Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Begitu keluar dari Bandar Udara Ngurah Rai, saya kesulitan mendapatkan taksi. Terpaksa menggunakan taksi liar. Taksi liar? Ya, ini julukan untuk mobil pribadi yang dipakai pemiliknya untuk mengangkut orang dan menarik uang jasa, sebagaimana halnya taksi. Jadi, belum bernama taksi, bagaimana bisa disebut liar?
Begitulah kelaziman. Kalau sebuah istilah sudah populer, orang tak peduli apakah istilah itu benar atau salah. Di atas taksi, maksud saya ketika sudah duduk di dalam mobil, bukan di atas kap mobil, saya bertanya kepada sopir, kenapa taksi bandara tidak beroperasi. ”Mereka protes karena diizinkannya 50 armada taksi memasuki bandara lagi,” katanya. Saya mengangguk.
Bukankah armada lebih sering dikaitkan dengan laut? Ada teman saya yang keluarganya semua memakai nama yang berhubungan dengan laut, seperti laksamana, samudra, dan armada. Kamus pun menyebutkan armada sebagai alat angkut di laut seperti kapal perang, kapal dagang, dan perahu. Tetapi bahasa itu hidup, armada taksi sudah lazim di telinga, seperti kalimat ini: ”Armada taksi di Denpasar tak pernah diminati orang Bali.”
Cuma, yang membingungkan dari ucapan Pak Sopir tadi kalau kita konsekuen merujuk ke bahasa yang baku adalah ”50 armada taksi”. Apa yang dimaksudkan? Armada adalah satu kesatuan, seperti halnya pasukan, kumpulan, dan gerombolan. Pak Sopir pasti ingin mengatakan ada 50 taksi yang diizinkan lagi memasuki bandara, bukan 50 kesatuan taksi. Jadi hilangkan kata armada kalau yang dimaksudkan sudah disebutkan dengan angka.
Koran-koran lokal juga sering kali salah dalam memakai kata massa. ”Ratusan massa melakukan aksi unjuk rasa di Pengadilan Tinggi menuntut Amrozy dieksekusi,” tulis sebuah koran. Apa yang dimaksudkan dengan ratusan massa? Apakah ratusan kelompok orang (jadi jumlahnya bisa ribuan orang) atau hanya ratusan orang? Massa seperti halnya armada adalah suatu kesatuan yang tak terbatas jumlahnya, namun memiliki suatu kesamaan. Salah kaprah seperti ini membuat pembaca mengaitkan selalu dengan situasi dan kondisi. Dalam kasus aksi unjuk rasa ini sudah pasti yang dimaksudkan adalah ratusan orang, bukan ratusan massa. Tetapi berita yang lain berbunyi begini: ”Puluhan massa berkumpul di lapangan ketika Presiden meresmikan Pesta Kesenian Bali,” maka yang dimaksudkan pasti pu-luhan kelompok orang dengan kekhasannya masing-masing. Memang ada ribuan orang yang menyemut (bukan seperti semut, melainkan seperti kerumunan semut) di lapangan itu.
Penggunaan beberapa kata yang sudah berarti jamak memang rancu pemakaiannya di masyarakat, karena media massa, baik televisi maupun koran dan majalah, tidak konsekuen untuk menggunakan bahasa yang baku. Apalagi para pemimpin kita sama sekali tak memperhatikan masalah ini. Namun, ketentuan jamak itu sendiri juga tak pernah baku.
Ada satu hal yang menarik ketika saya membaca sebuah majalah sederhana yang diterbitkan oleh guru-guru penggemar bahasa Indonesia. Mulanya ada ulasan yang menyebutkan bahwa kalimat ”gerombolan perampok itu beraksi di sebuah desa, namun kedua perampok akhirnya tertangkap” tidak tepat digunakan karena perampoknya hanya dua orang. Gerombolan perampok itu berarti banyak, sebut saja dua perampok, tulis seorang guru. Pendapat ini dibantah oleh guru lain. Sebuah kalimat yang baik, kata guru bahasa itu, harus menghindari penggunaan dua kata yang sama. Kalau tidak disebut gerombolan, berarti ada pengulangan ”kedua perampok”. Bukankah dua orang sudah berarti jamak? Kalau tidak, lalu berapa angka yang tepat untuk memastikan bahwa perampok itu bisa disebut gerombolan? Belum ada komentar lanjutan.
Gerombolan, armada, massa, dan banyak contoh lain memang bukan jumlah yang pasti seperti kompi, batalion, peleton, dan sebagainya. Namun, bahasa yang hidup tak selalu harus baku. Kita bisa segera menyimpulkan dengan ”rasa”.
Lamunan saya buyar oleh ucapan Pak Sopir: ”Bapak rupanya sudah banyak mengunjungi negara-negara di dunia ini.” Saya menjawab dengan bahasa baku: ”Tidak begitu banyak, yang saya tunggu adalah mengunjungi negara di dunia yang lain.” Sopir kaget: ”Apa ada dunia yang lain? Itu kan dunia akhirat?” Saya tertawa: ”Tadi kan Bapak yang bilang negara di dunia ini, berarti ada negara di dunia yang itu, yang bukan dunia ini.” Kami diam, taksi liar tetap melaju dengan tertib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo