sampai ketinggalan zaman. Jangan sampai kita membuat
undang-undang yang lekas verouderd, lekas usang."
Semua perkiraan dan harapan itu diucapkan 36 tahun yang lampau,
pada suatu hari di bulan Juli 1945. Rupanya tuntutan aman dan
jalan sejarah menentukan lain: UUD 1945 kini dianggap suatu
konsensus nasional yang harus dilestarikan.
Tapi itu tak berarti UUD itu menjadi sesuatu yang menjepit mati.
Tiap lima tahun sekali MPR merumuskan Garis-Garis Besar Haluan
Negara. Meskipun GBHN itu harus berpegang pada UUD 1945, tapi ia
bisa diharapkan jadi mekanisme perubahan aturan pokok, yang
disesuaikan dengan perubahan keadaan tiap lima tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini