Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tim badminton Indonesia bisa mengembalikan Piala Thomas setelah 19 tahun.
Indonesia menang mudah atas Cina yang menurunkan pemain muda dan tak berpengalaman.
Saatnya membenahi regenerasi pemain badminton kita.
PERJUANGAN keras tim Indonesia dalam kejuaraan Piala Thomas di Denmark sepatutnya mendapat apresiasi tinggi. Tim bulu tangkis putra membawa kembali Piala Thomas ke Tanah Air setelah penantian lebih dari 19 tahun. Apalagi kemenangan itu terwujud tanpa sokongan penuh pemerintah. Gara-gara Indonesia abai melapor ke Badan Antidoping Dunia, bendera Merah Putih gagal berkibar di Ceres Arena.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun keberhasilan melibas Cina 3-0 di partai final seyogianya tak membuat tim bulu tangkis kita jemawa. Cina tidak menurunkan pemain terbaiknya. Jonatan Christie, peringkat ketujuh dunia, misalnya, sewajarnya mengalahkan Li Shi Feng, peringkat ke-65 dunia. Itu pun Jonatan, 24 tahun, harus bermain tiga set (rubber game) untuk menundukkan lawannya yang berusia tiga tahun lebih muda tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Piala Thomas kemarin, lawan terberat Indonesia sejatinya adalah tim Denmark, yang menurunkan pemain tunggal putra dengan peringkat dunia lebih baik. Beruntung, di semifinal, Jonatan bisa mencuri poin dengan mematahkan ketangguhan Anders Antonsen, peringkat ketiga dunia, lewat pertandingan 100 menit.
Dengan menurunkan pemain muda pada final Piala Thomas 2021, tim Cina akan jauh lebih siap pada kejuaraan yang sama tahun depan. Sebaliknya, ketika pemainnya banyak yang uzur—terutama di ganda putra—tim Indonesia akan lebih sulit mempertahankan piala lambang supremasi bulu tangkis beregu putra dunia itu.
Strategi Cina sama dengan Indonesia pada Piala Thomas 2016. Kala itu, Indonesia menurunkan para pemain muda untuk menangguk pengalaman bertanding menghadapi tim-tim yang kuat. Hasilnya, gelar juara untuk Indonesia lima tahun kemudian. Melihat usia para pemain Cina di Piala Thomas tahun ini, mereka akan menjadi gergasi yang sulit dikalahkan tahun depan.
Indonesia harus lebih berfokus melahirkan atlet badminton yang lebih segar dengan berburu pemain muda dari sanggar dan klub bulu tangkis melalui turnamen lokal. Lalu sering-seringlah mengirim atlet muda pilihan itu ke turnamen internasional untuk menambah pengalaman dan memupuk mental bertanding.
Masalahnya, sanggar-sanggar badminton kian kehilangan pemain muda berbakat. Kesulitan pendanaan menjadi masalah klasik yang menimpa banyak klub olahraga di Indonesia. Pandemi Covid-19 membuat mereka makin terpuruk. Ketika ekonomi mandek, banyak sponsor yang menarik diri. Hanya klub badminton mapan di kota besar yang bertahan, karena pengelolaan keuangannya lebih solid.
Pemerintah juga gagal menciptakan ekosistem yang kompetitif dalam olahraga bulu tangkis kita. Sebagai cabang olahraga andalan, bulu tangkis tak mendapat porsi perhatian semestinya. Masalah utamanya, pemerintah Indonesia memang tak serius menjadikan olahraga sebagai sektor penyumbang pertumbuhan ekonomi.
Anggaran pembinaan olahraga hanya 0,03 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, jauh dibanding Thailand atau Singapura yang mematok 4 persen buat belanja olahraga. Indonesia lebih memprioritaskan anggaran untuk sektor kurang mendesak semacam pertahanan dan persenjataan, yang mengambil porsi 15 persen dari Rp 1.029 triliun belanja negara tahun ini.
Maka Indonesia tak boleh terlalu lama larut dalam euforia Piala Thomas. Kemenangan ini harus menjadi momentum pembenahan ekosistem badminton kita. Hanya dengan visi yang jelas, strategi yang tepat, serta dukungan dana yang memadai, tim bulu tangkis Indonesia akan terus disegani di panggung dunia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo