Dalam resensi yang ditulis Alfian, di bawah judul Aksi Zuama di Pavilyun Mekkah, mengenai buku The Republican Revolution, Karya Dr. Nasaruddin Sjamsuddin (TEMPO, 1 Maret, Buku) terdapat beberapa hal yang biarlah saya sebut saja slip of pen. Perkenankanlah saya menjelaskannya. Pertama, pada halaman 73, Dr. Alfian mengatakan, "Di akhir revolusi, Desember 1949, Sjafruddin Prawiranecara dalam kedudukannya sebagai Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia membubarkan dua wilayah militer Sumatera bagian Utara termasuk yang dikepalai Daud Beureueh, dan menjadikannya dua provinsi baru: Aceh dan Tapanuli/Sumatera Timur." Menurut saya, keterangan tersebut kurang tepat. Sjafruddin Prawiranegara, yang membentuk Provinsi Aceh dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8, pada Desember 1949 bukanlah dalam kedudukannya sebagai Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia, tapi dalam kedudukannya sebagai Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia yang mewakili Pemerintah Pusat, yang ditempatkan di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Pemerintah Darurat Republik Indonesia telah dibubarkan dengan Ketetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 20 Agustus 1949. Nama Peraturan Pengganti Undang-Undang Pembentukan Provinsi Aceh sendiri merupakan bukti yang nyata, yaitu Peraturan Wakil Perdana Menten Pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8/Desember/WKPM Tahun 1949. Kedua, pada halaman 74, Dr. Alfian berkata, "Dan, akhir Januari 1951, Kabinet M. Natsir (Masyumi) secara resmi membubarkan Provinsi Aceh." Keterangan ini pun saya kira kurang tepat. Setahu saya, Provinsi Aceh bukan dibubarkan oleh Kabinet M. Natsir (Masyumi), tapi dibubarkan oleh pemerintahan Assaat, yang pada waktu itu masih berkedudukan di Yogyakarta, dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950, yang ditandatangani oleh Mr. Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden dan Mr. Soesanto sebagai Menteri Dalam Negeri. Keputusan Pemerintah Pusat ini mendapat tantangan yang hebat dari rakyat Aceh, sehingga hubungan Aceh dengan Pemerintah Pusat yang sejak Proklamasi Kemerdekaan begitu akrab dan mesra menjadi tegang. Kabinet Natsir, yang terbentuk pada pertengahan 1950 mau tak mau harus menerima warisan dari pemerintahan sebelumnya, yang merupakan buah simalakama. Rakyat Aceh pada waktu itu sudah berada di ambang pintu revolusi. Tapi berkat pendekatan khas Mohammad Natsir, Aceh dapat diselamatkan dari mala petaka. Kehendak Pemerintah Pusat membubarkan Provinsi Aceh berhasil juga. Rakyat Aceh, yang hatinya telah dilukai, dengan perasaan yang berat menerima Aceh digabungkan dalam Provinsi Sumatera Utara bersama dengan Sumatera Timur dan Tapanuli. Ketiga, pada halaman 74 itu juga, Dr. Alfian berkata, "Pada 7 April 1962, Kolonel M . Jasin, selaku Panglima Komando Daerah Militer Aceh (KDMA) mengumumkan berlakunya hukum Islam di Aceh." Keterangan Dr. Alfian tersebut di atas juga tidak tepat. Seingat saya, Kolonel Jasin tidak pernah memberlakukan hukum Islam di daerah Aceh. Dan saya kira hal ini tidak mungkin dilakukan oleh seorang Panglima Daerah Militer, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Apa yang telah diumumkan oleh Kolonel Jasin adalah sekadar "fasilitas" yang dapat diberikannya, sesuai dengan wewenangnya sebagai seorang Panglima Daerah Militer, untuk tidak terlalu mengecewakan rakyat Aceh yang telah memenuhi panggilannya kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Untuk jelasnya, yang saya namakan "fasilitas" itu tercantum dalam Keputusan Penguasa Perang Nomor KPTS/Peperda 06113/1962 sebagai berikut: "Pertama: Terlaksananya secara tertib dan saksama unsur-unsur syariat agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya di daerah Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara." "Kedua: Penertiban pelaksanaan dan maksud ayat pertama di atas diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah Istimewa Aceh." Dengan membaca keputusan Penguasa Perang Daerah Aceh tersebut, jelaslah bahwa bukan hukum Islam yang diberlakukan oleh Kolonel Jasin di daerah Aceh, tapi hanya unsur-unsur syariat agama Islam, yang masih terlalu kabur artinya. Apalagi kalau dikaitkan dengan ayat kedua, bahwa segala sesuatu harus dengan mengindahkan peraturan perundangan negara . M. NUR EL IBRAHIMY Jalan Tebet Barat IV Nomor 16 Jakarta 12810
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini