TAHUN 1992 segera kita tinggalkan, sejumlah agenda politik dalam negeri dapat kita selesaikan dengan baik, antara lain pemilihan umum yang tetap memperlihatkan hegemoni Golongan Karya. Setelah Pemilu, diteruskan dengan pengisian jabatan anggota MPR dengan sedikit ''kejutan'', terutama anggota Perimbangan, yaitu munculnya Islam sebagai elemen politik yang cukup diperhitungkan, serta melemahnya ''aliansi'' lama dengan tidak munculnya para figure yang selama ini dekat dengan CSIS, lembaga yang pada tahun 1970-an dikenal sebagai tempat penggodokan ide Orde Baru ketika Ali Murtopo dan Sudjono Humardani masih merupakan ''bapak angkat'' bagi sejumlah aktivis di Jakarta. Bagaimana dengan tahun 1993 yang akan segera kita masuki? Menurut saya, ada dua agenda utama yaitu pertama yang boleh dikatakan bersifat rutin lima tahun sekali, Sidang Umum MPR pada kuartal pertama, dan kedua politik dalam rangka pra- transisi menuju era baru perpolitikan di Indonesia, terutama yang berkait dengan masalah suksesi dan demokratisasi. Apakah Sidang Umum MPR tahun 1993 nanti merupakan sesuatu yang menarik ataukah hanyalah semata-mata tugas rutin politik lembaga negara tersebut lima tahun sekali? Adakah kemungkinan terjadinya satu terobosan baru yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya proses peningkatan kualitas demokratisasi di Indonesia? Jawabannya bisa positif dan bisa pula negatif. Yang sudah hampir pasti dapat diselesaikan dalam SU MPR yang akan datang adalah masalah pemilihan presiden. Kalau tidak ada aral melintang, maka Presiden Soeharto terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun lagi. Masalah pemilihan wakil presiden merupakan hal yang menarik. Selama ini sejumlah nama dimunculkan sebagai calon, termasuk B.J. Habibie, Susilo Sudarman, Emil Salim, Rudini, dan Jenderal Try Sutrisno. Di antara nama-nama tersebut yang paling populer adalah Habibie dan Try Sutrisno. Akan tetapi kita semua kurang memperhatikan tradisi yang sudah berjalan, yaitu peranan dari ''presiden terpilih''. Dalam pemilihan Wapres biasanya presiden terpilih memiliki preferensi yang tidak seorang pun tahu, dan bukanlah tidak mungkin akan menimbulkan semacam kejutan. Karena itu bukanlah sesuatu yang mustahil kalau ketiga nama itu misalnya tidak masuk nominasi dari presiden terpilih. Bagaimana kalau Wapres Sudharmono misalnya? Itulah politik Indonesia. Ada yang transparan di atas permukaan dan tidak jarang pula penuh dengan misteri, ter-utama tahun 1993 ini yang, menurut saya, merupakan tahun pra-transisi menuju era baru perpolitikan di Indonesia yang akan dilewati dengan kemungkinan terjadinya ''krisis''. Pertanyaannya kemudian adalah krisis seperti apa yang akan dihadapi masa-masa mendatang? Saya melihat ada kemungkinan dua krisis yaitu yang berkaitan dengan masalah suksesi kepemimpinan nasional dan yang kedua krisis yang berkait dengan antisipasi terhadap masalah demokratisasi. Tidak dapat dimungkiri bahwa sekalipun sudah hampir setengah abad kita merdeka, bangsa Indonesia tidak mempunyai pengalaman yang cukup yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan nasional. Pengalaman pemerintahan kita hanya dilewati dengan dua presiden, sekalipun diselingi oleh periode intregennum pada masa pemerintahan banyak partai di zaman pasca-kemerdekaan. Mulai tahun 1993 dan seterusnya kita akan mulai meraba kembali seperti berjalan dalam kegelapan bagaimana menghadapi suksesi tersebut. Demikian juga halnya dengan proses demokratisasi. Proses perubahan sosial yang berjalan selama hampir tiga dekade terakhir ini membawa dampak yang sangat besar dalam peningkatan kemampuan politik masyarakat. Pada akhirnya tuntutan akan demokratisasi tak dapat dielakkan, setidaknya yang berkaitan erat dengan tuntutan agar sejumlah hak-hak dasar dari masyarakat untuk dihargai (basic human rights). Kasus hak uji dari Mahkamah Agung, misalnya, dapat kita jadikan contoh. Tampaknya kesadaran politik masyarakat untuk tidak menerima begitu saja kebijaksanaan pemerintah akan semakin meningkat, seperti yang terjadi dengan UU Lalu Lintas pada tahun 1992. Saya menunggu dengan kecemasan bagaimana UU tersebut diimplementasikan dengan tidak menimbulkan gejolak politik yang keras sekali pada tahun 1993 ini. Barangkali Islam perlu diberi catatan tersendiri pada tahun 1993 ini. Apakah masih akan memperlihatkan gejala akomodatif seperti halnya dengan tahun 1992 sehingga diharapkan mampu memainkan peranan yang menonjol seperti menghijaunya lembaga perwakilan rakyat? Elemen politik Islam menempati posisi yang dilematis dalam politik Indonesia sekarang ini. Di satu pihak mereka dituntut untuk selalu memperlihatkan wawasan kebangsaan yang sangat kuat demi terciptanya satu ''nation state'' atau negara kesatuan yang kuat, akan tetapi di pihak lain mereka tidak dapat secara terbuka mengajukan ''political cause'' karena mengkhawatirkan untuk dicap sebagai primordialis dan sektarian. Kasus ICMI merupakan contoh konkret. Pergunjingan yang melecehkan muncul di atas permukaan ketika sejumlah aktivis ICMI diangkat menjadi anggota MPR. Saya hanya berharap semoga saja tahun 1993 bukan tahun yang mengecewakan bagi sejumlah orang Islam, terutama bagi mereka yang sudah memikirkan jabatan penting dalam kabinet. Kalau sampai mereka kecewa maka akan meramaikan lagi politik masa pra-transisi. Dan yang menarik sekali untuk diamati adalah politik partai pasca-SU MPR. PDI dan Golongan Karya melakukan kongres pada tahun 1993 dan suksesi dalam kedua partai tersebut sangat menarik untuk ditunggu. Selamat tahun baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini