Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA tempo lalu kita kedatangan tamu dari kawasan Karibia. Mereka menjadi tamu dalam dua konteks: lawan tanding tim nasional sepak bola dan tamu kata. Dalam konteks sepak bola, kita telah menghormati tamu sebagaimana mestinya. Kita menunjukkan kesungguhan dan ketulusan melayani mereka. Buktinya, dua kali pertandingan digelar, kita memenangi keduanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konteks tamu kata, kita belum mampu menjamu tamu sebagaimana mestinya. Karena masih asing dalam perbendaharaan resmi bahasa kita, muncul kesimpangsiuran memperlakukannya. Tamu dalam konteks kedualah yang relevan dengan tujuan kolom ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tamu yang saya maksudkan adalah Curaçao. Demikianlah negara tersebut dieja berdasarkan nama resminya. Huruf kelima menggunakan c cedilla, yang apabila dibunyikan menyerupai bunyi s. Bersama Aruba (1986) dan Bonaire (2010), Curaçao (2010) merupakan pengganti negara konstituen (constituent country) Antilles Belanda (1954-2010) yang dibubarkan oleh Kerajaan Belanda. Ketiganya masuk kelompok kepulauan Antilles Kecil (Lesser Antilles), terletak di sebelah utara Venezuela dan lazim disebut sebagai Dutch Leeward Antilles.
Di layar televisi dan dalam berbagai berita nasional, kita melihat hanya ada satu versi ejaan, yakni c-u-r-a-c-a-o, sebagaimana dapat kita lihat dalam tiga judul berita daring berikut: “Curacao akan Diperkuat Eks Pemain Timnas Belanda saat Lawan Indonesia” (Tempo.co, 21 September 2022), “Dylan Timber, Bintang Curacao Jebolan Klub Nuansa Indonesia SV Kampong” (Cnnindonesia.com, 21 September 2022), dan “FIFA Soroti Kemenangan Timnas Indonesia atas Curacao” (Kompas.com, 28 September 2022). Tampak bahwa huruf kelima menggunakan c biasa, bukan c cedilla. Dengan pengejaan demikian, Curacao, dalam bahasa kita, semestinya dilafalkan cu-ra-ca-o.
Kenyataannya tidak demikian. Bukannya melafalkan curacao, komentator siaran sepak bola dan pranatacara justru melafalkannya kurasaw. Ini menunjukkan penyimpangan karena tradisi berbahasa Indonesia tidak pernah memungkinkan penggunanya melafalkan suatu kata berbeda dari ejaannya (huruf per huruf). Kita mengeja Kolombia, Kongo, dan Kroasia—lantas membakukan ketiganya (bukan Colombia, Congo, dan Croatia)—karena kita melafalkannya begitu.
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan V (2022) mengamanatkan bahwa unsur serapan yang mengandung huruf ç mesti diubah menjadi s. Berdasarkan contoh yang ditampilkan, kita mesti melafalkan “çabda”, “çastra”, dan “rāçi” menjadi sabda, sastra, dan rasi, bukan cabda, castra, dan raci. Dalam soal ejaan, c dan ç dalam Curaçao mesti diubah menjadi k dan s sebagaimana kaidah penulisan unsur serapan bahasa kita.
Sekarang, persoalannya, bunyi terakhir nama negara seluas 444 kilometer persegi itu hendak diinterpretasikan sebagai bagian silabel -sa- atau konstituen mandiri? Kalau ingin praktis, tinggal pakai entri “kurasao” yang sudah ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V (KBBI) dan, dengan demikian, kita memperlakukan bunyi tersebut sebagai konstituen mandiri, yakni -o, sehingga, apabila dilafalkan secara utuh, menjadi ku-ra-sa-o, bukan ku-ra-saw.
Berdasarkan KBBI, sementara ini, kurasao didefinisikan sebagai “n minuman keras yang dicampur dengan kulit jeruk”. Definisi tersebut hampir serupa dengan definisi dalam kamus Merriam-Webster, yakni “a liqueur flavored with the dried peel of the sour orange”, yang diklaim pertama kali muncul pada 1813. Namun sejumlah peta yang terbit sebelum tahun itu lebih dulu menggunakan berbagai variasi penulisan curaçao sebagai perujuk lokasi geografis, seperti Quiraçao, Caracao, Curaçote, Curasaote, Curasaore, Curacaute, dan Curazao. Tampaknya definisi sebagai jenis minuman berangkat dari rujukan “curaçao” pada nama pulau—sekalipun kata itu masih menyisakan problem etimologis.
Etymonline (2022) tidak secara eksplisit menjelaskan titimangsa pertama kali “curaçao” digunakan sebagai perujuk pulau. Yang jelas, definisi “curaçao” sebagai “nama geografis” dan “jenis minuman keras” tercatat dalam entri yang sama. Untuk sementara, boleh disimpulkan bahwa kedua definisi tersebut punya keterkaitan genealogis. Berpedoman pada itu, untuk KBBI, tinggal kita tambahkan definisi kedua atasnya, misalnya, “n negara bagian Belanda yang terletak di pulau Karibia, beribu kota Willemstad”. Definisi tersebut serupa dengan definisi entri Aruba yang lebih dulu direkam oleh kamus besar itu.
Melafalkan suatu kata berbeda dari ejaannya, sebagaimana dilakukan oleh komentator siaran sepak bola dan pranatacara, boleh jadi bersumber dari kekurangsigapan otoritas kebahasaan di negeri ini dalam membakukan nama wilayah asing (eksonim). Curaçao, toh, bukanlah negara yang eksis setahun-dua tahun belakangan, meskipun—memang perlu diakui—keperluan untuk merujuk negara ini dalam berbagai wacana publik Indonesia cenderung masih jarang.
Cara terhormat untuk menghormati “tamu asing” adalah memadankan dan membakukannya dalam bahasa kita, lantas mengentrikannya ke KBBI. Kita punya kemerdekaan untuk memilih cara memadankan dan bentuk padanannya. Curacao (berdasarkan tingkat penggunaan dalam korpus berbahasa Indonesia), Kurasaw (berdasarkan pelafalan pengguna bahasa Indonesia pada umumnya), Kurasau, Kurasao (berdasarkan entri dalam KBBI), Korsou (berdasarkan bahasa masyarakat setempat, Papiamento, merujuk negaranya), atau berbagai bentuk lain, bebas, asalkan sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa kita dan menunjukkan konsistensi antara pengejaan dan pelafalan. Bagaimana, Badan Bahasa? Silakan....
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo