Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Televisi dan demokratisasi

Pertelevisian indonesia di tahun 1993 diharapkan lebih aktif dalam memenuhi kebutuhan informasi bagi pemirsanya. dan berperan sebagai agen demokratisasi.

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTELEVISIAN Indonesia diramalkan kian marak di tahun 1993. Akan muncul pemancar swasta baru di enam kota: Batam, Jakarta, Palembang, Semarang, Tanjungkarang, dan Yogyakarta. Apakah kemarakan itu termasuk refleksi, atau justru akan mewarnai proses demokratisasi? Sebagai refleksi pun, itu sudah positif, tapi konotasi peran aktifnya -- bersama media lain -- jatuh pada kategori ''mewarnai''. Menjawab pertanyaan itu tak cukup hanya melihat indikator jumlahnya. Apalagi untuk mewarnai. Maka yang krusial nantinya antara lain bagaimana mereka mengelola dirinya, dan isi tawaran-tawarannya ke khalayak. Jika produk impor dan produk pusat begitu saja dominan, mungkin kehadiran mereka maksimal adalah refleksi kelonggaran. Tapi kalau kemasannya lebih mengakomodasi produk lokal, menggempitakan dialog kultural dan dialog lintas-profesi, niscaya ia bakal mewarnai. Dari sudut demokratisasi, mereka tentu diharapkan lebih aktif. Jadi tak sekadar menggambarkan keadaan masyarakat, tapi memenuhi kebutuhan informasi spesifik pemirsanya masing-masing. Mereka lebih berfungsi sebagai wahana dialog dalam berbagai bentuknya ketimbang mengaminkan hardikan politik atau rayuan pragmatisme ekonomi. Kalau begitu, setiap stasiun perlu mengemas program unggulannya. Kita berharap, potensi kreatif dan potensi intelektual bangsa pun lebih banyak teraktualkan dengan kehadiran keenam televisi swasta baru itu. Tingkat proximitas antara isi media dengan kebutuhan dinamika khalayak di wilayahnya lebih klop. Baru kalau begitu televisi dan media yang lain berperan lebih riil sebagai agen demokratisasi, seperti dikatakan F. Christopher Arterton dalam bukunya, Teledemocracy. Kehidupan demokrasi dinilai kian mantap jika segmen-segmen masyarakat yang luar biasa heterogennya terepresentasikan secara adil dalam mosaik yang terbingkai dalam sebuah figura bernama negara. Semuanya berpeluang memberi yang terbaik bagi bangsanya, dan juga menerima yang terbaik pula dari negaranya. Semuanya berpeluang mendengar dan didengar, ditonton dan menonton. Sehingga, tatkala melongok ke layar kaca, mereka menyaksikan dinamika pergumulan bidang apa saja yang menuju masa depan yang lebih bagus. Wajah kultural mereka amat pekat di situ. Jadi media seharusnya menjadi cermin tempat masyarakat berkaca. Adalah bencana jika cermin yang mereka tatap justru diwarnai wajah asing, absurd, sumir, serta tak menyentuh keberadaan maupun kepentingannya. Peran sebagai agen demokratisasi karena itu selalu bisa dikemas dengan membawa perimbangan serta peran-peran strategis baru, misalnya, menyeimbangkan peran mendidik yang dinilai tersubordinasi pada peran menghibur. Mengemas nilai tambah produk nasional dan lokal dengan keunikan budaya. Permasalahan riil rakyat dan masyarakat awam tidak ditenggelamkan berita kaum elite politik, ekonomi, dan selebriti. Jadi, seperti media lain, TV pun tak layak punya ''tokoh'' permanen, tapi program permanen menokohkan orang, kepentingan, soal, dari dan kepada sumber yang lebih beragam. Untuk itu, antara lain, yang bisa dilakukan ialah, pertama, penajaman misi idiil seraya menyeimbangkannya dengan misi koceknya. Maklumlah, televisi itu dikelola swasta sehingga kalkulasi untung-ruginya bisa jadi terus-terusan dominan. Kalau ceritanya begitu, memang kita belum beralasan mengharap peran televisi itu dalam mewarnai proses demokratisasi. Kedua, strategi pengembangan profesionalisme sumber daya dan pengelolaannya. Yang diperlukan tentu bukan sekadar kemampuan teknis dan daya kreasi dalam mengemas program agar menarik, benar, dan berguna. Tapi lebih awal dari itu, visi kultural dan visi demokrasinya, serta kriteria-kriteria yang dipakai dalam elaborasi layar kacanya. Ketiga, kemudahan membuka saluran perlu diimbangi dengan komitmen penayangan reportase yang bersih, jujur, dan tak bias, selain integritas etik, dalam keleluasaan penayangan iklan. Keempat, menstimulasi persiapan sosial politik pemerintah dan masyarakat luas untuk mendukung fungsi aktifnya. Misalnya keterbukaan pejabat berdialog, bahkan berdebat di media elektronik dengan tokoh LSM, pengusaha, peneliti, mahasiswa, tentang berbagai topik hangat. Atau diskusi terbuka antar-partai politik, penayangan pemilihan lurah, serta dimensi-dimensi era budayawan, politisi, pemuda, dan pemuka agama di daerah mestinya mau berdialog terbuka, bukan cuma tentang hal yang sedang hangat tapi juga tentang gambaran-gambaran potensi dan masa depan wilayah mereka, atau cara mengadaptasi perubahan lingkungan strategis. Namun apa TV mau menayangkan dan mengemas itu secara menarik dan sang tokoh rela ditonton kapasitas riilnya terbuka di layar kaca? Alhasil, kehadiran televisi swasta mestinya bukan sekadar the dream came true, tapi lebih dalam konteks penggandaan pelaku demokrasi yang efektif. Dan itu hanya bisa terwujud dengan menempatkan rakyat sebagai kekuatan riil. Sentralitas posisi dan kepentingan rakyat dalam komunikasi adalah inti proses demokratisasi. Hal ini gamblang disampaikan Bob White, peneliti International Association for Mass Communication Research. ''Komunikasi adalah hak seluruh rakyat,'' katanya. Karena itu para profesional pengelola media, menurutnya, pada dasarnya hanyalah ''mandataris'' rakyat dalam mengkomunikasikan realitas dan aspirasi mereka. Begitu memang idealnya. Namun kapan kita mulai dengan yang ideal? *Penulis adalah ahli komunikasi, kini anggota DPR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus