DI tahun 1969-1970, seorang peneliti Amerika menginterpiu
sejumlah teknokrat Indonesia. Mereka adalah sarjana ekonomi di
luar dan di dalam pemerintahan, yang tinggal di Jakarta, Bandung
dan Yogya. Persoalan pokok yang diwawancarakan: makna dan isi
modernisasi.
70% dari responden yang sebanyak 60 itu mengartikan modernisasi
sebagai mental enlightenment atau, terjemahan bebasnya,
"pembaruan mental". 20% mengartikannya sebagai "pembaruan
kultural". 8% menafsirkannya sebagai "pembaruan ekonomis" atau
suatu kemajuan perekonomian yang tiba bersamaan datangnya
teknologi baru dan ilmu modern.
Yang menarik, hanya satu orang dari ke-60 teknokrat itu yang
menganggap-dan sekaligus menghendaki --modernisasi sebagai
pembebasan. "Bagi saya, modernisasi berarti emansipasi dalam
arti sepenuhnya," kata ahli ekonomi itu, sebagaimana dikutip
John J. MacDougall, dalam makalahnya untuk sebuah seminar tahun
lalu, The Technocrat's Ideology of Modernity, "Di dalamnya,
manusia merdeka: merdeka untuk memilih para pemimpinnya merdeka
untuk ikut serta dalam politik merdeka dari acuan tradisi dan
takhyul dan merdeka dari kekurangan materi".
Satu dari 60 orang ini mungkin mengucapkan sesuatu yang tidak
praktis, atau "kurang teknokratis", tapi betapa pentingnya.
Atas nama modernisasi, Syah Reza Khan memaksa orang Persia
mengenakan pakaian Barat. Wanita bercadar diusir dari jalanan.
Bahkan ulama diundang ke upacara resmi dengan ketentuan:
istrinya harus ikut hadir tanpa cadar. Seorang sayid terkemuka
di Kota Khoi yang melawan ditangkap, digunduli, dipasangi topi
Eropah, disuruh pulang--dan esok harinya ia diketemukan mati di
tempat tidur. Mungkin menanggung malu dan amarah yang tak
terperikan.
Modernisasi, dengan kata lain, bisa berarti juga hilangnya
kemerdekaan.
Tentu, tak selamanya desakan begitu kurang ajar dan begitu
terang-terangan. Tapi kepedihan dan ketidak-berdayaan bisa saja
terjadi di dalam wujud lain. Cobalah lihat contoh ini, yang kini
kian terkenal: traktor di desa-desa.
Kecaman, bahwa teknologi modern di dalam lingkungan ini lebih
hanya berupa "pengurangan ongkos", dan bukannya penambahan
produktivitas, rasanya masih kurang tepat: "modernisasi" ini
bahkan cuma mendesak orang untuk mempergunakan hal-hal yang
sebenarnya tidak dibutuhkannya.
"Traktor itu mahal--harganya sekitar Rp 2 juta lebih. Kalau
dibelikan sapi dapat 16 ekor. Lagi pula traktor cepat rusak,
sedang sapi kalau beranak bisa menambah keuntungan. Ceceran oli
traktor merusak tanah, sedang kotoran sapi bisa menjadi pupuk."
Itu adalah kata-kata I Gusti Ngurah Ceger, petani umur 58 tahun
dari Desa Tinjak Menjangan di Daerah Badung, Bali. Ia menghadap
Presiden akhir September yang lalu. Ia tidak menghendaki
"modernisasi", bila kata itu berarti traktor.
Tapi I Gusti Ngurah Ceger beruntung, karena ia punya kesempatan
berbicara mengungkapkan pendiriannya. Berapa ratus juta petani
di Dunia Ketiga, termasuk yang di Indonesia, yang tak punya
kesempatan seperti itu? Berapa banyak orang kecil, yang
"modernisasi"nya diurus para pejabat, para birokrat dan para
tokoh -- sementara mereka sendiri tidak bisa bilang apa-apa?
Yang mereka ketahui hanyalah, bahwa tiap kali mereka bangun
pagi, desakan kebutuhan baru bertambah. Yang semula bukan
"keperluan", kini kian terasa sebagai sesuatu yang diperlukan.
Bila anak tetangga punya sepeda motor, maka anak sendiri pun
perlu dibelikan sepeda motor. Iri hati dilembagakan di
masyarakat. Jorjoran sedikit demi sedikit bergerak jadi
mekanisme sosial dan ekonomi. Dan yang kalah akan terdesak:
modernisasi ikut menggeser tempat perlindungan dan jaminan
kebersamaan yang lama.
Modernisasi pada akhirnya memang suatu permainan kekuatan. Ada
yang akan tergusur, ada yang akan menggusur. Ada yang menang,
ada yang telantar lemah.
Tapi jangan salah kira: di zaman seperti ini, yang lemah tak
akan tinggal jadi gurun. "Yang lemah berbahaya bagi yang kuat,
sebagaimana pasir hanyut berbahaya bagi si gajah," kata Tagore
tentang dunia modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini