Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAWA panas lumpur Lapindo kembali memantik api perseteruan. Lapindo Brantas Inc., unit usaha Grup Bakrie yang juga operator pengeboran ladang minyak dan gas Blok Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, membantah adanya peringatan dari Medco E&P Brantas untuk memasang selubung pipa bor (casing) sebelum bencana semburan lumpur terjadi.
Pernyataan itu tertuang dalam dokumen duplik penjelasan Lapindo Brantas yang dibacakan di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 11 Juni lalu. Sidang digelar dalam perkara gugatan perdata Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terhadap pemerintah pusat, Pemerintah Daerah Jawa Timur dan Bojonegoro, serta Lapindo Brantas.
”Kami ingin meluruskan pendapat yang telah tersebar,” kata pengacara Lapindo, Akhmad Mutosim. Ketika mengebor lapisan bumi di kedalaman 3.580-9.297 kaki, Lapindo memang belum memasang casing 9-5/8 inchi. Alasannya, ”Mata bor belum menyentuh formasi kujung,” kata Akhmad. Menurut prosedur, selubung bor seharusnya dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi kalibeng bawah dan formasi kujung (8.500 kaki).
Hal ini telah disepakati dalam rapat pada 18 Mei 2006, yang dihadiri perwakilan Medco, Lapindo, dan Santos. ”Karena itu, isi surat Medco tanggal 5 Juni 2006 yang isinya menyatakan bahwa Medco telah memberikan peringatan pada pertemuan 18 Mei 2006 adalah fakta yang tidak benar dan sangat menyesatkan opini publik,” begitu bunyi duplik tersebut.
Lapindo dan Medco E&P Brantas semula merupakan pemilik konsesi ladang migas Blok Brantas dengan porsi kepemilikan masing-masing 50 persen dan 32 persen—belakangan Medco Brantas dijual ke Grup Prakarsa. Sisanya 18 persen dimiliki oleh Santos (Brantas) Pty. Ltd. (Australia).
Bantahan itu merupakan pernyataan publik pertama yang diungkapkan pihak Lapindo Brantas dalam menanggapi surat Medco. Berbekal surat itu, Medco sempat membawa persoalan ini ke lembaga arbitrase internasional pada Oktober 2006. Dalam gugatannya, Medco membeberkan sejumlah pelanggaran Lapindo terhadap perjanjian kerja sama operasi. Salah satunya, soal peringatan kepada Lapindo agar memasang selubung bor untuk mengantisipasi kebocoran, yang ternyata tak diindahkan.
Berdasarkan bukti itu, Medco meminta arbitrase membebaskannya dari kewajiban memberikan kontribusi dana kepada Lapindo dalam penanggulangan bencana semburan lumpur panas yang terjadi sejak 29 Mei tahun lalu. Hal ini dinyatakan pula oleh Direktur Energi Mega, Yuli Soedargo, dalam laporan tertulisnya ke Bursa Efek Jakarta. ”Upaya Medco menghindari kewajiban membayar biaya-biaya yang menjadi bagiannya, sehubungan dengan insiden sumur Banjarpanji-1, adalah benar sepenuhnya,” katanya.
Budi Basuki, perwakilan Komite Operasi Medco Brantas, yang menandatangani surat peringatan tersebut, menyatakan siap maju ke pengadilan untuk mengklarifikasi. ”Surat itu adalah sikap kami,” ujarnya. Sedangkan soal pemasangan casing, kata Budi, ”Itu prosedur dalam setiap proses pengeboran.”
Untuk memperoleh kejelasan siapa yang benar, siapa yang berbohong, Tempo berusaha meminta keterangan dari pihak Santos. Sayangnya, dalam surat elektronik yang dikirim oleh manajemen Santos dari kantor pusatnya di Adelaide, Australia, mereka menyatakan menolak berkomentar.
Buat para pemilik konsesi Blok Brantas, kejelasan soal ini sesungguhnya penting untuk menentukan siapa yang harus menanggung beban biaya bencana. Bila Lapindo sebagai operator pengeboran terbukti melakukan kelalaian, beban sepenuhnya menjadi tanggungannya. Tapi, jika tidak terbukti, beban biaya ditanggung bersama oleh para pemilik konsesi.
Sebab itulah bisa dipahami kenapa Lapindo dan Medco sama-sama bertahan dengan pendapatnya. Apalagi, sejak lumpur menyembur pada akhir Mei tahun lalu, nilai kerugian terus membengkak. Menurut hitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hingga akhir Maret lalu, total kerugian ditaksir mencapai Rp 27,4 triliun.
Melihat risiko sebesar itu, wajar saja jika Grup Bakrie dan Grup Medco pun sama-sama ngotot ingin melepaskan keterkaitannya dengan urusan Blok Brantas. PT Energi Mega Persada milik Grup Bakrie sudah dua kali mencoba melepas kepemilikan sahamnya di Lapindo Brantas, meski gagal karena tak mendapat restu Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Pada pertengahan Maret lalu, giliran Medco menjual 100 persen saham Medco E&P Brantas kepada PT Prakarsa Cipta Abadi dan PT Prakarsa Cipta Selaras (Grup Prakarsa) seharga US$ 100 (sekitar Rp 900 ribu), dengan penjamin Minarak Labuan Co. Ltd. (Malaysia) yang masih terkait dengan Grup Bakrie.
Transaksi itu ditengarai merupakan bagian dari upaya damai Grup Bakrie dalam menyelesaikan gugatan arbitrase Grup Medco. Tapi Bapepam lagi-lagi tak merestui dengan alasan belum menerima laporan keuangan Minarak ataupun Grup Prakarsa. Laporan ini dianggap penting karena berhubungan dengan kemampuan keuangan pemilik baru untuk membayar ganti rugi korban Lapindo.
Lantas, bagaimana kelanjutan transaksi ini? Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil Bapepam, Nur Haida, menyatakan belum ada perkembangan. Namun, bagi Presiden Direktur Medco, Hilmi Panigoro, proses transaksi sudah rampung. ”Transaksi ini tak ada urusannya dengan Bapepam,” ujarnya. Alasannya, transaksi bersifat imaterial karena nilai jualnya jauh lebih kecil dari modal perusahaan. ”Transfer uang pun sudah dilakukan.”
Jika memang begitu, menurut Hilmi, semua persoalan Lapindo kini bukan lagi urusan Medco, tapi urusan Grup Prakarsa. Namun, kabarnya, pernyataan terbaru Lapindo Brantas di pengadilan tetap bikin merah kuping sejumlah petinggi Medco. ”Kredibilitas Medco tengah dipertaruhkan,” ujar sumber Tempo di sana. Gawat.
MD, D.A. Candraningrum
Tarik Ulur Medco-Bakrie
2006 8 Maret Pengeboran di Blok Brantas, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur dimulai.
18 Mei Rapat teknis pengeboran Medco E&P Brantas, Lapindo Brantas Inc., dan Santos (Brantas) Pty. Ltd. Medco mengingatkan perlunya memasang selubung pipa bor (casing) di kedalaman 8.500 kaki. Kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara, yang ditunjuk Lapindo, mengabaikan.
29 Mei Keluar semburan lumpur panas di sumur eksplorasi Banjar Panji 1, Blok Brantas. Lapindo berkeras penyebabnya gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, 27 Maret 2006.
5 Juni Medco mengirim surat ke Lapindo, menyatakan pihaknya telah memperingatkan perlunya pemasangan casing.
20 Juni Wakil Presiden Jusuf Kalla di Sidoarjo meminta Lapindo milik Grup Bakrie menanggung semua kerugian bencana. Nirwan D. Bakrie menyanggupi dan meminta maaf.
25 September PT Energi Mega Persada menjual sahamnya di Lapindo Brantas ke Lyte Limited (Kepulauan Jersey, Inggris) yang masih terafiliasi dengan Grup Bakrie. Namun batal, karena ditolak Bapepam.
13 Oktober Medco Brantas menggugat Lapindo Brantas ke arbitrase internasional.
14 November Mega Energi kembali berniat melepas sahamnya di Lapindo ke Freehold Group Ltd. (British Virgin Island). Minarak Labuan Co. Ltd. (Malaysia) yang masih terafiliasi Grup Bakrie sebagai penjamin. Tapi kembali batal, karena Bapepam tetap tak setuju.
2007 22 Januari Sidang pertama gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pihak tergugat adalah Presiden, Menteri Energi, Menteri Lingkungan Hidup, Kepala BP Migas, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, dan Lapindo Brantas.
16 Maret Medco Energi menjual Medco Brantas ke Grup Prakarsa. Minarak Labuan sebagai penjamin Prakarsa.
8 Mei Prakarsa mencabut gugatan arbitrase terhadap Lapindo Brantas.
11 Juni Duplik Lapindo Brantas dibacakan di Pengadilan Jakarta Pusat. Isinya membantah adanya peringatan Medco soal pemasangan casing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo