Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

ASEAN: Setelah Perhelatan di Vientiane

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alfitra Salamm
  • Ahli peneliti utama LIPI, Jakarta

    Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-10 di Vientiane, Laos, telah usai pada 30 November lalu. Seperti biasanya?dan sudah menjadi rutinitas?Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN selalu diwarnai janji dan komitmen dari tiap negara anggota. Tampaknya tidak ada tradisi bagi ASEAN, yang sudah berumur 37 tahun ini, untuk melakukan evaluasi kritis terhadap komitmen dan berbagai program yang telah dicanangkan sebelumnya. Hal itu pula yang terjadi dalam pertemuan di Vientiane.

    Bagi kepala pemerintahan yang hadir, pertemuan ini dianggap hanya sebagai sikap kesetiaan kepada ASEAN atau Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara, yang dipandang telah berhasil memberikan kontribusi terhadap stabilitas di kawasan ini. Pertemuan ini diharapkan memperkuat hubungan personal antar-kepala pemerintahan dan simbol kekohesifan organisasi ASEAN. Paling tidak, pertemuan ini ingin membantah pandangan sebagian masyarakat yang menyangsikan eksistensi ASEAN. Bukan rahasia lagi bahwa telah lama berkembang pendapat organisasi ini tak banyak menyumbang manfaat bagi kehidupan masyarakat negara anggota ASEAN, bahkan cenderung menguntungkan salah satu negara anggota saja.

    Terlepas dari simbol-simbol hubungan internasional tersebut, harus diakui salah satu kelemahan ASEAN selama ini adalah program kerja yang kurang membumi, kurang menyentuh kehidupan masyarakat sehari-hari. Misalnya, dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-9 di Bali pada 2003, diputuskan tiga pilar pembangunan ASEAN ke depan. Yaitu, ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, ASEAN Socio-Cultural. Dari ketiga pilar tersebut kita membayangkan ASEAN seperti rumah tangga yang harmonis, saling membantu, saling pengertian, saling menghargai seperti layaknya keluarga besar.

    Inilah persoalan besar ASEAN yang membuat program di atas awang-awang dan jauh dari realitas masyarakat yang ada. Di samping kepentingan nasional yang masih menonjol, negara-negara ASEAN juga membiarkan dan cenderung memelihara persoalan yang menyangkut kehidupan ekonomi politik antar-anggota ASEAN. Satu contoh, persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Sampai sekarang belum ada niat ikhlas Malaysia untuk memberikan perlindungan yang layak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, betapa besar kontribusi TKI di Malaysia dalam memacu pertumbuhan ekonomi negara jiran ini. Perihal penyelundupan kayu dan komoditas lain?terutama di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?juga amat merugikan kita.

    Kelemahan dasar lain adalah nekatnya pemerintah Indonesia untuk turut melaksanakan perdagangan bebas ASEAN. Dalam pertemuan di Laos telah disetujui perdagangan bebas ASEAN-Cina pada tahun 2010 (beberapa komoditas dipercepat sejak tahun 2005). Nah, Indonesia?entah karena malu atau alasan lain?tergiring oleh negara-negara besar untuk menerima kesepakatan itu. Padahal, secara jujur harus diakui Indonesia belum siap melakukan perdagangan bebas. Mungkin ada baiknya Indonesia melakukan evaluasi kembali terhadap kesepakatan-kesepakatan ASEAN yang merugikan Indonesia. Tampaknya, tabu bagi Indonesia untuk melakukan sikap yang berbeda dengan anggota ASEAN lainnya.

    Dalam kehidupan sehari hari kita sudah merasakan, tanpa kesepakatan itu pun perdagangan kita sudah "bebas". Tanpa menutup mata, kita menyaksikan betapa beberapa komoditas Cina sudah merajalela masuk ke pasar Indonesia melalui jalur penyelundupan. Bagi negara-negara tertentu, Indonesia adalah "surga" penyelundupan, tempat dengan mudahnya komoditas luar negeri masuk melalui pintu-pintu yang terbuka luas.

    Apalagi kalau kita bicara soal investasi, mungkin sekarang ini Indonesia dianggap paling rendah pertumbuhan investasinya. Di samping persoalan birokrasi, kepastian hukum, dan keamanan, Indonesia juga terlalu lambat dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang menarik investor masuk ke Indonesia. Sebagai contoh, sampai sekarang Indonesia belum juga memutuskan status free trade zone di Batam. Persoalan birokrasi pusat dan daerah serta kesiapan infrastruktur di daerah tampaknya masih dianggap sebagai kendala bagi pengembangan investasi Indonesia.

    "Kebesaran" ASEAN selama ini tak perlu membuat kita malu-malu untuk mengatakan organisasi ini belum banyak menyumbang manfaat bagi kehidupan khalayak luas. Apa yang dicanangkan ASEAN sebagai ASEAN Economic Community tampaknya masih jauh dari harapan. Bagi Indonesia, sekarang yang paling penting adalah meninjau kembali berbagai kebijakan ASEAN yang selama ini kurang menguntungkan Indonesia.

    Mungkin ada baiknya bagi ASEAN untuk mulai melakukan hal-hal kecil yang secara langsung berdampak bagi kehidupan masyarakat luas.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus