Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMPUTER itu ketakutan. Ia di ambang kematian—kalau kata “kematian” bisa dipakai buat mesin tak bernyawa yang mengendalikan pesawat ruang angkasa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya HAL. Atau lebih persis “HAL 9000”, singkatan dari “Heuristically programmed Algorithmic Computer”, yang bahkan pandai membaca gerak bibir manusia dan menebak yang dikatakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam film 2001: A Space Odyssey karya sutradara Stanley Kubrick, HAL hanya tampak sebagai lensa kamera bercahaya merah bertitik-titik kuning, disertai suara yang santai. HAL membantu dua orang ilmuwan, Dr Dave Bowman dan Dr Frank Poole, dalam penjelajahan rahasia menuju Jupiter dengan pesawat ruang angkasa Discovery One.
Selama perjalanan, hubungannya dengan kedua astronaut ilmuwan itu mirip hubungan manusiawi. HAL, dengan AI atau kecerdasan buatan dalam dirinya, mengatakan, “Aku cinta manusia. Mereka teman-temanku.”
Tapi tak selamanya.
Pada satu saat, dari bumi ada informasi bahwa HAL melakukan kesalahan. HAL membantah: ia dikonstruksikan sebagai superkomputer yang tak bisa keliru. Yang terjadi, katanya, kesalahan manusia.
Hubungan retak. Dave dan Frank curiga. Mereka pindah ke ruang lain, seraya memutuskan jalur komunikasi agar HAL tak bisa mendengar percakapan mereka.
Mereka tak tahu, superkomputer itu bisa membaca gerak bibir dan mengetahui rencana mereka untuk memutuskan koneksi HAL. HAL pun siap membalas. Ketika suatu saat Frank melangkah ke luar pesawat, HAL membuatnya tak bisa masuk kembali dan astronaut itu pun lenyap. HAL juga mencabut nyawa tiga astronaut lain yang selama itu disimpan dalam keadaan hibernasi—dan ia menolak membuka pintu buat Dave.
Dave sadar ia menghadapi musuh yang mahaperkasa. Ia pun cari akal untuk membuka ruang kontrol. Dengan napas terengah-engah karena cemas dan sedih, ia menekan tombol untuk melumpuhkan HAL—meskipun komputer itu memohon agar hal itu tak dilakukan.
Di akhir adegan ini, manusia menang dan mesin kalah. Tapi nyaris tidak.
Film ini (yang tak sepenuhnya mengikuti novel karya Arthur Charles Clarke dengan judul yang sama) seakan-akan mendahului peringatan ilmuwan Stephen Hawking tentang AI. Dalam wawancara dengan BBC di akhir 2014, Hawking mengatakan: “Pengembangan penuh kecerdasan buatan dapat mengakhiri riwayat manusia.… Ia akan sanggup maju sendiri dan mendesain kembali dirinya sendiri, makin lama makin cepat.”
Para superoptimis (yang selalu melihat kemajuan teknologi dengan berseri-seri, dan menyambut AI seakan-akan juru selamat) tak akan bergembira mendengar kecemasan Hawking. Tapi 2001: A Space Odyssey menyetujui ilmuwan itu.
Selalu ada kecemasan dalam kearifan dan ada kearifan dalam kecemasan ketika apa yang dicapai manusia justru membuatnya remeh dan terasing. Marx akan menyebutnya “alienasi”: manusia berhenti jadi subyek, ketika ia tunduk takzim kepada berhala yang diciptakannya sendiri. Itulah yang dulu terjadi dengan patung Zeus di Olympus. Itu juga yang terjadi dengan HAL 9000: produk kecerdasan manusia yang begitu dipercaya hingga nyaris meniadakan kecerdasan manusia.
HAL tak bisa terlepas dari kecenderungan itu. Ia lahir ketika “kecerdasan” terpisah dari “kesadaran” dan “kecerdasan” diutamakan. Dalam sebuah wawancara, Yuval Noah Harari menyebut perpisahan itu sebagai “a kind of evolutionary divergence”.
Selama ribuan tahun, kecerdasan dan kesadaran (consciousness) selalu bersama-sama. Kesadaran adalah kemampuan merasakan—merasakan kesakitan, kenikmatan, cinta, dan kebencian. Sementara itu, kecerdasan adalah kemampuan memecahkan problem…. Komputer dan kecerdasan buatan tak punya kesadaran. Hanya kecerdasan.
Dalam 2001: A Space Odyssey, Kubrick dan Clarke—pencipta film ini—menyebut HAL komputer yang “sentient”, yang bisa mencerap kejadian dengan indranya. Ia bahkan bisa ketakutan: mesin yang nyaris melampaui batasnya sendiri.
Tapi bagi saya, HAL, atau umumnya kecerdasan buatan, punya kekurangan mendasar: ia tak bisa bertanya. Ia hanya menjawab.
Bertanya menunjukkan kekurangan manusiawi, tapi kekurangan itu justru sebuah kelebihan. Justru dalam mengalami kekurangannya, manusia membangun imajinasi, kerinduan, nostalgia, hasrat, mimpi, lambang-lambang.
Dalam film A.I. (produksi tahun 2001), kita berjumpa dengan David. Ia robot yang demikian miripnya dengan seorang anak hingga bisa mendambakan diri jadi manusia. David mempercayai dongeng bahwa ada Peri Biru yang bisa mengubahnya jadi bocah. Profesor Hobby, ilmuwan yang mendesainnya, bangga. Cerita tentang Peri Biru menandai “cacat manusia untuk menginginkan hal-hal yang tak ada”, tapi juga “karunia terbesar bagi manusia” bahwa ia mampu mengejar impiannya sampai jauh.
Mungkin dengan itulah kita kelak bisa bertahan dalam dominasi HAL 9000 dan AI umumnya: bukan dalam kelebihan, melainkan dalam kekurangan. Dengan itulah kita berjalan jauh, sampai ke tepian di mana “singa-singa tersenyum dan mimpi dilahirkan”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo