Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah cepat Ketum NasDem Surya Paloh (SP) dan Ketum PKB mendeklarasikan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) patut diapresiasi. Setidaknya ini telah memecah kebuntuan, meskipun cukup mengagetkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebuntuan, bisa dilihat di internal koalisi pendukung Prabowo Subianto (PS) sendiri, dengan masuknya PAN dan Golkar, yang tentu masing-masing punya kepentingan untuk tampil sebagai Cawapresnya PS. PAN telah menggadang-gandang Erick Thohir, Golkar ya Ketumnya sendiri. Meskipun, kita tahu, kedua partai itu juga telah “sepakat” akan mengusung Gibran yang tinggal menunggu keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) saja soal syarat umur: dari 40 menjadi 35 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenyataan tersebut, pada akhirnya tentu sangat tidak menguntungkan Cak Imin. Dia tidak mau di “PHP” lagi sebagaimana 2019 yang lalu. Bagaimanapun PKB telah merintis koalisi dengan Gerindra sejak awal, tapi berkaitan dengan perubahan nama dari KKIR ke KIM saja PKB tak dilibatkan. Artinya, di sana PKB hanya dibutuhkan suaranya. Pantaslah jika Ketum PKB kemudian mengambil jalan pintas sendiri bersama NasDem.
Di pihak NasDem juga begitu. Tak mungkin Ketum SP akan terus-menerus larut dalam perdebatan penentuan Cawapres bersama Demokrat dan PKS yang masing-masing punya jago sendiri. Kalaupun keduanya bersepakat mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), meskipun dia Ketum Demokrat, tapi kendali ada di Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jelas, Ketum SP tak punya sejarah kebersamaan dengan Presiden ke-6 tersebut. Menduetkan Anies Baswedan (AB) dengan AHY juga cukup berat secara elektoral, apalagi untuk menkonsolidasi basis nahdliyin terutama di Jatim dan Jateng.
Jadi, keputusan SP dan Cak Imin sebenarnya sangat realistis. Meskipun tidak ideal. Bagi Cak Imin khususnya, dia harus memperjuangan “idealisme” kepartaian. Masa Ketum Partai hanya jadi pendukung, masa Ketum PKB gambarnya gak nongol di kertas suara Pilpres.
Lalu, bagaimana dengan suara nahdliyin?
Tak salah juga jika dikatakan suara nahdliyin masih cair. Bisa ke mana-mana. Juga tergantung calonnya. Saat ini Ketum SP sudah bisa menyandingkan dua tokoh muda, mereka masih berumur 50-an. Bagaimanapun, Cak Imin yang masih cicit pendiri NU punya ikatan di kalangan nahdliyin. Tinggal bagaimana sekarang dengan Prabowo dan Ganjar?
Setidaknya, ada dua opsi. Pertama, mereka harus mengambil calon pendamping dari NU yang punya jejaring kuat. Misalnya, Khofifah Indar Parawansa. Sebagai Ketum Muslimat, pengaruhnya sangat kuat. Atau Gus Yaqut, Ketum Ansor, yang pasukan Banser-nya tak kurang dari 7 juta.
Pertanyaannya, mereka dipasangkan dengan siapa? Beberapa waktu lalu, Ganjar sudah sowan ke ibunda Gus Yaqut. Saya berkeyakinan, itu juga bagian dari cara Ganjar untuk meminang Gus Yaqut, sebagaimana juga yang dilakukan AB ke ibunda Cak Imin.
Tapi, yang menentukan itu kan bukan Ganjar. Berkali kali dia bilang, nunggu keputusan Ibu Ketum Megawati Soekarnoputri. Kabar yang saya terima, dan ini sangat percaya berdasarkan Pilpres 2019, konon Ibu Ketum menghendaki pendamping Ganjar yang sudah cukup umur, yang sudah berusia 70-an.
Jika itu yang dikehendaki, ada beberapa pilihan misalnya: kembali menampilkan KH. Ma'ruf Amin yang pada 2024 nanti sudah berumur 81 tahun. Atau, Ganjar dengan Habib Lutfi bin Yahya, atau dengan KH. Said Aqil Siraj, atau bisa juga dengan KH. Anwar Iskandar, Wakil Rais Aam PBNU dan Ketum MUI yang baru. Beliau-beliau sangat kuat juga pengaruhnya di kalangan nahdliyin.
Adapun opsi kedua, Prabowo dan Ganjar bersatu. Siapa Capres dan Cawapresnya, tinggal para Ketum selain Ketum NasDem, PKB dan Demokrat berembug saja. Pilihan Demokrat, mau abstain atau bergabung untuk balas dendam kekecewaannya dengan SP dan Anies.