Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang terjadi pada 16 Oktober 2023 di Mahkamah Konstitusi menunjukkan krisis republik atau republik yang sedang mengalami krisis akut. Lima dari sembilan hakim konstitusi mengabulkan gugatan uji materi tentang syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden. Hakim bertindak terlalu jauh dengan menambahkan klausa "pernah terpilih dalam pemilihan kepala daerah" jika syarat usia 40 tahun tak terpenuhi dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika putusan itu dibacakan, imparsialitas yang menjadi etika republik seketika runtuh. Sebab, putusan itu mengakomodasi kepentingan satu pihak dalam persaingan pemilihan presiden 2024. Pihak yang diuntungkan itu adalah keluarga pengusaha yang terikat tali kekeluargaan dengan Ketua Mahkamah Konstitusi. Putusan itu secara tidak langsung hendak merawat kekuasaan yang terlarang dalam demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam demokrasi yang sehat, ada usaha melindungi spirit republik, yakni pembatasan kekuasaan. Kekuasaan yang tak terbatas akan merusak kemerdekaan warga negara hidup dalam ruang publik yang bebas dominasi. Dalam praktiknya, upaya menjaga spirit republik ini hadir melalui pemisahan kekuasaan (trias politica): eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Dengan putusan yang menambahkan klausul dalam pasal 169 itu, Mahkamah Konstitusi telah bertindak sebagai badan legislatif yang berwenang mengubah, mengurangi, atau merevisi sebuah peraturan dalam undang-undang. Putusan Mahkamah yang inkonstitusional itu sekaligus melanggengkan kekuasaan mengingat pihak yang menerima manfaat putusan tersebut adalah penguasa.
Demokrasi pun runtuh karena trias politica yang seharusnya saling mengontrol itu kehilangan batas-batasnya. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya berperan sebagai pelindung konstitusi (the guardian of constitution) berubah menjadi instrumen kekuasaan. Apalagi kooptasi atas kekuasaan Mahkamah Konstitusi itu terjadi karena konflik kepentingan mengingat Ketua Mahkamah Konstitusi adalah adik ipar Presiden Joko Widodo yang berhasrat menjadikan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, kandidat wakil presiden 2024.
Ketika Mahkamah Konstitusi membuat sebuah putusan hukum demi kepentingan politik penguasa, demokrasi Indonesia tak hanya memasuki fase regresi. Lebih jauh dari itu, kita sedang mengalami krisis republik yang berujung pada pelemahan demokrasi secara pelan-pelan. Demokrasi Indonesia berjalan pendek, jika kita menghitungnya dari gerakan Reformasi 1998.
Bulan madu yang pendek itu ditandai dengan konsentrasi kekuasaan dan kemakmuran dalam aliansi oligarki yang membajak arena politik kita. Akibatnya, ruang kedaulatan warga negara menyempit. Ketika para elite menganggap suara-suara kritis yang mengontrol jalannya penyelenggaraan negara sebagai pengganggu kepentingan kekuatan elite dominan, demokrasi melemah karena gangguan itu direspons dengan pemberangusan hak-hak sipil.
Kekuatan elite yang bersekutu dengan penguasa membungkam suara masyarakat sipil yang penting dalam demokrasi pun membuat penghancuran demokrasi di Indonesia berjalan sangat khas. Pemberangusan suara kritis di era demokrasi berbeda dengan pada rezim otoritarian. Sementara dalam rezim otoriter penggerusan demokrasi memakai tangan besi, dalam demokrasi pembungkaman memakai mekanisme hukum, konstitusi, alat-alat negara, hingga persetujuan publik melalui penggiringan opini.
Kita masih ingat, kritik publik terhadap upaya pelemahan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui revisi Undang-Undang KPK dihantam gelombang pembelaan yang berujung pada intimidasi suara kritis. Mereka yang bersikap kontra terhadap pelemahan KPK dicap sebagai “Taliban” dan “kelompok Islam radikal”—sebuah tuduhan yang efektif memecah dukungan publik.
Sejalan dengan berbagai hantaman terhadap kemerdekaan sipil dan politik, percakapan tentang nasib demokrasi di Indonesia seakan-akan lenyap dalam perbincangan elite politik dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Penguasaan opini publik melalui media sosial yang dikontrol oleh modal dan kekuasaan menenggelamkan ihwal pentingnya membicarakan nasib demokrasi kita kini. Angka keberterimaan (approval rating) Presiden Jokowi yang sebesar 81 persen menunjukkan bahwa publik menganggap pemberangusan suara kritis masyarakat sebagai sesuatu yang tak merisaukan.
Krisis republik seperti ini juga terjadi di negara-negara yang pemimpinnya naik ke panggung kekuasaan memakai populisme. Di Turki, Recep Tayyip Erdoğan mempertahankan kekuasaan dengan keras lewat pemilu pada 2014 dengan mengubah institusi yudikatif menjadi yuristokrasi, lalu melemahkan hukum memakai kekuasaan. Juga Vladimir Putin di Rusia pada 2020 yang memakai kekuasaan dengan merevisi undang-undang agar ia bisa berkuasa hingga 2036.
Ujung pelemahan demokrasi di Turki, Rusia, dan Indonesia adalah hantaman terhadap kedaulatan rakyat. Dalam On the People’s Term (2012), filsuf republikanisme Philip Pettit merumuskan bahwa pusat penyelenggaraan demokrasi adalah hadirnya etika republik. Etika republik ialah kepastian tidak ada seseorang, keluarga, ataupun kekuatan sosial yang memiliki kekuasaan tak terbatas sehingga mereka bisa memakai hukum untuk mendominasi ruang publik. Kebebasan dalam makna kehidupan republik adalah bebas dari kehadiran dominasi (freedom from domination).
Dalam horizon analisis struktural politik, rayuan kepada publik untuk mendukung penghancuran tatanan republik biasanya terjadi ketika suatu negara berada dalam sebuah krisis. Misalnya krisis ekonomi atau krisis politik. Saat ini ekonomi Indonesia masih belum pulih dari kemandekan akibat pandemi Covid-19. Seusai masa pandemi, akumulasi kekuasaan berjalan memakai dalih kemajuan dengan memanfaatkan instrumen hukum untuk mencapainya.
Faktanya, percepatan pemulihan ekonomi itu merupakan jalan kamuflase bagi penguatan arsitektur kekuasaan segelintir elite. Kita bisa melihat kecenderungan itu dalam gejala makin timpangnya struktur penguasaan sumber daya alam, makin dalamnya ketidakadilan akses pemanfaatan sumber daya alam antara masyarakat kelas bawah dan elite bisnis. Konflik-konflik tenurial dan konflik agraria yang merebak di pelbagai wilayah pada saat dan seusai masa pandemi adalah cerminan konsolidasi elite dalam membangun jejaring kekuasaan yang lebih solid dan kuat.
Gambaran suram ini pernah disinggung Bung Hatta dalam Demokrasi Kita yang terbit pada 1959. Kritik Hatta yang pokok dalam buku ini adalah koreksi atas turbulensi politik masa itu yang mengubah pijakan demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Ia mengkritik secara tajam dengan argumen yang solid tentang jenis demokrasi yang bisa menindas.
Hatta menunjukkan dengan telak krisis demokrasi terjadi ketika sistem politik ini melahirkan para pemimpin yang mengidap waham “nabi suci” sehingga mendorong mereka berkuasa selamanya. “… orang yang masuk partai bukan karena keyakinan melainkan karena ingin memperoleh jaminan. Suasana politik semacam itu memberi kesempatan kepada berbagai jenis petualang politik dan ekonomi serta manusia profiter maju ke muka.”
Dalam artikel "Tanggung Jawab Moril Kaum Inteligensia", Hatta memberikan solusi yang masih relevan, yakni mengingatkan kaum intelektual yang memiliki peran menentukan sebagai kekuatan masyarakat sipil untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan demokrasi. Wejangan Hatta makin relevan jika kita melihat putusan Mahkamah Konstitusi, manuver-manuver politik untuk berkuasa setelah 2024, dan kebijakan politik serta ekonomi yang populis guna memanipulasi dukungan publik.
merekatkannySebelum krisis republik makin menganga, ada baiknya kaum intelektual sadar dan bersatu membalikkan pemelencengan-pemelencengan itu. Kita harus sadar bahwa sesuatu yang berharga bagi Indonesia sedang longsor, yang mungkin tak mudah direkatkan kembali setelah huru-hara politik Pemilu 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Krisis Republik"