Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAJINGAN adalah kata makian, setidaknya menurut kamus bahasa Indonesia. Kata itu merujuk pada penjahat dan pencopet. Rupanya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengabaikan kamus bahasa Jawa Bausastra Jawa (1939) karya Poerwadarminta. Kamus Poerwadarminta memasukkan juga makna bajingan sebagai sebutan lokal di daerah (tak disebutkan daerahnya) untuk sais gerobak sapi. KBBI juga mengabaikan dua hasil penelitian pada 2018. Penelitian itu memakai rujukan yang menyatakan bahwa di zaman Mataram pada abad ke-17, sais gerobak sapi, angkutan utama untuk barang-barang berat, disebut bajingan. Salah satu penelitian dilakukan di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, karena sampai saat itu masih ada perkumpulan bajingan di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang belum saya baca, mengapa sais gerobak sapi disebut bajingan. Konon, dia harus menjaga barang muatan dari begal sehingga bajingan haruslah berbadan kekar, berani, dan menguasai olah kanuragan. Apakah itu alasan mereka disebut bajingan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang juga belum jelas benar adalah pergeseran makna bajingan yang kini bercitra buruk, bertolak belakang dengan makna aslinya. Ada memang wawancara dengan anggota perkumpulan di Bantul tersebut yang menceritakan perkembangan gerobak sapi. Kala gerobak sapi mesti bersaing dengan transportasi baru, para pengguna jasa bajingan mengeluh karena gerobak sapi lamban jalannya. “Bajingan itu kok tidak datang-datang,” begitu kira-kira keluhan mereka. Lama-kelamaan sebutan bajingan berkonotasi negatif, yakni orang yang tidak bekerja dengan baik dan bahkan cenderung berlaku kriminal—mengambil barang muatan dan, lebih dari itu, dengan kemampuan yang dimilikinya bukan tak mungkin bajingan melakukan kejahatan ketika angkutan gerobak sapi makin tidak laku. Tapi ini lebih sebagai hasil penalaran, belum berdasarkan fakta dan data.
Apa pun ceritanya, bajingan kini telanjur bermakna negatif. Kata ini bermanfaat bagi mereka yang ingin melampiaskan kejengkelan, kemarahan, dan sejenisnya secara spontan dalam percakapan atau pidato. Namun, perlu diingat, dalam percakapan sering kali arti sebuah kata tergantung nada pengucapannya: ia menyampaikan makna sebenarnya atau bisa juga makna kiasan, terutama dalam percakapan antarsahabat dekat. “Wah, gila kamu, kok bisa lulus jadi cawapres!” misalnya. Ini tentulah pujian kepada seorang karib.
Bajingan tentulah juga bisa diserukan sebagai kata pujian, bukan makian. Tapi, entah kenapa, hal ini jarang dan bahkan, seingat saya, belum pernah saya dengar. Mungkin kata bajingan dirasa terlalu keras sehingga apa pun nadanya dianggap tetap tidak sepantasnya diucapkan. Muncullah penghalusan kata ini menjadi, yang sering muncul, bajinguk atau, yang jarang digunakan, bajindul. Di Solo, Jawa Tengah, tempat saya lahir dan bersekolah, bajinguk laris—dalam pergaulan tentunya, bukan dalam pertemuan, diskusi, atau rapat.
Anda mau bukti? Penyair asal Solo, (almarhum) Sapardi Djoko Damono, sewaktu masih di Solo dan di tahun-tahun awal di Jakarta pada 1970-an sering menyebut bajinguk dalam percakapan sehari-hari sebagai pujian ataupun semacam kritik. “Bajinguk, ini cerpen bagus sekali” atau “Bajinguk, teater ini tidak layak main di TIM”.
Penyair lain yang lebih muda, Yudhistira A.N.M. Massardi, rupanya memperhatikan kebiasaan Sapardi dan dengan kreatif menulis puisi yang baris pertamanya begini: “Hai, jangan kaupatahkan bunga itu, bajinguk!”. Dalam pergaulan seputar Taman Ismail Marzuki dan Balai Budaya, Jakarta, puisi Yudhistira yang dimuat di majalah humor Astaga tersebut, tak terelakkan, mengundang senyum, mengingatkan kita pada Sapardi. Puisi Yudhis memang parodi puisi Sapardi, yang baris pertamanya berbunyi: “Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu”. Puisi Sapardi mengisahkan sang bunga, yang dipulas warna-warni oleh matahari yang sekaligus membunuhnya pelan-pelan dengan kasih sayang dan akhirnya bunga terkulai tanpa keluhan. Puisi Yudhis menceritakan si pematah bunga, yang syukurlah tercucuk duri, darah menetes dan matahari memulasnya dengan warna-warni dan nanti darah itu ditampung dalam tiga botol, lalu dijual kepada seorang pelukis dengan harga murah.
Bajinguk! Kenapa lema bajing dalam kamus bahasa Indonesia tak ditulis ulang?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bajingan dan Bajinguk"