Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konsep dan teori hukum formal Indonesia adalah produk impor.
Frasa pidana penjara seumur hidup berasal kata levenslange gevangenisstraf warisan Belanda.
Frasa pidana penjara seumur hidup dinilai mengandung nuansa eufemistis.
PUBLIK mempertanyakan konsep yang sesungguhnya dirujuk oleh frasa pidana penjara seumur hidup dan ragu akan pengetahuannya sendiri. Sebagian menafsirkannya sebagai penahanan seseorang di penjara sesuai dengan umurnya ketika menerima vonis, sebagian lain menafsirkan sebagai penahanan seseorang di penjara sampai meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi sebagian orang, rasa-rasanya tidak perlu menceburkan diri kelewat dalam pada diktat-diktat ilmu hukum atau membolak-balik perundang-undangan untuk sekadar memaknai seumur hidup dalam frasa tersebut. “Pekerjaan sia-sia, toh, sudah jelas, naluri berbahasa kita mampu memahaminya.” Namun, faktanya, tidak sedikit orang yang keliru menafsirkannya. Sebagian di antaranya bukanlah awam yang pengetahuan hukumnya terbatas. Mahasiswa fakultas hukum dan polisi, misalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahasa Indonesia tentu bukanlah pelopor. Semua konsep dan teori hukum formal di negeri ini, toh, diimpor. Sebagai pemegang tongkat estafet hukum Hindia Belanda, kita menerjemahkan pidana penjara seumur hidup dari frasa levenslange gevangenisstraf. Dalam bahasa Inggris, ia disebut life imprisonment. Secara konseptual sama saja, yang berbeda barangkali indikator-indikator pemberlakuan dan teknis pengimplementasiannya di tiap negara.
Tafsir bahasa mahaluas. Di satu sisi, seumur hidup, dalam konvensi berbahasa kita, sejatinya sudah jelas. Ketika bersumpah “takkan kumaafkan ia seumur hidup!”, si penyumpah bertekad membawa sumpah itu sampai liang kubur. Sebuah lapau nasi memberikan kupon kepada pengunjungnya: “gratis makan seumur hidup”. Artinya, sejak kupon itu diterima, si penerima kupon bisa makan sampai “mati kekenyangan” di tempat tersebut. Di sini seumur hidup berorientasi ke depan.
Di lain sisi, ada ruang kosong dalam seumur hidup yang ternyata bisa diisi oleh tafsir lain. Bagaimana tafsir kita atas, misalnya, “Seumur hidup, baru kali ini aku merasakan gempa sebesar ini”? Di sini seumur hidup berorientasi ke belakang. Ia merujuk pada umur-umur yang telah dilalui si penutur sejak lahir sampai sesaat setelah gempa terjadi. Saya duga dari sinilah ambiguitas seumur hidup bermula.
Seumur hidup, sebagai produk bahasa, bukan sebatas produk bahasa hukum, bisa merujuk umur yang telah dilalui seseorang sejak lahir sampai waktu tertentu atau umur yang tengah menanti pada masa depan hingga maut menyambar. Seumur hidup termasuk kontranim, yakni kata yang memiliki dua makna yang bertentangan.
Persoalan pidana penjara diatur dalam Pasal 12 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Sialnya, keduanya sama-sama tidak mendefinisikan pidana penjara seumur hidup. Keduanya menjelaskan bahwa pidana penjara terdiri atas dua jenis, yakni pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara waktu tertentu. Dalam ayat 4 diterangkan bahwa pidana penjara waktu tertentu tidak boleh melebihi 20 tahun.
Apabila dimaknai secara keliru, peraturan pidana penjara seumur hidup berbenturan dengan peraturan pidana penjara waktu tertentu. Cuma dua pilihannya: pidana penjara seumur hidup tunduk terhadap durasi maksimum pidana penjara waktu tertentu atau justru meniadakannya. Memang agak sulit membayangkannya tanpa ilustrasi.
Katakanlah terdakwa diputus pidana penjara seumur hidup ketika berusia 32 tahun. Dalam logika “sesuai dengan umur saat menerima vonis”, terdakwa semestinya meringkuk di penjara selama 32 tahun. Namun pidana penjara seumur hidup mesti tunduk pada durasi terlama pidana penjara waktu tertentu, sehingga vonis yang semestinya 32 tahun dipersingkat jadi 20 tahun. Sebaliknya, apabila pidana penjara seumur hidup tetap dijalankan berdasarkan usia, yakni 32 tahun, apa gunanya angka 20 tahun pada pidana penjara waktu tertentu? Maka, jelas, pidana penjara seumur hidup tidak merujuk pada usia terdakwa.
Agar tidak lagi menimbulkan bias makna, frasa pidana penjara seumur hidup bisa saja diubah menjadi, misalnya, pidana penjara sampai mati. Bukankah seseorang ditahan sejak vonis diberikan sampai ia mati di dalam penjara? Namun frasa ini berpeluang mengimplikasikan bahwa seorang terpidana dibuat mati secara sengaja selama di penjara. Entah karena siksaan fisik entah karena siksaan psikologis. Simpulan saya, dalam pidana penjara seumur hidup, sengaja atau tidak, terkandung nuansa eufemistis.
Apabila dienap-renungkan, pidana penjara seumur hidup justru “mematikan” daripada pidana mati itu sendiri. Pada pidana mati, terpidana tinggal nama dalam eksekusi yang berlangsung hanya beberapa saat. Ia bahkan tidak merasakan sakit apa pun, mungkin. Ia tidak menderita. Tidak ada kesengsaraan. Sementara itu, pidana penjara seumur hidup berarti mati di penjara. Mati perlahan. Mati dilumat waktu. Mati dalam kesia-siaan. Mati di balik tembok dingin. Mati berkarat. Sekalipun keduanya searah, sama-sama berujung pada kata “mati”, coba bayangkan, betapa tiada lagi gunanya nyawa dikandung badan!
Aktor kita itu, Ferdy Sambo, pantas meringkuk di balik jeruji besi sampai ajal mengait urat lehernya. Yang perlu diingat, rakyat mesti selalu awas. Jangan biarkan penjara menjadi komoditas, seumpama properti dengan berbagai tipe dan kelas. Itu, sih, pindah rumah namanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo