Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

1993: Tahun Konsolidasi

Wawancara Tempo dengan kamardy arief tentang per- tumbuhan bank di Indonesia, kebijaksanaan uang ketat, suku bunga, dan beberapa bank yang jatuh.

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANKIR senior Kamardy Arief masih tampak segar di usianya yang ke60. Hobinya, jogging pagi hari. Pukul 07.30 ia sudah meluncur ke kantornya yang baru, Bank Internasional Indonesia (BII). Di sini ia menjabat sebagai presiden komisaris sejak RUPS BII, November lalu. Sepanjang kariernya, Kamardy lebih dikenal sebagai bankir pemerintah. Selama sembilan tahun ia menjadi direktur utama Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sebelum itu, selama 23 tahun ia bekerja di Bank Indonesia dengan posisi terakhir sebagai direktur. Pekan silam, di kantornya lantai 9 gedung BII, Jalan Thamrin, Jakarta, ia menerima TEMPO untuk sebuah wawancara. Petikannya: Pada tahun 1992 penambahan jumlah bank dan jumlah cabangnya tidak sebesar tahun 1991. Mengapa? Kalau kita bicara mengenai pertumbuhan bank, tentu kita harus bicara jumlah bank yang ada. Sebelum Pakto ada 111 buah, menjadi 215 buah pada Juli 1992. Jumlah kantor menjadi 17.358 buah, bertambah sebanyak 5.000 lebih. Meningkatnya begitu besar. Sekarang, bank ingin melihat lebih dulu, apakah peningkatan cabang ini membawa hasil. Hasil pertambahan bank dan jumlah cabang itu secara makro positif. Jumlah dana yang diserap dan kredit yang disalurkan meningkat. Pada Desember 1988, dana perbankan yang terkumpul Rp 37,5 trilyun. Sekarang, per Agustus 1992, menjadi Rp 109 trilyun. Kredit yang disalurkan pada 1988 Rp 22,4 trilyun, sekarang menjadi Rp 120 trilyun. Jadi, Pakto, dari segi pengerahan dana dan penyalurannya, positif. Tapi, banyak bank berarti banyak persaingan. Bank harus aktif bergerak. Kalau tidak, bukan nasabah yang datang, tapi lalat. Jadi, kembali ke persyaratan utama: bank harus dikelola profesional. Kalau tidak, bank akan mengalami kesulitan, terlalu banyak unsur spekulasi, pembiayaan proyek tidak feasible. Ditambah lagi dengan persyaratan CAR (perbandingan antara modal dan aset tertimbang menurut risiko), return on asset (rasio antara laba dan aset), loan to deposit ratio (rasio dana pihak ketiga dengan jumlah pinjaman). Jadi, sebabnya karena menunggu hasil? Itu salah satu. Ada yang lain, yaitu supply dan demand. Kalau disuplai terus jumlah cabangnya, demand dari masyarakat tentu turun. Berarti ekspansi bank sudah mencapai titik jenuh? Kita belum bisa mengatakan sekarang. Alam nanti yang menjawab. Nah, menurunnya jumlah cabang dan bank baru, itu hukum alam. Apakah bukan karena kebijaksanaan makro tahun 1992 yang membuat bank mengerem pertumbuhannya? Kalau kebijaksanaan makro, saya menilai baik. Tahun 1989 kita tumbuh 7,6%, 1990 tumbuh 7,1%, dan 1991 6,6%. Makro kita baik, walau jika kita bandingkan dengan Malaysia atau Thailand kita kalah. Mikro perbankan itu yang menjadi masalah. Kalau ada bank yang jatuh, itu karena mikro perbankan tersebut. Maksud saya adalah kebijaksanaan uang ketat . . .. Pada 1991 dan 1992, kita mengalami kesulitan akibat mikro perbankan. Itu karena suku bunga yang tinggi. Bayangkan, bunga dari 18% menjadi 25% atau 27%. Secara objektif, ada batasan yang membuat bunga tidak bisa dipasang semenamena. Bunga kita itu tinggi. Coba bandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang cuma 10% atau 8%. Dengan beban bunga yang tinggi, kita menghadapi masalah besar. Apalagi sekarang, setelah zone perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area, AFTA) diberlakukan. Di samping itu, kita harus efisien. Dengan negara lain kita diadu. Dari segi cost dana saja, kita sudah kalah. Jadi, bunga ini merupakan penyebab utama bank mengalami kesulitan. Akibat bunga tinggi, banyak kredit yang macet. Tentu, kredit macet juga bisa disebabkan oleh profesionalisme pengelola bank. Manajemen tidak profesional dalam menilai proyek, atau dia keliru dalam membuat proyeksi. Kan bunga sudah turun sedikit. Menurut saya, bunga yang tinggi belum berhenti. Sekarang masih tetap 22%. Itu tinggi, lo. Apa masih bisa turun lagi? Pemerintah memang sudah menurunkan bunga. Tapi selisih antara biaya dana (bunga deposito) dan bunga kredit sangat besar. Anggap bunga deposito 14%, berarti ada spread 8%. Apakah spread bisa diturunkan? Kita lihat dulu komponen yang tercakup di dalamnya. Di dalam spread terkandung overhead cost, kita ambil saja 2,5%. Beberapa bank pemerintah malah jauh lebih besar, disebabkan cabangnya tersebar di manamana. Harus diperhatikan juga cadangan penghapusan, untuk jagajaga kalau ada kredit yang macet. Bunga yang tinggi sangat labil, gampang untuk tidak lancar, atau malah macet. Maka, bank harus membuat cadangan dana yang tidak boleh diputar. Kita ambil cadangan klasifikasi 3%. Bank juga harus menyisihkan reserve requirement sejumlah dana cadangan yang tidak boleh diputar untuk menjaga likuiditas bank. Ambil saja besarnya 3%. Maka, sebetulnya, biaya bunga deposito yang sampai ke nasabah 15%, ditanggung oleh bank sebesar hampir 16%. Gabungan dari ketiga unsur itu merupakan biaya pokok dana, yaitu 21,5%. Belum profit margin. Katakanlah bank mengambil keuntungan 1%, berarti jatuhnya bunga kredit 22,5%. Sekarang suku bunga deposito sudah turun. Kenapa bunga kredit tak ikut turun? Salah satu penyebabnya, ya, kredit macet akibat bunga tinggi pada tahun-tahun lampau. Itu masih membebani. Kalau mau menurunkan bunga lagi, mana yang bisa ditekan? Ya, itu tadi, overhead cost ditekan, kalau perlu cuma 1%. Mungkin tidak menambah karyawan baru, gaji tergantung dividen. Pokoknya tergantung jelinya bank lah. Lalu cadangan penghapusan dikurangi. Caranya dengan menganalisa kredit benarbenar, agar kredit macet berkurang. Dan ujungujungnya adalah bunga deposito diturunkan lagi. Bagaimana kira-kira situasi perbankan tahun 1993? Saya mengira pada 1993 perbankan masih tetap pada masa konsolidasi. Beberapa bank, terutama bank swasta, mungkin sudah selesai masa konsolidasinya. Apalagi sekarang, persyaratan modal bagi bank umum naik menjadi Rp 50 milyar. Saya menduga bank akan menata kembali organisasinya, struktur dananya. Kalau perlu, bank tidak melakukan ekspansi kredit. Bila bank mengerem pertumbuhan kreditnya, tentu pertumbuhan ekonomi juga terganggu. Jadi, volume kredit yang disalurkan tahun depan akan menciut? Saya menduga demikian, karena bank masih konsolidasi. Jumlah kantor cabang akan tetap tumbuh, tapi tidak sebesar 1992. Bank Summa dilikuidasi. Apakah ada pengaruh kasus Summa terhadap perbankan swasta? Saya tidak bisa melihat pengaruh kasus Bank Summa terhadap bank pemerintah, karena saya belum melihat neracanya. Hanya satudua bank yang saya lihat, yakni bankbank dengan aset Rp 4 trilyun. Mereka tidak merasakan dampak kasus Bank Summa. Artinya, dananya masih oke. Kalau begitu, yang terkena dampak adalah bank swasta ukuran kecil? Saya tidak berani ngomong. Hanya kita sudah mendengar imbauan dari BI agar masyarakat hatihati memilih bank. Dan ini berarti pengelola bank juga harus berhatihati. Intinya, tahun 1993 masih akan diwarnai masa konsolidasi. Tapi ada satu hal yang harus saya akui, yakni bankbank asing bisa memanfaatkan ini secara hebat. Ketika bank swasta mengerem pemberian kreditnya, bank asing mengambil alih. Ibaratnya, swasta asing ini mendapat durian runtuh. Tahun 1992 ditandai dengan beberapa bank yang ambruk. Bank Sampoerna terpaksa merger, lalu disusul Bank Summa. Apakah tahun 1993 akan diwarnai kehancuran sejumlah bank lagi? Iklim kita mengarah ke deregulasi, yang menuntut orang untuk profesional. Persaingan jalan terus. Kalau tidak sanggup bersaing, harus minggir. Saya tidak tahu apakah banyak bank yang belum dikelola secara profesional. Kalau tidak profesional, mereka bisa saja jatuh, dimerger, atau diakuisisi. Setelah berubah menjadi persero, bank pemerintah tampaknya masih menyandang tugas sebagai agen pembangunan. Apakah kedua fungsi ini tidak saling mengganggu? Status persero membuat bank pemerintah makin lincah. Dia makin tajam melihat situasi. Sebagai agen pembangunan, bank pemerintah itu dibebani beberapa kewajiban, seperti Kredit Usaha Tani dan Kredit Usaha Kecil. Tapi, menurut UU Perbankan, semua bank berfungsi meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan. Karena itu, saya memandang semua bank yang sudah mempunyai banyak cabang harus dikenai kewajiban yang sama. Kalau fungsi sebagai agen pembangunan itu dilaksanakan hanya oleh bank pemerintah, bebannya terlalu berat. Lagi pula, hal itu melanggar UU Perbankan. Bank pemerintah biasanya ROAnya rendah dibandingkan dengan swasta. Kenapa? Salah satu sebabnya, karena dibebani misi sebagai agen pembangunan. Di sisi lain, bank pemerintah mempunyai karyawan yang cukup banyak. Kadangkadang terlalu banyak, karena perekrutan karyawan tidak terlalu terencana. BRI dulu begitu, sehingga saya terpaksa merasionalkan 3.600 karyawan. Sementara karyawan bank swasta, selain lebih sedikit, juga teknologinya kebanyakan lebih modern.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus