Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rating bukan segalanya. Bagi saya, sejak dulu, dalam membuat sebuah berita baik untuk media cetak maupun media elektronik, yang penting adalah citra. Dan yang saya inginkan dari sebuah produk jurnalistik tim adalah pengaruh (magnitude) terhadap opini publik. Tentu saja citra atau pengaruh tadi tidak ada jika tidak ada rating yang bagus. Tapi setidaknya dengan prioritas yang saya berikan untuk citra dan pengaruh tadi, rating bukanlah prioritas utama.
Rating Liputan 6 selama bertahun-tahun hanya berkisar 2-3 (paling tinggi hanya 4). Angka yang tak seberapa dibanding sinetron populer?tapi harus diingat: Liputan 6 yang paling diandalkan SCTV untuk meraup revenue terbesar sepanjang tahun, dan tentu saja profit yang terbesar juga. Berdasarkan survei AC Nielsen, Liputan 6 adalah program televisi terpopuler, tidak hanya untuk program berita televisi, tapi juga program televisi seluruhnya.
Karena itulah pemasang iklan, khususnya yang memproduksi barang-barang untuk masyarakat yang kelas A, B dan C, tidak ada pilihan lain untuk mempromosikan produknya kecuali di program yang populer, terutama untuk kelas masyarakat tadi. Sebab itu, saya agak terperanjat ketika ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Victor Menayang, dalam kolomnya di majalah ini (Menolong Televisi Kita, Tempo, 5 Desember) dengan gegabah menyimpulkan bahwa semua praktisi televisi dari juru kamera sampai eksekutif tertinggi di industri televisi hanya berorientasi pada rating dan tidak peduli dengan apa yang ditayangkannya dan bahkan tidak menonton tayangannya sendiri. Gegabah, juga terlalu menggeneralisasi semua praktisi media televisi. Padahal, argumen itu hanya dimaksudkan Victor untuk membenarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) dan teguran-teguran yang dikeluarkan KPI terhadap stasiun televisi yang dianggap melanggar P3.
Sebenarnya tidak satu pun stasiun televisi keberatan dengan kehadiran KPI. Karena kami sangat menyadari dan membutuhkan sebuah lembaga di luar industri televisi yang bisa mengawasi industri ini. Tidak bisa dimungkiri bahwa tayangan yang mengandung unsur porno, mistik, atau kekerasan akan mengurangi bahkan mencederai citra televisi. Sebab, jika ingin untung, seharusnya industri televisi menjaga citra dan pengaruhnya di masyarakat. Karena itu, sebelum KPI lahir, ATVSI sudah melahirkan Pedoman Perilaku Televisi Indonesia, dan bahkan sudah menetapkan sejumlah pakar komunikasi nasional dan seorang pengurus MUI menjadi anggota Komisi Penegakan Pedoman Perilaku Televisi.
Keberatan utama industri televisi yang tergabung di dalam Asosiasi Televisi Swasta Seluruh Indonesia (ATVSI) terhadap UU No. 32/2002 tentang Penyiaran adalah diberikannya wewenang regulator (membuat peraturan), pelaksana peraturan (eksekutif) dan peradilan untuk mengadili pelanggaran aturan itu kepada suatu badan KPI oleh DPR. Syukurlah, Mahkamah Konstitusi, akhirnya membatalkan wewenang KPI membuat peraturan pemerintah (PP) bersama dengan pemerintah. Dengan begitu, hanya pemerintah yang berhak membuat PP.
Ketika industri televisi menunggu peraturan pemerintah, yang rencananya akan akhir Desember ini, KPI mendahului dengan mengeluarkan P3 dan SPS, 30 Agustus lalu. Persoalan muncul, ketika KPI dalam P3 dan SPS, itu, justru mengatur hal-hal yang seharusnya jadi wewenang peraturan pemerintah termasuk tentang sanksi administratif, termasuk pencabutan izin usaha stasiun televisi. Padahal, UU Penyiaran dengan tegas mengatakan bahwa hanya pelanggaran terhadap UU itu yang bisa dikenai sanksi administratif, termasuk "hukuman mati" bagi industri televisi berupa pembredelan, bukan pelanggaran terhadap KP3 atau SPS. Seharusnya KP3 dan SPS mengatur pada tataran etika dan moral, dan pengaturan terhadap sanksi hukum adalah bagian dari yurisdiksi perundang-undangan. Bahkan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan, "hukuman mati" itu hanya bisa dilakukan melalui due process law. Artinya hanya bisa dilakukan pengadilan.
Kekagetan industri televisi tidak cukup hanya dengan lahirnya P3 dan SPS tadi. Kekagetan itu, ditambah lagi dengan pernyataan KPI di DPR pekan lalu, yang mengatakan akan menjatuhkan sanksi terhadap stasiun televisi yang melanggar P3 dan SPS, setelah sebelumnya mengeluarkan teguran (padahal teguran juga sudah berupa sanksi). Sebab, membaca teguran KPI, tak hanya memperingatkan tayangan yang dianggap porno, vulgar, mistik, tapi juga merambah tayangan jurnalistik yang notabene sudah diatur Undang-Undang Pers. Salah satu keberatan KPI adalah ditayangkannya wajah tersangka kriminal atau pidana. Menurut KPI, penayangan wajah tersangka melanggar asas praduga tak bersalah.
Teguran KPI tentang itu adalah debat kami kalangan jurnalistik 20 tahun lalu, ketika majalah Tempo diprotes saat saya memajang wajah tersangka raja komputer Yusuf Randy yang buron keluar negeri. Padahal, kalau itu kini dilarang, masyarakat Indonesia tak pernah kenal Amrozi, Imam Samudera, atau Adrian Waworuntu?siapa bilang mereka public figure sebelum menjadi tersangka?
Jadi, sebelum hujan sanksi berjatuhan, sebaiknya KPI duduk bersama ATVSI tentang apa yang dilarang dan apa yang tidak, termasuk hukum acara penjatuhan sanksi KPI. Sebab, teguran yang lalu itu dilakukan tanpa memanggil dulu eksekutif stasiun televisi tentang apa yang mereka langgar. UU Penyiaran pun memberi hak jawab kepada industri penyiaran yang dianggap melanggar P3 dan SPS (Pasal 50 ayat 4). Agar KPI tidak menjelma menjadi Departemen Penerangan di masa depan. Semuanya bisa disinkronkan asal kita berkepala dingin dan tidak terburu nafsu. Sebab kami juga butuh KPI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo