Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Memburu Koruptor Kasus Karaha Bodas

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Romli Atmasasmita
  • Ketua Forum 2004 dan guru besar hukum pidana internasional Universitas Padjadjaran, Bandung

    Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaksanakan gelar kasus Karaha Bodas Company (KBC) pada pertengahan November silam patut diacungi jempol. Meskipun dalam gelar perkara ini dibahas aspek pidana yang seharusnya empat tahun silam sudah dilakukan, tidak ada kata terlambat untuk menuntaskan kasus yang nyata-nyata merugikan negara, khususnya karena kejahatan pajak yang mencapai US$ 146 juta plus tunggakan pajak sejak 1999 sebesar Rp 12 miliar, belum termasuk denda pajak yang tidak dibayar setiap tahunnya (Koran Tempo, 11 November 2004).

    Dari sisi perpajakan saja, kasus KBC jelas dan gamblang telah menimbulkan kerugian negara akibat ulah direksi KBC dan beberapa oknum Pertamina. Sungguh sangat menyayat perasaan keadilan kita sebagai bangsa yang merdeka jika kasus kejahatan yang dilakukan orang asing dan pribumi sendiri ini sudah hampir empat tahun mengendap. Penyelidikan dan penyidikan pun baru dimulai tahun 2002.

    Yang tidak bisa diterima akal sehat kita adalah masih ada petinggi di bidang pertambangan dan energi yang memberikan toleransi pada kasus ini dengan berusaha menegosiasikan pengurangan jumlah klaim arbitrase yang sudah final dan mengikat, sementara aspek kerugian negara akibat perpajakan diabaikan. Padahal kita semua tahu bahwa pajak merupakan sumber pendapatan utama yang dapat meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan bangsa ini.

    Perbuatan yang dilakukan segelintir pejabat pemerintah dan Pertamina yang membiarkan adanya ketidakwajaran dalam kasus ini dan tidak melaporkan kepada pihak berwajib dapat digolongkan sebagai perbuatan membiarkan (delict by omission). Perbuatan seperti itu dapat dituntut secara pidana dan seharusnya penyidik menindaklanjuti secara tuntas sehingga dapat dibongkar seluruh akar dan jaringan mafia dalam bidang perminyakan.

    KPK sudah seharusnya mengambil alih kasus itu karena sampai kini berkas perkara sudah bolak-balik dari polisi ke kejaksaan selama dua tahun tanpa ada kejelasan. Hal ini merupakan bukti kuat bagi KPK untuk mengambil alih sesuai dengan alasan-alasan yang dibolehkan menurut UU No. 30/2002. Sebab, kasus ini menyangkut nilai di atas satu miliar, dan menarik perhatian masyarakat, termasuk masyarakat internasional.

    Pembuktian kasus KBC secara tuntas akan memperbaiki citra bangsa ini dari tudingan sebagai bangsa yang korup. Langkah itu sekaligus dapat menjungkirbalikkan pendapat dan asumsi bahwa pemerintah sesungguhnya tidak memiliki posisi hukum kuat untuk melakukan penyidikan dan penuntutan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik menurut hukum nasional maupun internasional?terlepas dari kekalahan pertamina di mahkamah arbitrase internasional.

    Kasus KBC jelas mengandung unsur korupsi. Hal ini tampak dari pembayaran work-programme and budget 1998 (WP&B) oleh pertamina terhadap KBC, padahal proyek ini sudah ditunda pemerintah dengan Keppres No. 5/1998.

    Selain itu, sejak kasus KBC dipersoalkan, tidak ada laporan Pertamina kepada pihak berwajib mengenai adanya ketidakwajaran joint operation contract (JOC) antara Pertamina dan KBC. Apalagi, dari hasil penyidikan, diketahui bahwa ada saham kosong milik mitra lokal dalam JOC. Ini melanggar UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas. Kejanggalan ini membuktikan adanya unsur perbuatan melawan hukum seperti diatur dalam UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Kasus KBC juga terbukti merupakan kejahatan perpajakan yang secara universal diakui masyarakat internasional, sehingga tidak ada satu negara pun yang dapat melindungi para penjahatnya (no safe heaven principle). Kejahatan korupsi di AS sudah diatur dalam Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) tahun 1977, yang telah diamendemen pada 1998. Dalam FCPA ditegaskan bahwa perusahaan AS dilarang melakukan perbuatan koruptif (termasuk tidak membayar pajak) terhadap pejabat publik negara asing untuk tujuan memperoleh suatu proyek atau tetap memelihara bisnisnya.

    Undang-undang itu juga melarang pembayaran yang bersifat koruptif melalui pihak perantara (intermediaries) jika diketahuinya bahwa pembayaran tersebut secara langsung atau tidak langsung akan diterima pejabat publik negara asing dimaksud. Dalam kasus KBC sudah dapat diduga siapa saja yang dapat digolongkan dalam pengertian ini. Pengertian "mengetahui" dalam FCPA itu diberikan batasan yang luas termasuk "secara sadar mengabaikan atau bersikap permisif" pimpinan perusahaan AS tersebut. Pihak perantara ini menurut FCPA dapat termasuk joint venture partner atau agen-agen.

    Sanksi yang dapat dikenakan menurut FCPA adalah sanksi pidana denda sampai US$ 20 juta untuk perusahaannya, dan denda hingga US$ 100 ribu untuk pimpinan dan karyawan yang terlibat dalam kasus ini dan (kumulatif) pidana penjara sampai lima tahun. Selain sanksi pidana, jaksa agung atau badan pengawas pasar modal AS (SEC) dapat mengajukan gugatan sipil dengan penjatuhan denda sampai US$ 10.000 terhadap perusahaan serta para pimpinan dan karyawan yang terlibat dalam kasus tersebut.

    Satu-satunya pembelaan yang dapat dilakukan para terdakwa adalah mereka harus dapat membuktikan bahwa pembayaran tersebut dibenarkan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam kasus KBC, untuk memperkuat bukti kejahatan dalam perpajakan dan unsur koruptif, perlu dilakukan konstruksi hukum yang juga dapat memenuhi ketentuan FCPA.

    Keberhasilan perjuangan hukum kita melawan KBC dalam pengadilan pidana di AS dan di Indonesia sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah dan kesungguhan kepolisian, kejaksaan, dan penyidik perpajakan dalam menyiapkan bukti. Dengan dinyatakan terbukti melakukan kejahatan perpajakan menurut hukum Indonesia, yang juga merupakan kejahatan berat (felony) menurut undang-undang di AS, pemilik KBC yang merupakan warga negara AS yang melarikan diri dapat diburu dengan bantuan Interpol dan FBI.

    Pemerintah melalui bantuan pemerintah AS dapat melakukan dua langkah sekaligus, yaitu pendakwaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pajak berdasarkan FCPA (1998 ) dan SEC (1937 jo 2002) dan berkaitan dengan hal itu bisa diajukan gugatan sipil untuk memperoleh pemulihan kerugian yang diderita Pertamina sebagai akibat perbuatan terdakwa di Indonesia.

    Perburuan melalui dua sistem hukum yang berbeda, yaitu sistem hukum Indonesia dan AS, bagi pemerintah merupakan keuntungan karena FCPA memberlakukan yurisdiksi yang bersifat ekstrateritorial, sehingga ke mana pun warga AS berada dan melakukan kejahatan dalam lingkup FCPA dapat dituntut dan diadili menurut hukum AS (asas nasional aktif) dan dapat dituntut menurut hukum Indonesia. Dengan demikian, dalam kasus KBC dapat diterapkan secara adil prinsip double criminality yang telah diakui dalam hukum internasional.

    Hanya, memang ada satu ganjalan dalam proses penyidikan dan penuntutan tersebut, yaitu belum adanya perjanjian ekstradisi dan mutual assistance in criminal matters antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat. Selain itu, ekstradisi warga negara AS ke Indonesia merupakan kemustahilan karena masih dianut asas tidak mengekstradisi warga negara sendiri (asas nasionalitas) dalam ekstradisi.

    Sekalipun demikian, penuntutan atas tindak pidana korupsi terhadap warga negara AS tersebut dapat dilakukan secara in absentia di Indonesia berdasarkan undang-undang antikorupsi Indonesia. Penulis mendesak pemerintah bergerak cepat menuntaskan kasus KBC sebagai suatu wujud kepedulian terhadap harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka.

    Langkah ini harus dilaksanakan bukan karena pemerintah SBY-Kalla memiliki misi dan program pemberantasan korupsi, tapi demi penegakan hukum dan untuk memenuhi rasa keadilan obyektif yang harus terus diperjuangkan pemerintah Indonesia di hadapan bangsa lain di dunia. Semangat ini harus disosialkan secara ambeg paramarta ke seluruh aparatur penegak hukum termasuk para hakim/hakim agung sehingga benar-benar memiliki semangat nasionalisme yang tinggi tanpa mengurangi asas-asas hukum yang juga wajib ditegakkan dalam proses peradilannya.

    Lihat kasus Noriega, tatkala agen Drug Enforcement Administration (DEA) telah menculiknya dan dia kemudian dibawa ke wilayah Amerika Serikat, sekalipun protes diplomatik bermunculan dan juga dari para ahli hukum di AS sendiri. Tapi hakim agung di sana dengan tegar mengatakan, "Yang saya persoalkan bukanlah cara Noriega dibawa ke sini (wilayah AS), melainkan faktanya dia sudah ada di hadapan saya di wilayah hukum AS sehingga saya berwenang mengadilinya."

    Sudah jelas bahwa jika kita serius, pelaku kejahatan warga negara asing dalam kasus KBC yang lari ke negaranya atau negara lain harus terus diburu, dituntut, dan diadili menurut hukum negara yang bersangkutan atau menurut hukum Indonesia. Penuntutan itu harus diikuti dengan penangkalan atas kedatangan orang tersebut dan memasukkan perusahaan asing itu dalam daftar hitam kegiatan investasi di Indonesia kelak.

    Kerja sama hukum, baik melalui jalur Interpol maupun diplomatik, harus dijalankan secara paralel sehingga negara ini di masa mendatang dapat dicegah menjadi tempat yang subur bagi kejahatan transnasional dan tidak lagi dipandang sebagai salah satu dari safe heaven country di dunia.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus