Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sohib yang Bernama Demokrasi

Buku yang menunjukkan bahwa inkompatibilitas Islam dengan demokrasi tak terbukti. Sayang, pengarang banyak merujuk pada lembaga yang justru tak sejalan dengan temuannya.

2 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Demokrasi modern boleh jadi belum begitu panjang umurnya. Tapi tampaknya umat manusia harus hidup dengannya untuk waktu yang lama. Sebagian orang bahkan mungkin beranggapan bahwa demokrasi adalah satu-satunya masa depan umat manusia. Tanpanya, tak ada harapan bagi survival spesies ini. Karena itu, masih akan banyak seminar dan konferensi, juga buku, mengenainya. Buku ini salah satu di antaranya. Tujuan penulisannya bukan alang-kepalang pentingnya: pendapat yang menyatakan bahwa Islam tak kompatibel dengan demokrasi tidak terbukti. Setidaknya untuk Islam di Indonesia pada masa pasca-Orde Baru.

Awalnya adalah pandangan sebagian pengamat Islam, seperti Samuel Huntington, Bernard Lewis, dan Elie Keddourie, yang berupaya membuktikan bahwa dominannya otoritarianisme di dunia muslim terkait langsung dengan sifat Islam itu sendiri. Islam, menurut mereka, bertentangan dengan unsur-unsur demokrasi modern. Termasuk di dalamnya: keyakinan akan sifat total ajaran Islam yang melahirkan sikap antisekularisme dan antiliberalisme sebagai pilar demokrasi, konsep ummah yang merupakan alternatif terhadap ideologi negara-bangsa sebagai unsur utama politik modern dan konteks pemahaman demokrasi, serta tidak adanya civil society atau masyarakat kewargaan (sekuler, yang tak terikat dengan agama) sebagai modal sosial demokrasi.

Maka Saiful Mujani—doktor ilmu politik dari Ohio State University—melakukan penelitian untuk menguji apakah pandangan seperti ini benar-benar mendapatkan justifikasi empiris di dunia nyata. Hasilnya: semua hipotesis tentang inkompatibilitas Islam dan demokrasi tak terbukti. Dengan pendekatan civic culture (budaya kewargaan), yang untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba, dia mendapati bahwa dalam banyak hal Islam justru memiliki korelasi positif dan signifikan dengan pengembangan demokrasi dan unsur-unsurnya.

Meski dilakukan pada tingkat individual, penelitian Saiful seharusnya mendorong orang untuk mempertanyakan berbagai temuan sebagian pengamat atau lembaga pengamat demokrasi atas negara-negara bermayoritas muslim. Jika pengamat sekaliber Huntington dan Lewis mungkin melakukan kesalahan yang sedemikian penting, bukan tak mungkin lembaga-lembaga pengamat itu terjebak dalam kesalahan yang sama. Apalagi jika diingat ada cukup kemungkinan bahwa sikap warga suatu negara memiliki korelasi positif dan signifikan dengan cara pemerintahnya memerintah. Bukankah ada adagium people get the government they deserve?

Tanpa harus bersikap defensif, kiranya cukup masuk akal untuk membuka kemungkinan bahwa temuan-temuan tersebut boleh jadi sedikit-banyak stereotipikal. Apalagi, lepas dari kenyataan bahwa lembaga ini tentu amat berhati-hati dan telah mengambil langkah-langkah untuk menjadikan penelitian mereka obyektif, metodologi mereka bersifat kualitatif (analitis)—umumnya oleh peneliti asing, termasuk Daniel Pipes yang notorious itu—dan bukan kuantitatif-empiris sebagaimana yang dilakukan Saiful atas negerinya sendiri.

Maka disayangkan bahwa Saiful banyak merujuk kepada temuan Freedom House—sebuah lembaga pengamat demokrasi terpenting, yang menyatakan bahwa sebagian besar negara muslim tidak demokratis—tanpa melakukan kualifikasi atau kritik apa pun atasnya. Saya bahkan khawatir bahwa Saiful sedikit-banyak, sadar atau tidak, justru berbagi sebagian sikap lembaga ini ketika dalam kesimpulannya dia menyatakan bahwa ”…temuan ini (yakni temuan Saiful sendiri) tidak berarti menggugurkan tesis utama mengenai korelasi negatif antara Islam dan demokrasi, karena mayoritas negara yang penduduknya Muslim masih belum demokratis” (halaman 325). Sayang, Saiful tak menjelaskan dasar pernyataan ini—kepada para pengamat asing yang kesimpulannya ditolak oleh dia, termasuk kepada temuan-temuan Freedom House yang memang banyak dikutipnya.

Akhirnya, meski—seperti penelitian mana pun—penelitian Saiful ini terbuka terhadap kritik dari dunia ilmiah, orang tak dapat berkesimpulan selain bahwa melalui buku ini Saiful telah membuktikan komitmennya kepada kebutuhan setiap peneliti untuk bersikap rigorous dan obyektif. Maka penulis resensi ini tak bisa bersikap selain sepakat sepenuhnya dengan Anies Baswedan, yang mengomentari buku ini dengan menyatakan bahwa ”baik dari sisi metodologi maupun teori, karya ilmiah ini merupakan terobosan baru yang penting dalam kajian politik modern di Indonesia.”

Haidar Bagir, Direktur Utama Kelompok Mizan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus