Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kurang Rasa Sepenanggungan

Adnan Buyung Nasution dituduh menghina martabat pengadilan (contempt of court) dalam sidang Dharsono hendaknya dilihat dari "seni"nya bukan harfiahnya. Para pengacara dianggap kurang sepenanggungan.(kom)

22 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membaca TEMPO 8 Maret, mengenai Adnan Buyung Nasution dipanggil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena dianggap telah menghina martabat pengadilan (contempt of court) dalam aksi protesnya ketika membela H.R. Dharsono, membuat kita jadi termangu-mangu. Sepanjang ingatan kita, ketika hal itu terjadi (berdasarkan laporan-laporan wartawan di surat kabar), setelah protes Bang Buyung, seorang perwira pertama Polri masuk tapi pembela minta kepada ketua majelis hakim supaya anggota polisi itu keluar dan ketua majelis menyuruh anggota polisi itu meninggalkan ruangan. Pembela kemudian minta majelis hakim melanjutkan pemeriksaan dan persidangan pun berlangsung kembali dengan tertib. Dari flashback kejadian di atas sama sekali tidak terjadi sesuatu yang tidak wajar. Majelis hakim tidak memberikan teguran atau peringatan apa pun. Itulah "seni"-nya beracara di depan sidang pengadilan. Seorang pengacara harus tangkas menangkap moment yang tidak mungkin menunggu sampai dituangkan dalam pembelaan tertulis. Sebab, "saat" itu hanya sekali datang dan tidak dapat dipergunakan pada waktu yang lain (einmalig), karena suasananya sudah berbeda. Jadi, tindakan itu tidak dapat dilihat secara harfiah, tapi harus dilihat dari "kesenian"-nya. Seni membela. Ingat, hukum itu juga suatu "seni". Hukum acara adalah seni beracara. Persoalannya selesai sampai di situ, sampai kemudian muncul berita mengenai anggota majelis hakim yang memeriksa perkara itu serta pakar-pakar hukum lainnya mulai mengutik-utik kesalahan panasihat hukum yang bersangkutan. Kalangan pengacara sendiri mulai buka suara. Sikut sini, sodok sana, akhirnya, ramailah. Ini suatu hal yang memprihatinkan. Di kalangan pengacara bila seorang rekan ditimpa kesulitan, bukannya timbul rasa simpati dan rasa sepenanggungan, karena kejadian itu dapat menimpa diri mereka sendiri, malah ikut-ikutan "menggebuki" kawannya. Situasi yang sama juga menimpa Pengacara Maruli Simorangkir. Ketika beliau mendapat kesulitan karena dituduh menghina rekan wartawan, bukan rasa prihatin yang ditunjukkan oleh rekan seprofesinya (pengacara), malah sementara kalangan pengacara ikut-ikutan "menonjok" beliau dalam wawancara-wawancara yang dimuat pers. Mungkin, hanya ada seorang pengacara tua, Bapak A.B. Loebis, S.H. yang dengan kepala dingin membeberkan segi-segi hukum yang membenarkan tindakan pengacara tersebut, dalam surat-surat terbuka beliau di surat-surat kabar. Alhasil, setelah di-kipasin, sampai berhasil, dipanggillah pengacara kawakan itu oleh Ketua Pengadilan Negeri, dan tak lama lagi akan keluar Undang-Undang Contempt of Court yang sedang digodok DPR kita. Sementara itu, kalangan pengacara kita tetap cakar-cakaran terus. Selamat. I.H. KENDENGAN Gang Lontar I Tanjung Duren Barat IV Jakarta Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus