Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM amat dingin di Maritzburg, daerah tinggi di Afrika Selatan. Malam amat dingin pada 8 Juni 1893 itu, ketika Gandhi dipaksa turun dari gerbong kelas satu kereta api ke Pretoria dan ditinggalkan di Stasiun Pietermaritzburg—sebuah bangunan bata merah dengan langit-langit tinggi—yang sepi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gandhi kemudian mengenang pengalaman pahit itu:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu malam di musim dingin… suhu cuaca pahit menusuk. Mantelku tadi aku taruh dalam koper. Aku tak berani meminta tolong; aku takut dihina lagi. Aku pun hanya duduk dan menggigil….
Ia menggigil di peron itu. Ia merenung.
Ketika itu usianya 24. Seusai kuliah tiga tahun di London dan tinggal sebentar di India, ia hidup sebagai penasihat hukum di Natal, Afrika Selatan. Di negeri ini ia “jadi orang”. Katanya kemudian, “Aku lahir di India tapi dibentuk di Afrika Selatan.”
Ia memang dibentuk dari pelbagai konflik. Ia hidup di masyarakat yang memperlakukan liyan—manusia yang berbeda—tak setara dengan apa yang lazim diakui sebagai “manusia”.
Tiket kelas satunya dianggap tak pantas. Di dalam sepur menuju Pretoria itu, ada penumpang memprotes: tak boleh ada orang bukan-kulit-putih duduk di kompartemen itu—walaupun orang itu mengenakan jas yang necis dan dasi yang elegan dan tak bikin huru-hara. Sebab, bagi si Inggris, kesalahan Gandhi amat jelas: pada warna kulitnya. Petugas kereta api bertindak.
Waktu itu, dan berpuluh tahun sebelum dan setelah itu, orang Afrika Selatan lupa, bahwa warna kulit, sebagai penanda perbedaan yang radikal, tak bermula dari Tuhan. Juga tak berasal dari alam. Di negeri yang dikuasai orang Inggris itu para warga rajin mendengarkan khotbah di gereja dan membaca Kitab Suci, tapi mereka alpa bahwa konflik pertama bukanlah karena warna kulit. Kain, anak sulung Adam, membunuh Abil, adiknya, karena iri hati.
Manusia memang menyadari adanya perbedaan warna kulit dalam berbagi ruang hidup dan sumber kehidupan. Tapi perbedaan itu tak langsung dirumuskan sebagai takdir “rasial”. Dalam The Invention of Race in the European Middle Ages (terbit pada 2018), Geraldine Heng memperkenalkan pengertian “race-making”; adanya “ras” (dan agaknya juga adanya “suku”) adalah sesuatu yang dianggit, dibentuk, diidentifikasi, dan dilembagakan dalam proses kekuasaan.
Sebuah catatan sejarah menunjukkan, identitas diri sebagai “Whites” atau “orang-kulit-putih” tak dikenal di Inggris sebelum pertengahan abad ke-17. Tak ada bukti penduduk wilayah itu memandang diri mereka sendiri sebagai “orang putih”. Baru sekitar dasawarsa abad ke-16 pengertian itu terbentuk. Sejak itu mereka—seraya menegakkan kolonialisme—bersua dengan manusia yang bukan bule, manusia yang tidak sepucat kulit perempuan kelas atas yang terlindung dari terik matahari.
Bersama itu, “kulit hitam” pun tumbuh sebagai penanda identitas tersendiri. Imperialisme Inggris menjelajah dan menaklukkan bermacam ragam manusia—makhluk yang kalah dan marah.
Sejak itu sejarah disusupi permusuhan, kebencian, dan purbasangka.
Mengelola perbedaan yang sengit itu tak mudah; maka dipasanglah cap dan label—juga ideologi yang menafsirkan dan mengekalkan perbedaan label itu, dan menyebutnya “ras”.
Heng menunjukkan ada “hitam” sebagai akibat wacana: hermeneutic blackness. Agama Kristen, misalnya, mendekatkan “hitam” dengan “setan” dan “dosa”, meskipun hanya kiasan. Berbeda dengan physiognomic blackness: “hitam” mengacu ke ciri-ciri tubuh. Ia tak serta-merta dikaitkan dengan yang negatif dan mengancam. Kita kenal Othello.
Ketika pada 1603 Shakespeare mementaskan lakon Othello, tokoh utamanya, seorang “Moor”, Arab Afrika berkulit hitam, adalah panglima tentara Venezia yang mencintai istrinya yang “putih”. Othello diperlakukan dengan jahat oleh Iago. Tokoh “putih” ini mengejeknya sebagai “si domba jantan hitam yang tua”, old black ram, dan memperdayakannya. Dalam cerita Shakespeare ini, Othello mati sebagai seseorang lurus yang tak bisa berburuk sangka.
Tapi sejarah imperialisme membunuh Othello. Imperialisme melahirkan “si hitam” yang harus dipinggirkan. Sejak itu, sampai dengan kesewenang-wenangan di Amerika di abad ke-21, kita saksikan sangka buruk terhadap ras yang berbeda tak gampang punah.
Bahkan Gandhi sendiri, di Afrika Selatan, tak luput dari rabun imperialisme. Di tahun 2015 dua guru besar Afrika Selatan, Ashwin Desai dan Goolam Vahed, menulis The South African Gandhi: Stretcher-Bearer of Empire. Di dalamnya diungkapkan, sang Mahatma di masa muda menganggap “orang hitam” sebagai makhluk yang “biadab” (savage), “mentah-kasar” (raw), dan “hidup telanjang bermalas-malas” (indolence and nakedness).
Merisaukan. Bisakah semua itu berakhir? Di abad ke-21, yang semula tak terbayangkan terjadi: seorang yang “tak-putih”, seorang Hindu, duduk di Downing Street 10 sebagai perdana menteri. Dengan Rishi Sunak politik terbukti menguak takdir—atau mengguncang sesuatu yang dulu disangka takdir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo