Kemelut telah mengguncang-guncang kelompok usaha Summa, untuk kemudian diakhiri oleh hempasan likuidasi. Ada apa di balik tragedi bisnis itu, dan sejauh mana kaitannya dengan PT Astra International? Lama sebelum ini, berkalikali pimpinan PT Astra International menegaskan, tak ada hubungan apa pun antara kedua kelompok bisnis tersebut. Padahal, setiap orang tahu, pemilik Astra adalah William Soeryadjaya, dan pemilik Grup Summa adalah anak sulungnya, Edward Soeryadjaya. Keterangan paling jelas mengenai keterkaitan kedua kelompok bisnis itu datang dari William sendiri. Hal itu dikemukakannya dalam salah satu RUPS (rapat umum pemegang saham) PT Astra International. Ia menyatakan bahwa Edward Soeryadjaya mengalami kerugian karena salah dalam memperkirakan investasinya di bidang properti. Ia bahkan mengatakan, andaikata putranya tidak salah dalam perkiraan bisnis yang disebabkan oleh gejolak suku bunga, Edward justru akan menjadi pahlawan bagi keluarga mereka. Memang, belum pernah ada rentetan berita yang mampu melebihi kasus yang menimpa Bank Summa, Grup Summa, dan pengalihan saham PT Astra International. Ini melibatkan berbagai tokoh terkemuka dengan berbagai ''personalities'' dan pola laku yang cukup menarik untuk digarap oleh kalangan pers. Bukan saja kata ''pahlawan keluarga'' yang muncul, tapi juga katakata ''aset nasional'' dan ''kepentingan nasional''. Sesungguhnya, apa yang terjadi selama berbulanbulan dalam kasus SummaAstra ini adalah berlangsungnya transformasi yang terlalu cepat dalam bisnis keluarga. Apa yang dimaksud dengan transformasi di sini? Sejarah bisnis keluarga di Indonesia adalah sejarah dari satu generasi, demikian perspektif yang dianut. Ini berasal dari kegagalan Oei Tiong Ham dalam melanjutkan ''kerajaan bisnis''nya. Tetapi benarkah perspektif tersebut? Bagaimana dengan keluarga Bakrie yang kini sudah dipimpin generasi kedua? Lalu, mengapa saya menyatakan bahwa transformasi dalam kasus SummaAstra adalah transformasi yang terlalu cepat dalam bisnis keluarga? Jawabannya tidak lain adalah, fenomena go public membawa pengaruh yang besar sekali pada tuntutan akan transparansi suatu perusahaan. Sementara itu, ada kenyataan objektif bahwa hubungan orang tua dan anak masih tetap dijalankan dengan cara dan nilai yang tidak ada kaitan apa pun dengan kaidah bisnis modern. Transformasi dari sebuah bisnis keluarga menjadi sebuah perusahaan yang go public adalah transformasi yang berlangsung dari satu kegiatan tingkat pertama (preliminary stage) menjadi kegiatan bisnis pada tingkat madya (advanced stage). Padahal, berangkat dari tahap awal, sebuah bisnis keluarga harus lebih dulu melalui tahap menengah (intermediate stage), sewaktu perusahaan tersebut bertransformasi menjadi perusahaan yang mengikuti kaidahkaidah bisnis yang wajar dan normal. Di sini sudah harus diintrodusir pengenalan pembuatan laporan keuangan yang memadai dan peranan akuntan jadi menonjol. Peranan akuntan terutama diperlukan karena pada tahap menengah harus dicapai suatu keadaan di mana secara tajam dibedakan antara aset serta utang keluarga dan aset serta utang perusahaan. Hal tersebut tidak mudah, dan dalam banyak hal perusahaan keluarga yang sudah memiliki aset dalam jumlah puluhan milyar, bahkan ratusan milyar, tetap saja masih baur pembedaan pribadi dengan perusahaan. Dengan go public maka perusahaan keluarga yang sebetulnya masih belum bisa dikatakan mampu secara tajam membedakan aset dan utang keluarga dengan aset dan utang perusahaan, sekaligus masuk ke tahap advanced atau madya. Dalam tahap madya ini, bukan saja peran akuntan yang menonjol tetapi bidang profesi lainnya pun mulai berperan besar. Misalnya peran sarjana hukum dalam melihat segi yang berhubungan dengan pemilikan dan hak dari pemegang saham dan manajemen. Selain itu, sekali sebuah perusahaan go public, perusahaan tersebut langsung masuk ke arena tempat ia habishabisan disorot oleh publik atau -- dengan meminjam katakata tajam para pakar perusahaanperusahaan yang go public itu harus siap untuk ''ditelanjangi''. Dalam kasus PT Astra International, sebelum terjadinya go public, memang perusahaan tersebut sudah mempunyai perangkat manajemen yang modern dan pengembangan sumber daya manusia yang bermutu. Tetapi fakta bahwa William Soeryadjaya perlu mengagunkan sahamnya pada PT Astra International demi kelangsungan Bank Summa dan kelompok Grup Summa (baca: kepentingan Edward Soeryadjaya), yang dipertaruhkan adalah kelangsungan hidup PT Astra International itu sendiri. Benar, bahwa sistem manajemen PT Astra International sudah melembaga, sehingga mempunyai kekuatan untuk bertahan dalam kompetisi maupun dalam menghadapi deregulasi ekonomi. Namun, ketidakpastian dalam hal pemilikan akan mempunyai pengaruh sosial dan psikologis kepada seluruh jajaran karyawan PT Astra International. Saat sekarang, transisi pemilikan saham PT Astra International masih berlangsung, dan pengaruhnya kepada manajemen serta kualitas performance Astra masih perlu waktu untuk dapat dievaluasi secara objektif. Tetapi jelas bahwa transisi pemilikan ini bukanlah sesuatu yang dilaksanakan dengan berencana oleh keluarga William Soeryadjaya. Pengalihan pemilikan saham adalah konsekuensi logis daripada kegagalan kelompok Summa dan Bank Summa (baca: Edward Soeryadjaya) yang harus dibayar oleh ketidakmenentuan prospek PT Astra International yang kabarnya mempunyai 74.000 karyawan dan dikenal sebagai salah satu perusahaan terbesar bukan saja di Indonesia tetapi di Asia. Apakah hubungan Astra-Summa (hubungan Ayah-Anak) yang berlangsung dalam transformasi yang terlalu cepat ini tidak menghinggapi bisnis keluarga lainnya di Indonesia? Saya perkirakan, magnitude dari persoalan William Soeryadjaya dan Edward Soeryadjaya memang lebih besar daripada kasus mana pun yang tampak di mata kita. Tetapi transformasi bisnis keluarga menjadi perusahaan yang go public juga mengandung potensi yang bukan tidak mungkin dapat mempengaruhi kelangsungan perusahaan yang go public tersebut bila keberhatihatian diabaikan. Contoh yang bisa dikemukakan di sini adalah kelompok: Sinar Mas (Eka Tjita Wijaya dan putra- putrinya), Darmala (Suhargo Gondokusumo dan putra-putrinya), Lippo (Mochtar Riady dan putra-putrinya). Kelompok Bakrie (Aburizal Bakrie) memang sudah merupakan generasi kedua, tetapi masih terlalu pagi menilai apakah generasi kedua ini dapat bertahan dan dapat diturunkan pada generasi ketiga. Juga, kelompok Salim (Sudono Salim dan putra-putrinya). Keduanya merupakan contoh bisnis keluarga yang meloncat ke tingkat madya (go public), tanpa melalui tingkat intermediate. Kelanjutan perusahaan seperti Bank Internasional Indonesia, Lippobank, Bakrie Brothers, Indocement, yang kesemuanya mempunyai status go public, serta perusahaan seperti Bank Central Asia, Darmala Bank yang belum go public, tetapi pemilikannya erat berkaitan dengan sejumlah perusahaan yang sudah go public -- dan kesemuanya berpotensi untuk mengalami tragedi keluarga Soeryadjaya. Bila secara analogis tragedi keluarga Soeryadjaya menimpa keluarga Sudono Salim, kita membayangkan Bank Central Asia melanggar legal lending limit dan akibatnya saham Indocement digadaikan untuk ''menyelamatkan'' Bank Central Asia. Kalau itu terjadi, barangkali yang dipertaruhkan bukanlah sekadar Rp 1,08 trilyun seperti nilai 100 juta saham yang dimiliki keluarga William Soeryadjaya di PT Astra International. Bila PT Indocement menjadi company listed, saham mayoritas keluarga Sudono Salim pada PT Indocement bisa mencapai (perkiraan kasar) Rp 6 hingga 10 trilyun. Jumlah tersebut bisa dipastikan akan amat mengguncangkan, sampai pada sendisendi kehidupan perekonomian nasional. Berbeda dengan keluarga William Soeryadjaya yang bergerak di sektor otomotif, bank, properti, dan perkebunan, keluarga Sudono Salim bergerak di sektorsektor yang secara keseluruhan berkaitan langsung dengan kehidupan individu seperti semen (pembuatan rumah hingga real estate) dan properti, penggilingan gandum menjadi tepung terigu (Bogasari), yang terkait dengan makananmakanan yang menggunakan tepung terigu seperti mi dan roti (kelompok Indo Food), perbankan dan jasa keuangan lainnya (BCA), perkebunan dari kelapa sawit hingga minyak goreng Bimoli dan industriindustri otomotif (Indo Mobil), serta kegiatan ''dahsyat'' di Pulau Batam yang mencakup pembangunan dan transformasi di pulau tersebut. Tentu saja saya tidak bermaksud ''menakutnakuti'' pembaca dengan analogi ini. Tetapi analogi penting untuk menggambarkan, betapa dahsyatnya konsekuensi suatu transformasi yang terlalu cepat dari bisnis keluarga menjadi perusahaan yang go public. Mengatakan ini bukanlah memberikan suatu penilaian negatif terhadap prospek perusahaanperusahaan go public yang bersumber dari bisnis keluarga. Dalam sebuah kuliah tamu di Universitas Indonesia pada Fakultas Pascasarjana UI, Aburizal Bakrie menyatakan bahwa almarhum ayahnya selagi hidup (bayangkan, orang hidup berbicara mengenai apa yang akan terjadi pada perusahaannya setelah ia meninggal) bersamasama putraputrinya menyusun hubungan keluarga dengan perusahaan secara detail, menyangkut lebih daripada satu keturunan, bahkan mencapai tujuh keturunan. Di situ antara lain diatur, apa saja yang mendiskualifikasi anggota keluarga untuk berada di perusahaan, dan apaapa yang diwajibkan pada anggota keluarga untuk tetap berada di bisnis keluarga yang akan bertransformasi. Sangat boleh jadi, wasiat almarhum Bakrie tua menjadi alasan bagi Aburizal untuk mencalonkan Tanri Abeng yang kemudian menjadi direktur utama Grup Bakrie Brothers. Aburizal juga menceritakan berbagai anekdot ''perang'' di antara para anggota keluarga terhadap meningkatnya ''kekuasaan'' Tanri Abeng sebagai transisi yang harus dijalankan. Tentu saja apa yang terjadi pada Bakrie Brothers masih belum bisa kita nilai, karena jangka waktunya masih terlalu dini untuk membuat suatu perkiraan objektif. Tetapi, dari pengalaman ini, tampaknya diperlukan sebuah perubahan kultural (orang yang hidup berbicara mengenai perusahaan setelah dia mati), yang belum tentu dapat dipenuhi oleh para konglomerat lain yang disebut namanya di sini. Dan perubahan kebudayaan ini tampaknya menjadi kunci bagi keberhasilan transformasi bisnis keluarga. Dalam era globalisasi dan pelaksanaan deregulasi serta implementasi AFTA (Asean Free Trade Asia), hanya perusahaan yang efisien yang mampu bersaing. Cara untuk mencapai efisiensi yang dituntut dalam era persaingan adalah adanya manajemen profesional yang benarbenar berwenang di bidangnya, serta kemampuan membedakan aset dan utang individuindividu dalam keluarga dengan aset dan utang perusahaan itu sendiri. Dalam hal ini bisnis keluarga, khususnya dari keluarga nonpribumi, masih membutuhkan waktu untuk membuktikan bahwa setelah kegagalan dinasti Oei Tiong Ham, maka tradisi buruk itu tidak terulang. Sampai kini, belum bisa dipastikan bahwa bisnis keluarga milik pengusaha nonpribumi bisa selamat melampaui generasi pertama. Inilah yang perlu disimak terus. Sementara itu, dari kalangan pribumi, eksperimentasi Achmad Bakrie perlu dikaji oleh kelompokkelompok usaha lainnya, yang sudah mulai bergerak ke arah yang sama. Misalnya Kelompok Sukamdani Sahid Gitosardjono dan kelompok Soedarpo Sastrosatomo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini