Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Otomotif mau dibawa ke mana

Wawancara tempo dengan rahardi ramelan tentang de- regulasi industri otomotif, produksi mobil di indonesia, mobil kelas niaga, dan impor build-up.

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA mulai sering disebut, ketika isu mengenai paket deregulasi otomotif meruncing, September lalu. Waktu itu BPPT masih berkutat mengkaji paket deregulasi yang sebelumnya sudah dimatangkan oleh Departemen Perindustrian itu. Masyarakat bertanyatanya, ada apa hingga paket deregulasi itu harus ''tersangkut'' di BPPT. Orang yang tepat menampung pertanyaan itu adalah Rahardi Ramelan, Deputi Bidang Pengkajian dan Penerapan Industri BPPT. Tugasnya yang sudah bertumpuk di BPPT masih diperberat dengan ''beban baru'' sebagai anggota Badan Pekerja MPR. Kebeteluan sekali, kesibukan itu berakhir 19 Desember lalu, hingga Iwan Qodar Himawan dari TEMPO diberi waktu untuk sebuah wawancara dengan Rahardi Ramelan, pekan silam. Adalah Rahardi juga yang menekuni berkas rencana pembangunan listrik swasta Paiton atau PLTGU Tanjungpriok. Menurut pendapatnya, deregulasi otomotif bukanlah perkara gampang. ''Yang perlu dirumuskan lebih dahulu adalah, mau dibawa ke mana industri otomotif kita,'' katanya. Dalam nada serius, Rahardi menjawab pertanyaan, didampingi lima orang stafnya yang siap dengan berkasberkas tebal. Petikan wawancara itu: Mengapa deregulasi otomotif belum selesaiselesai juga? Yah, berilah saya waktu. Tiga atau empat bulan, misalnya. Untuk yang kategori 2 dan 3 (truk bobot 2,5w9 ton dan 9w24 ton), sudah rampung. Hasilnya akan saya laporkan ke Pak Habibie. Tapi untuk kategori 1 memang masih lama. Soalnya ini produk unggulan kita. Tapi saya ingin menjelaskan bahwa persoalan deregulasi otomotif bukan hanya persoalan local content. Ini sih perkara gampang, menyangkut persoalan teknis saja. Tapi, yang lebih rumit, kita harus menyusun dulu kerangka acuan pengembangan industri otomotif. Bicara tentang deregulasi, saya lebih cocok menggunakan istilah penataan kembali. Dari Pak Habibie saya mengetahui, deregulasi ini harus disertai dengan 16 surat keputusan, terbanyak dari Departemen Keuangan, yaitu 8 buah. Dari Perindustrian 5 buah. Juga ada SK dari BKPM, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan sebagainya. Sebelum mempelajari SK-SK itu, dan mempelajari persoalan deregulasi, ada persoalan yang lebih penting, yakni kita harus jelas lebih dulu arah pengembangan industri otomotif kita. Tanpa itu, ditanyai apa tujuan deregulasi dan apa manfaatnya, saya pun tidak bisa menjawab. Jadi konsep ini yang harus disetujui lebih dulu oleh Pemerintah. Artinya, BPPT bicara dengan Departemen Perindustrian, Perhubungan. Setelah oke, baru kita bicara tentang deregulasi. Kalau begitu, deregulasi ini masih lama lagi baru bisa diberlakukan. Saya kira tidak. Untuk kategori 2 dan 3 sudah selesai. Intinya, deregulasi sektor ini meliputi soal pajak. Kendaraan kelas ini sekarang dikenai PPn barang mewah 20%. Padahal, kalau kendaraan itu dipakai untuk angkutan umum, tidak terkena pajak barang mewah. Selama ini, asal beli kendaraan jenis ini, langsung dipukul rata pajaknya. Setelah pemiliknya bisa membuktikan bahwa kendaraan itu dipakai untuk angkutan, jadi pelat kuning, baru restitusi. Kenyataannya, dapat restitusi lama. Ini membuat market jenis ini anjlok. Terus terang, pajaknya ini yang kita deregulasi. Bagaimana gambaran tentang arah industri otomotif yang dimaksud oleh BPPT? Intinya, pengembangan industri mobil kita harus memperhatikan tiga hal: pertama, konsumsi energi, operasional, dan devisa kedua, penguasaan teknologi dan ketiga, pengembangan sumber daya manusia. Penjabarannya begini. Untuk soal energi, kita harus melihat bahwa dewasa ini Pemerintah sedang menggalakkan kebijaksanaan hemat energi. Dan ini pasti akan terus berlangsung. Di sisi lain, kita juga melihat bahwa volume silinder kendaraan pun berubah. Kelas 1000 cc, seperti yang dulu diduduki Suzuki Carry, tak ada lagi. Dia lari ke 1.300 cc. Peningkatan volume silinder membuat pemakaian energi meningkat. Akibatnya, pemakaian energi makin boros. Memang, model yang lebih baru silindernya boleh meningkat, tapi mesinnya tetap harus lebih irit. Maka, harus dengan teknologi yang canggih. Konsumsi operasional apa maksudnya? Industri mobil di Indonesia ini khas. Kalau dunia berbicara tentang industri mobil, yang dimaksud adalah sedan. Ini karena, di dunia, rata-rata produksi kendaraan sedan 2,5 kali produksi kendaraan niaga. Di Indonesia lain lagi. Produksi kendaraan niaga 4,2 kali produksi sedan. Jadi, produksi kendaraan niaga ini rupanya yang lebih dibutuhkan. Maka, kita harus melihat, manakah angkutan yang cocok bagi Indonesia. Kalau produksi mobil kita tidak melihat kebutuhan angkutan di Indonesia, stok mobil akan menumpuk, seperti yang selama ini terjadi. Benarkah industri otomotif di Indonesia banyak menghamburkan devisa? Karena itu, kebijaksanaan industri mobil harus terkait dengan kebijaksanaan devisa. Orang sering menyebut bahwa mobil di Indonesia mahal, mengambil devisa yang banyak. Kemarin kita hitunghitung, impor komponen US# 1,2 milyar, sedangkan ekspor kita cuma US# 50 juta. Saya mengakui bahwa industri angkutan membutuhkan penggunaan devisa yang tinggi. Tapi orang tidak pernah menghitung, pemborosan devisa akan makin besar kalau kita sama sekali tidak memproduksi mobil. Saya duga malah di atas US# 2 milyar. Jadi, bagaimanapun juga, industri kendaraan bermotor kita harus memperhatikan kemungkinan menghasilkan atau malah mengurangi devisa. Yang sekarang ini masih mengurangi devisa. Dalam hal devisa, beberapa negara mengaitkan kebijaksanaan produksi dengan ekspor. Misalnya Filipina. Di sana produsen mobil boleh impor US# 2, tapi harus ekspor US# 1. Atau seperti Meksiko yang melaksanakan kebijaksanaan dollar to dollar. Artinya, industri boleh mengimpor, tapi dia juga harus mengekspor dalam nilai yang sama. Kita belum melakukan itu. Kebijaksanaan kita yang berorientasi merek belum memanfaatkan pasar si pemilik merek. Kijang produksi kita tidak diekspor oleh Toyota, tapi malah dijiplak oleh Toyota, lalu diekspor ke Taiwan. Kan rugi kita? Saya berpendapat bahwa sekalipun kita menganut kebijaksanaan merek, kita harus berorientasi ekspor. Kongkretnya tentang kebijaksanaan ekspor tadi bagaimana? Kita ini brand oriented. Tapi kita seolah-olah tidak mempunyai hak menjual produksi kita ke luar negeri atas nama pemilik merek itu. Seharusnya, karena kita memproduksi Toyota, Toyota Jepang itulah yang harus mengekspor hasil kita. Istilahnya, industri kita menjadi offshore base industry, pabrik punya Toyota di luar negeri. Dewasa ini kan kita sendiri yang harus ekspor. Dalam hal teknologi, banyak yang menyebut bahwa kita ini mampu membuat pesawat terbang tapi tidak bisa memproduksi mobil. Dewasa ini, kita mempunyai banyak laboratorium yang cukup canggih, seperti laboratorium uji konstruksi, laboratorium aerodinamis, lab sumber daya energi. Melihat itu, saya yakin, sebetulnya kita pun mampu menguasai teknologi mobil. Hanya, penguasaan teknologi ini terbentur pada jumlah produksi mobil kita. Pada 1991, Indonesia hanya memproduksi 254 ribu unit. Itu pun terdiri 24 merek dan 39 tipe. Akibatnya, tidak tercapai skala ekonomi. Buat apa penguasaan teknologi kalau cuma memproduksi 1.000 unit? Kalau begitu, perlu penyusutan merek, dong? Sebelum ke situ, kita lihat dulu bagaimana situasi pasaran mobil kita. Menurut persepsi BPPT, kita fokuskan penguasaan teknologi pada produk yang menjadi unggulan di Indonesia. Mana yang menjadi unggulan? Kita lihat angka produksi. Pada tahun 1991, dari 254 ribu unit, 160 ribu di antaranya adalah produksi untuk kelompok niaga 1, Yang terjun 5 merek, yaitu Suzuki, Daihatsu, Mitsubishi, Toyota, dan Isuzu. Kelompok Isuzu ini sebetulnya dulu sudah kita coret. kok tahu-tahu muncul lagi. Dengan produksi 160 ribu unit dibagi berempat, atau ber- lima, produksi masih efisien, Maka, sebaiknya, di Indonesia ini kendaraan niaga 1, seperti Kijang, Suzuki Carry, ditetapkan sebagai unggulan. Untuk mereka diberikan insentif khusus, Dan menurut penelitian, 80% dari mobil kelas ini yang terjual dialihfungsikan menjadi mobil keluarga. Bila kita konsentrasi pada produk unggulan ini, skala ekonomi akan tercapai. Pembuatan local content betul-betul berjalan. Selama ini, untuk mesin, misalnya, yang sampai tahap pengecoran cuma Toyota, sedangkan untuk kelas niaga 2 dan 3 (truk), saya rasa memang perlu rasionalisasi, Mungkin rasionalisasi berupa produksinya dirasionalkan (produksi banyak, sisanya diekspor), atau mereknya yang dirasionalkan. Kalau kelas niaga 1 dijadikan unggulan, apakah menurut BPPT kita harus mempertahankan produk unggulan ini terus? Ya . Dari segi devisa, kelas niaga 1 ini juga yang paling bagus perbandingannya, antara nilai jual dan penggunaan devisa. Di kelas ini, setiap penjualan US$ 2,14 hanya menghabiskan devisa 1 dolar. Paling jelek 0,87. Jadi, setiap penjualan 0,87 menghabiskan devisa 1 dolar, Bagaimana dengan mobil yang di luar kelompok unggulan, seperti kelas niaga 2 dan sedan? Sebelum bicara soal ini, kita simak dulu pernyataan yang dari luar negeri. Menurut saya, pernyataan ini hanya cocok untuk sedan. Buktinya, ketika kelompok niaga 2 dan 3 diizinkan masuk tanpa bea, barang ini tidak laku. Ternyata barang impor itu lebih mahal dari produksi dalam negeri. Adapun jenis sedan memang sengaja dibuat mahal. Caranya? Mengenakan bea masuk sedan 100% sedangkan kendaraan niaga 0%. Ini dalam rangka mengurangi pemakaian kendaraan luks di In- donesia. Sedan juga mahal karena rendahnya produksi sedan di In- donesia. Penjualan sedikit, tapi Pemerintah melarang impor dalam bentuk jadi. Terpaksalah sedan diproduksi dan terjadi in- efisiensi. Konsumenlah akhirnya yang terkena. Jadi, untuk sedan, kami menghadapi dilema. Apakah rendahnya produksi dan pengenaan pajak tinggi akan dilanjutkan. Ataukah mengizinkan impor sedan dalam bentuk CBU, dengan bea masuk tinggi, supaya uangnya jelas masuk ke Pemerintah. Bagaimana kalau sedan diizinkan impor dalam keadaan utuh, tapi bea masuknya ditinggikan? Itu memang bisa . Misalnya dengan mengenakan bea masuk 300% Nggak apa-apa, Cuma, kalau kita mengizinkan mobil masuk utuh, pabrik-pabrik tutup. Kesannya, kok kita mundur. Kebijaksanaan di kelas ini memang sedang kita diskusikan terus-menerus. Kalau nanti ada rasionalisasi, siapa yang kena? Menurut saya, kita lihat saja grup yang potensial. Krama Yudha, walau hanya mengeluarkan merek Mitsubishi, saya pandang potensial. Astra, Indo Mobil, dengan beberapa merek, juga potensial. Yang lain,yang tidak,ya minggir saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus