Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Arti modernisasi

Seorang ahli ekonomi mengartikan modernisasi sebagai pembebasan. bebas dalam arti sepenuhnya. tapi modernisasi juga bisa berarti hilangnya kemerdekaan dan pada akhirnya ia hanya pameran kekuasaan.

25 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tahun 1969-1970, seorang peneliti Amerika menginterpiu sejumlah teknokrat Indonesia. Mereka adalah sarjana ekonomi di luar dan di dalam pemerintahan, yang tinggal di Jakarta, Bandung dan Yogya. Persoalan pokok yang diwawancarakan: makna dan isi modernisasi. 70% dari responden yang sebanyak 60 itu mengartikan modernisasi sebagai mental enlightenment atau, terjemahan bebasnya, "pembaruan mental". 20% mengartikannya sebagai "pembaruan kultural". 8% menafsirkannya sebagai "pembaruan ekonomis" atau suatu kemajuan perekonomian yang tiba bersamaan datangnya teknologi baru dan ilmu modern. Yang menarik, hanya satu orang dari ke-60 teknokrat itu yang menganggap-dan sekaligus menghendaki --modernisasi sebagai pembebasan. "Bagi saya, modernisasi berarti emansipasi dalam arti sepenuhnya," kata ahli ekonomi itu, sebagaimana dikutip John J. MacDougall, dalam makalahnya untuk sebuah seminar tahun lalu, The Technocrat's Ideology of Modernity, "Di dalamnya, manusia merdeka: merdeka untuk memilih para pemimpinnya merdeka untuk ikut serta dalam politik merdeka dari acuan tradisi dan takhyul dan merdeka dari kekurangan materi". Satu dari 60 orang ini mungkin mengucapkan sesuatu yang tidak praktis, atau "kurang teknokratis", tapi betapa pentingnya. Atas nama modernisasi, Syah Reza Khan memaksa orang Persia mengenakan pakaian Barat. Wanita bercadar diusir dari jalanan. Bahkan ulama diundang ke upacara resmi dengan ketentuan: istrinya harus ikut hadir tanpa cadar. Seorang sayid terkemuka di Kota Khoi yang melawan ditangkap, digunduli, dipasangi topi Eropah, disuruh pulang--dan esok harinya ia diketemukan mati di tempat tidur. Mungkin menanggung malu dan amarah yang tak terperikan. Modernisasi, dengan kata lain, bisa berarti juga hilangnya kemerdekaan. Tentu, tak selamanya desakan begitu kurang ajar dan begitu terang-terangan. Tapi kepedihan dan ketidak-berdayaan bisa saja terjadi di dalam wujud lain. Cobalah lihat contoh ini, yang kini kian terkenal: traktor di desa-desa. Kecaman, bahwa teknologi modern di dalam lingkungan ini lebih hanya berupa "pengurangan ongkos", dan bukannya penambahan produktivitas, rasanya masih kurang tepat: "modernisasi" ini bahkan cuma mendesak orang untuk mempergunakan hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkannya. "Traktor itu mahal--harganya sekitar Rp 2 juta lebih. Kalau dibelikan sapi dapat 16 ekor. Lagi pula traktor cepat rusak, sedang sapi kalau beranak bisa menambah keuntungan. Ceceran oli traktor merusak tanah, sedang kotoran sapi bisa menjadi pupuk." Itu adalah kata-kata I Gusti Ngurah Ceger, petani umur 58 tahun dari Desa Tinjak Menjangan di Daerah Badung, Bali. Ia menghadap Presiden akhir September yang lalu. Ia tidak menghendaki "modernisasi", bila kata itu berarti traktor. Tapi I Gusti Ngurah Ceger beruntung, karena ia punya kesempatan berbicara mengungkapkan pendiriannya. Berapa ratus juta petani di Dunia Ketiga, termasuk yang di Indonesia, yang tak punya kesempatan seperti itu? Berapa banyak orang kecil, yang "modernisasi"nya diurus para pejabat, para birokrat dan para tokoh -- sementara mereka sendiri tidak bisa bilang apa-apa? Yang mereka ketahui hanyalah, bahwa tiap kali mereka bangun pagi, desakan kebutuhan baru bertambah. Yang semula bukan "keperluan", kini kian terasa sebagai sesuatu yang diperlukan. Bila anak tetangga punya sepeda motor, maka anak sendiri pun perlu dibelikan sepeda motor. Iri hati dilembagakan di masyarakat. Jorjoran sedikit demi sedikit bergerak jadi mekanisme sosial dan ekonomi. Dan yang kalah akan terdesak: modernisasi ikut menggeser tempat perlindungan dan jaminan kebersamaan yang lama. Modernisasi pada akhirnya memang suatu permainan kekuatan. Ada yang akan tergusur, ada yang akan menggusur. Ada yang menang, ada yang telantar lemah. Tapi jangan salah kira: di zaman seperti ini, yang lemah tak akan tinggal jadi gurun. "Yang lemah berbahaya bagi yang kuat, sebagaimana pasir hanyut berbahaya bagi si gajah," kata Tagore tentang dunia modern.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus