Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Politik klientelisme terus merebak di daerah seperti Banten.
Patronase yang membuat korupsi melalui bantuan sosial abadi di tiap pemerintahan.
Bagaimana menghapusnya?
BANTEN boleh disebut sebagai contoh nyata politik patron-klien yang terus hidup di Indonesia. Alih-alih memastikan sistem kesejahteraan masyarakat berjalan, pemerintah provinsi itu menebar dana bantuan sosial untuk kelompok-kelompok konstituen. Sudah bisa diperkirakan, pengalokasian dana dengan tata kelola buruk ini berujung pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejaksaan Tinggi Banten kini menemukan kekisruhan penggelontoran dana untuk ribuan pondok pesantren oleh pemerintah provinsi itu. Setidaknya Rp 70 miliar dialirkan melalui Forum Solidaritas Pondok Pesantren Banten pada tahun anggaran 2018 dan 2020. Dalam pengusutan kasus yang kini memasuki persidangan ini, Kejaksaan baru menjerat pejabat di level rendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buruknya tata kelola bisa dilihat pada penentuan hibah yang berlangsung kilat. Pada akhir Mei 2017, Gubernur Banten Wahidin Halim, yang baru beberapa hari menduduki jabatannya, menerima pengurus forum pesantren. Kelompok pengelola pesantren itu mempersoalkan alokasi bantuan sebesar Rp 6 miliar, sekitar seperempat dari nilai proposal yang mereka ajukan. Wahidin memerintahkan anak buahnya meningkatkan alokasi anggaran pada anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun berikutnya.
Anak buah Wahidin lintang pukang menyusun anggaran, termasuk menyiapkan data pondok pesantren bakal penerima hibah. Hasilnya, administrasi proses penganggaran kacau balau. Penyidikan Kejaksaan menyorot peran Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat, dua anak buahnya, serta dua pengurus pesantren. Sang Gubernur berdalih sudah memerintahkan anak buahnya untuk “mengikuti peraturan” saat menyusun anggaran.
Dengan alasan terganjal birokrasi, Kejaksaan belum memeriksa Wahidin Halim. Alasan ini mengada-ada. Jika serius, aparat penegak hukum bisa segera mengajukan proses perizinan kepada Presiden, syarat pemeriksaan pejabat yang semula sudah dihapus tapi dikembalikan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2017. Tanpa keseriusan Kejaksaan, rantai korupsi berwujud hibah akan terus berlangsung di wilayah itu.
Pada 2013, di bawah pemerintahan Gubernur Ratu Atut Chosiyah, kasus serupa sudah terjadi. Ketika itu, pemerintah provinsi mengalirkan dana ke berbagai organisasi kemasyarakatan. Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan sebagian penerima hibah itu fiktif. Sebagian lain bahkan mengalir ke organisasi-organisasi dadakan yang terafiliasi dengan Atut dan keluarganya. Jika kasus korupsi hibah untuk pesantren pada zaman Wahidin itu terbukti, artinya politik klientelisme sudah berurat dan berakar di wilayah tersebut.
Secara singkat, klientelisme merujuk pada hubungan transaksional antara pemimpin sebagai patron dan masyarakatnya. Loyalitas pemilih diikat dengan pemberian materi, bukan pelaksanaan program atau janji-janji kampanye kepala daerah. Klientelisme boleh dibilang merupakan “suap yang berlangsung terus-menerus”. Dalam kasus Banten—dan banyak daerah di Indonesia—pola hubungan seperti itu seolah-olah menjadi kelaziman. Satu penelitian pada 2018 menunjukkan, Indeks Persepsi Klientelisme masih merata di Indonesia, dengan level tertinggi di daerah Kalimantan dan Indonesia timur.
Hubungan patron dan klientelisme ini subur di negara pada tahap transisi demokrasi. Sayangnya, “transisi” itu terlalu lama di Indonesia jika dihitung sejak reformasi 1998. Pola interaksi ini membuat politik uang selalu terjadi pada setiap pemilihan pejabat. Apalagi masyarakat cenderung permisif. Mengutip data Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia di Tangerang Selatan, Banten, pada November 2020, sebanyak 56,8 persen responden menilai politik uang merupakan hal wajar.
Aparat penegak hukum semestinya serius mengusut penyaluran hibah yang tak wajar agar klientelisme yang merugikan masyarakat banyak perlahan-lahan bisa dikurangi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo