Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta akan mengaudit 307 jembatan penyeberangan orang (JPO). Langkah itu diambil setelah satu jembatan yang membentang di atas underpass Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ambruk dan menelan tiga korban jiwa di tengah hujan lebat dan angin kencang pada Sabtu, 24 September 2016.
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama mengatakan pengecekan dan pemeriksaan akan disertai ketetapan baru bahwa tidak boleh ada papan reklame yang menutupi setiap jembatan itu. ”Secara bertahap, akan kami hapus iklan yang ada di jembatan penyeberangan,” kata Basuki. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah menyatakan pemasangan papan reklame menjadi penyebab ambruknya jembatan yang dibangun pada 2002 itu.
Tempo edisi 1 Agustus 1981 menulis mengenai pejalan kaki yang jadi korban kecelakaan lalu lintas dan minimnya jumlah JPO di kota-kota besar Tanah Air. Waktu itu data kecelakaan lalu lintas menunjukkan 33 persen korban adalah pejalan kaki. Terutama yang menyeberang jalan secara ceroboh, tidak di jembatan penyeberangan atau di zebra cross.
Catatan di Kodak Metro Jaya (kini namanya Kepolisian Daerah Metro Jaya), hampir 1.700 orang dari lebih 5.000 korban kecelakaan adalah pejalan kaki (tahun 1980/1981). Dari jumlah itu, lebih dari 200 orang tewas, 850 orang luka berat, dan 600 orang luka ringan.
Di Surabaya, pejalan kaki yang tewas rata-rata 9 orang tiap bulan, sedangkan sepanjang 1980 tercatat 100 orang mengalami nasib yang sama. Dan pada 1981, sejak Januari sampai Juni, tercatat 51 pejalan kaki yang tewas.
Tapi di Medan sebaliknya. Korban di kalangan pejalan kaki, ”Sangat kecil sekali,” demikian keterangan Kepala Seksi Lalu Lintas Kepolisian Resor Medan. Padahal pejalan kaki di kota itu terkenal bandel dan nekat. Pengendara mobil dan sepeda motor di sana juga ugal-ugalan.
Dari angka-angka tersebut, jelaslah bahwa di Jakarta dan Surabaya, yang sarana untuk pejalan kaki lebih memadai, justru lebih banyak korban tewas ketimbang di Medan—yang sarananya boleh dibilang jauh dari cukup.
Menurut Letnan Kolonel Polisi Poeloeng Soehartono, Komandan Satuan Lalu Lintas Kodak VII Jaya, kecelakaan yang menimpa pejalan kaki sebagian besar terjadi di bawah atau di sekitar jembatan penyeberangan.
Ini tak lain karena pejalan kaki tidak menyeberang lewat jembatan. Mereka lebih suka melompati pagar. ”Kesadaran pejalan kaki kurang sekali,” kata Poeloeng. Menurut dia, sangat jarang pejalan kaki jadi korban ketika sedang berjalan di trotoar. Dia mengakui bahwa jumlah trotoar sebagai salah satu sarana pejalan kaki memang masih kurang.
Polisi kerap melakukan razia penyeberangan jalan. Polisi paling sedikit tiap hari bisa menjaring 50-60 orang. Kartu tanda penduduk mereka ditahan dan mesti ditebus Rp 2.000. Tapi umumnya mereka tidak jera.
Poeloeng menyesalkan sikap pejalan kaki. Barangkali jumlah dan kondisi jembatan penyeberangan dianggap sudah memadai. ”Jembatan bukan cuma hiasan dan pagar, bukan untuk dilompati,” ujarnya.
Di Surabaya, karena terbatasnya sarana semacam itu, para pejalan kaki hampir tak terlindungi. Sampai 1981, baru ada lima jembatan penyeberangan. Sedangkan jalan yang berubah jadi jalur kencang jauh lebih banyak jumlahnya. Sementara itu, trotoar di pelbagai jalan penuh sesak dengan pedagang kaki lima.
Kepala Seksi Lalu Lintas Medan Letkol Polisi Gandhi mengakui pejalan kaki menyeberang seenaknya. Sementara itu, pengendara kendaraan bermotor malah tancap gas ketika mendekati tempat penyeberangan.
Tampaknya jembatan penyeberangan yang ada mubazir. ”Lantainya banyak yang jebol dan penuh tahi di sana,” ucap Sami Kapri, warga Jakarta. Nyonya Pakpahan, warga lain, khawatir aksi penodongan jika lewat jembatan penyeberangan.
Sarpan, 35 tahun, penjual buah dingin dengan gerobak dorong, juga tidak begitu menghiraukan zebra cross. Sering kali dia tidak sabar karena lampu merahnya lama sekali. Ripto, 25 tahun, yang tiap hari berjalan kaki dari rumahnya di Jalan Pramuka ke tempat kerjanya di Proyek Senen, Jakarta, menjadi pejalan kaki yang baik.
Ripto menyeberang di tempat yang tersedia. Namun sering kali ia kesal melihat pengemudi yang ugal-ugalan, masih nyelonong padahal lampu sudah merah. Tapi, sebagai pejalan kaki, ia mengalah. ”Kan, menang yang pakai mobil,” katanya lirih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo