Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA bidang gambar luas, warna lebih mudah tampil atas namanya sendiri. Pada bidang tersebut, mungkin tetap ada imaji bentuk-biru itu laut, hijau itu sawah, atau oker itu tanah. Namun imaji itu tidak membuat sang warna mengikuti bentuk; warna hadir dan menyapa atas namanya sendiri. Hal itu ada pada lukisan-lukisan Srihadi Soedarsono, terutama pada serial horizon, Borobudur, serial sosok perempuan tunggal, dan tema lain yang dikerjakan pada 1980-an dan 1990-an. Warna menyapa kita atas namanya sendiri, dan justru bentuk hampir hilang, tinggal imaji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ingatan pada karya Srihadi segera muncul melihat pameran gambar Goenawan Mohamad (GM) di ruang samping gerai Faber-Castel, Plaza Senayan, Jakarta. Tiga puluh gambar berwarna, kalau tak salah hitung, sepintas terkesan bahwa gambar-gambar dalam pameran yang bertajuk "Warna" ini sengaja dibuat khusus oleh GM untuk eksposisi di gerai penjual alat tulis gambar bermerek itu. Ternyata gambar-gambar itu diseleksi dari ratusan gambar yang umumnya hitam-putih, karya 2017, dan seingat saya beberapa pernah dipamerkan di Jakarta dan Yogyakarta, pameran gambar hitam-putih dan warna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang selama ini saya saksikan dalam dunia seni rupa Indonesia, gambar dan sketsa yang umumnya dikerjakan pada kertas gambar (kurang dari 40 x 30 sentimeter) lebih sering dalam goresan hitam-putih daripada dengan warna. Warna hanya kadang kala dihadirkan, misalnya, pada sketsa-sketsa Henk Ngantung dan Ipe Ma'aruf. Juga gambar-gambar bentuk biomorfis Fadjar Sidik dan sketsa-sketsa Srihadi Soedarsono di masa Perang Kemerdekaan.
Lewat Kontras, Warna Itu Hadir
Pada mulanya sketsa memang garis, dengan pensil atau pena dan tinta hitam, pada kertas gambar. Pada mulanya, karena membuat sketsa adalah kerja langsung di depan obyek, lebih praktis memang hanya membuat sketsa hitam-putih. Kelaziman inilah yang kemudian, saya menduga, menjadi "tradisi" membuat sketsa dan kemudian membuat gambar. Tradisi yang membuat warna pada sketsa dan gambar serasa sekadar penumpang. Tapi bagaimana bila garis itu dibuat dengan warna, bukan hanya hitam tinta atau potlot dan arang?
Hal itu menjadi yang kedua muncul di kepala-ingatan pertama tentang lukisan Srihadi-selama melihat-lihat pameran gambar "Warna" GM.
Salah satu gambar serial wayang potehi adalah sosok wayang yang sedang beraksi dengan tombak (?). Sosok ini dibentuk dengan garis hitam, kemudian goresan serta noktah merah dan biru pada kostum. Gambar ini salah satu di antara gambar-gambar GM yang dipamerkan yang berhasil menyatukan garis hitam dan garis warna-bentuk tidak mendikte warna dan warna tidak merusakkan bentuk. Bentuk sudah jelas hadir, lewat keterampilan menggoreskan garis. Sedangkan warna masuk ke dalam kesadaran karena pada karya ini ada "benturan" yang menyatakan keberadaan warna. Keseluruhan sosok bernada merah terasa merah karena ada sebidang biru.
Sengaja atau tidak, benturan warna itulah pada gambar-gambar GM yang membuat warna hadir. Benturan terkeras tentulah bila warna yang bersanding merupakan kontras. Kita lihat gambar torso seorang perempuan, keriting tampaknya, dengan dua tanduk di kepala (atau hiasan bulu burung?), berhidung bak paruh burung. Sebatang seperti anak panah tertancap di leher depan. Wajah dan sebagian dada perempuan ini hijau sedikit kebiruan, sebagian dada tak tersentuh warna, dibiarkan putih kertas, hanya garis yang membentuk bahu telanjang dan buah dada yang tertutup. Dan sebuah bentuk yang tak begitu jelas, seperti konde dengan hiasan bulu, merah, menembus rambut pas di bagian tengkuk. Satu karya, bagi saya, paling mengundang perhatian pada pameran ini. Sebuah puisi garis dan warna, terasa sesuatu yang dipertentangkan, hijau dan merah, bidang dengan warna dan putih kertas.
Senada dengan karya tersebut, gambar sesosok yang tampaknya wayang golek. Tubuh wayang yang cokelat serta sarung yang merah dengan ornamen berupa goresan-goresan garis lengkung dan membelah sarung semacam selendang dengan warna yang tak jelas lagi hue-nya: sebuah campuran tak sempurna abu-abu, sedikit merah, lalu noda-noda hitam berwujud goresan-goresan hitam pendek tak teratur. Yang kemudian membuat warna pada gambar wayang golek ini muncul adalah sebuah jam dinding di atas kepala berwarna hijau sedikit kebaruan. Ada angka di situ: 12, 9, 6.
Satu lagi karya yang menyuguhkan warna yang berharmoni dengan garis dan bentuk adalah gambar lelaki telanjang dada, hanya bercelana cokelat kehitaman. Tubuh lelaki ini berwarna merah jambu yang transparan. Pada tubuh yang telanjang, noktah merah di sana-sini-noktah merah disertai coretan hitam, mengesankan ada sesuatu yang menancap, dan merah itu mungkin darah. Kepala lelaki ini terbentuk dari garis-garis lengkung, agak ruwet, mengesankan gambar otak. Di sisi kiri atas bidang gambar, sebuah topeng merah muncul. Lelaki ini seperti bergerak, tangan kiri lurus sedikit bengkok menggantung dan yang kanan sedikit ditekuk pada siku, hingga bahu kanannya terangkat ke atas. Imaji gerak itu juga dirangsang oleh coretan-coretan lurus tipis, mendatar, pada kepala menerjang dari kepala, bahu, dada, pinggul, dan paha.
Itulah tiga karya yang di mata saya paling kuat pada pameran "Warna" ini. Hadirnya warna tak lalu membuat sesuatu yang berbeda dari gambar-gambar hitam-putih GM. Tak ada peristiwa dilukiskan, melainkan sugesti ide-ide lewat garis dan bidang yang membentuk figur, boneka, atau benda lain. Garis dan bidang (dan kini warna) menyuguhkan puisi rupa, kalau bisa disebut begitu: puisi, sesuatu gambaran yang tidak jelas, memikat kita karena hubungan antarbentuk, antargaris, antarwarna menyarankan suasana yang membayangkan adanya ide tapi menolak dirumuskan. Maka gambar itu, seperti karya seni rupa yang menyapa ramah, mengundang dan tak mendikte. Gambar itu tak merendahkan, juga tak menyanjung, yang melihat. Gambar itu tampil dengan yakin bahwa garis, bentuk, dan warnanya memang harus begitu. Rasa seperti ini yang lazim muncul ketika kita berdialog dengan karya rupa yang pantas dilihat-ia tak pamer, hadir dengan percaya diri, akrab, dan memberikan kebebasan kepada penontonnya.
Itulah yang membedakan gambar-gambar GM dengan lukisan Srihadi Soedarsono. Pada Srihadi, seolah-olah warna baru bisa menyapa atas namanya sendiri bila disuguhkan pada bidang yang luas. Warna pada gambar GM, tak memerlukan bidang luas, berhasil menyatakan kehadirannya dengan "mencuri" yang dinamakan kontras. Dengan kontras, warna terasakan rasa warnanya, hue-nya, tapi tak sampai mengalahkan garis dan bentuk: dalam kontras itu terbentuk keselarasan pada seluruh bidang. Itulah mengapa pada pameran "Warna", yang secara keseluruhan didominasi warna merah dengan segala gradasinya, pada karya yang menghadirkan lawan merah (sepenuhnya, hijau, atau tak sepenuhnya, biru misalnya) terasa lebih menyapa dan mengundang dialog.
Bambang Bujono, Penulis, Pengulas Seni Rupa
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo