Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Aura

3 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada suatu masa ketika raja dan kesatria menghilang. Para pangeran Pandawa lenyap ke dalam rimba selama 13 tahun; Rama menyingkir dari istana Ayudhya dan hidup dalam belantara hampir satu setengah dasawarsa. Dalam kedua wiracarita itu hutan meniadakan penampilan; tapi hidup jadi bagian ritus ke arah kemenangan.

Dalam tradisi Veda, ritus itu disebut vanaprastha, "menyingkir jauh ke dalam rimba". Di sana, meskipun tak selamanya diartikan harfiah, tak tampak di depan umum mengisyaratkan hidup yang tak lagi digoda kekenesan dan nafsu lain.

Keadaan itu meruapkan sebuah aura tersendiri—satu hal yang juga terjadi dalam sejarah politik modern. Di Ekuador, Velasco Ibarra, presiden yang hidup dalam pengasingan, dikenal sebagai El Gran Ausente: ia absen dan ia hebat dalam ketidakhadirannya. Pada 1933 ia dipilih dengan 80 persen dari suara yang masuk, tapi kudeta militer menjatuhkannya. Velasco pun hidup sebagai eksil, tak tampak di tanah air, tapi kemudian muncul kembali dan berkuasa (meskipun kemudian dijatuhkan lagi). Velasco tak pernah sepenuhnya kalah. Pada 1968, ia menang buat kelima kalinya; usianya 75 waktu itu. Kali ini pun ia dikudeta, tapi Ekuador tak bisa menghapus El Gran Ausente dari ingatan.

Absen dan aura juga terpaut dalam sejarah Iran abad ke-20. Ayatullah Khomeini menentang kebijakan Shah yang berkuasa. Ia pun ditangkap. Empat belas tahun setelah November 1964 itu ulama besar tersebut hidup dari tempat pengasingan yang satu ke yang lainnya: Bursa di Turki, Najaf di Irak, Neauphle-le-Château di Prancis. Selama itu, namanya semakin termasyhur, auranya membubung, dan pengaruh politiknya semakin menyebar.

Aura—semacam daya yang bukan fisik yang memancar dari seseorang atau sebuah benda—terbit karena sifat unik orang atau benda itu. Tapi tak hanya itu. Juga karena "di luar", karena jarak. Walter Benjamin, yang menulis satu esai yang terkenal tentang perubahan perspektif atas karya seni sesudah zaman mesin, mendefinisikan aura sebagai einmalige Erscheinung einer Ferne, penampilan unik dari sebuah jarak, betapapun dekatnya fenomena itu.

"Jarak" itu bisa berarti ruang dan waktu, tapi juga bisa berarti kondisi ketika ia terasa tak bisa didekati. Aura patung Durga di dalam satu ruang candi di Prambanan di Jawa Tengah terbentuk bukan saja karena kehadirannya yang remang-remang, tapi juga karena suasana yang tumbuh dari kemegahan kompleks pemujaan itu. Sebagaimana dibangun di abad ke-9, ada 240 candi yang tersusun dengan ukiran yang menakjubkan di wilayah yang luas itu.

Aura itu kini punah. Tentu karena orang datang, dalam bus-bus yang gembira, bukan untuk menyembahnya. Benjamin menguraikan hilangnya aura pada karya seni karena dunia modern masuk dan kapitalisme dengan gampang mereproduksi karya itu: patung Rodin, "sang pemikir", tak lagi menggetarkan setelah ia diperbanyak dalam pelbagai ukuran di gerai turisme.

Tapi saya kira mudahnya reproduksi justru melahirkan efek sebaliknya. Aura malah tumbuh. Dalam sejarah politik modern, dalam "pemujaan sosok pribadi" Stalin, Mao Zedong, Kim Il-sung, dan Bung Karno, aura justru diproduksi lewat bahasa dan gambar, slogan dan poster yang diulang-ulang mengumandangkan keagungan mereka. Di sini, aura dibentuk dalam rekayasa. Indoktrinasi diperkuat dengan kultus dan mantra ideologi.

Semakin dilambungkan sang pemimpin, seperti ketika semakin banyak predikat "agung" dikenakan kepada Bung Karno, semakin tak terjangkau ia oleh pemikiran dan imajinasi orang banyak. Karena posisinya, karena hierarki, seorang pemimpin mengandung enigma. Kultus mempertebal lapisan yang menutup enigma itu, menghindari dari apa yang transparan dalam dirinya. Dengan begitu sang pemimpin seakan-akan berada di atas politik. Ia tak ikut siasat dan menunjang kepentingan diri. Ia bukan bagian politik sebagai antagonisme; ia seakan-akan jadi panutan bersama.

Dengan kata lain, ia tampil sebagai gema dari panggilan moral yang universal. Velasco Ibarra, misalnya, mengidentifikasikan dirinya dan pendukungnya bukan sebagai pengejar kebendaan. Yang layak diusahakan ialah "keagungan moral", [la] grandeza moral, sesuatu yang abadi.

Aura, jarak dari politik dan retorika moral—semua itu tak dengan sendirinya kabar baik. Dalam kultus, dalam melipatgandakan aura, seorang besar dibentuk atau membentuk diri, tapi pengalaman panjang sejarah Tiongkok telah mengajarkan sebuah pemeo: "orang besar adalah nasib malang masyarakat".

Apalagi ketika antagonisme politik disikapi sebagai pergulatan moral. Publik pun akan terbelah dalam kubu-kubu yang melihat diri sebagai pembawa "keagungan moral": argumenku jadi mutlak, bahkan suci sepenuhnya.

Yang tak diakui ialah bahwa politik juga (yang nisbi dan terbatas) yang menentukan mana yang suci dan yang busuk. Tak jarang intoleransi bertaut dengan kemunafikan.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus