Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah kepala daerah dan menteri Jokowi mulai bersiap maju dalam pemilihan presiden 2024.
Para calon kontestan membentuk jaringan tim sukses.
Jokowi memberi restu ke banyak peminat kursi presiden 2024.
DALAM demokrasi, bersiapnya sejumlah tokoh publik—termasuk kepala daerah dan menteri-menteri dalam kabinet Presiden Joko Widodo—menghadapi laga pemilihan presiden 2024 merupakan hal yang wajar. Konstitusi menyebutkan setiap warga negara berhak memilih dan dipilih sebagai presiden atau wakil presiden. Kampanye dalam pengertian bekerja sungguh-sungguh agar prestasinya dilihat publik pun dapat dilakukan kapan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang menjadi persoalan adalah jika para tokoh itu menjajakan diri dengan menumpang fasilitas jabatan. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, misalnya. Setelah Erick rutin berkeliling ke banyak daerah, belum lama ini fotonya mendadak muncul di layar mesin anjungan tunai mandiri (ATM) bank pemerintah. Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani jorjoran memasang wajah mereka pada baliho di banyak tempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para kepala daerah, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, mematut diri di media sosial. Tanpa transparansi tentang sumber dana yang digunakan, sulit untuk tak curiga mereka menyalahgunakan jabatan buat kepentingan pencalonan. Adapun soal wajah Menteri Erick di layar ATM, ini jelas penyelewengan.
Jokowi harus mengingatkan para menterinya. Sebagai presiden, ia harus memastikan para pejabat mengikuti aturan. Dorongan dapat dilakukan dengan memberi kesempatan kepada para menteri bekerja keras sesuai dengan bidang tugas. Tujuan akhirnya adalah manfaat bagi publik. Presiden hendaknya tak kelewat hirau pada elektabilitas para bawahan.
Prinsip itulah yang sayangnya tidak dilaksanakan Jokowi: ia memberi lampu hijau kepada semua kandidat, termasuk dengan menerabas prinsip kemaslahatan publik. Tak ada juntrungannya, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, misalnya, ditugasi membuka area lumbung pangan (food estate). Proyek membuka lahan di kawasan gambut Kalimantan ini dituding merusak lingkungan dan dijalankan dengan mengabaikan prinsip tata kelola. Prabowo adalah kandidat dengan elektabilitas tinggi versi sejumlah survei.
Presiden juga mempersilakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyelenggarakan balapan mobil listrik Formula E pada tahun depan. Hajatan berbiaya Rp 2,3 triliun itu diprotes karena merusak lingkungan dan diragukan efektivitasnya dalam mempromosikan Jakarta sebagai destinasi wisata. Tak ada gelagat Presiden meminta penjelasan para pejabat yang pasang baliho di sana-sini.
Sikap “manis” Jokowi ini memancing wasangka: dia ingin menanam budi kepada semua kandidat. Setelah tak lagi menjabat, umumnya presiden cemas akan keamanan dirinya dari serangan politik dan hukum. Tak memimpin partai politik, Jokowi sangat mudah menjadi sasaran tembak.
Tapi kecemasan itu, jika benar, semestinya hanya muncul dari presiden yang telah mengambil kebijakan lancung atau bahkan melanggar hukum. Jika sebaliknya, presiden tidak perlu cemas. Siapa pun nanti yang menggantikan, presiden terdahulu akan dilindungi hukum.
Presiden yang percaya pada perlindungan hukum tak akan melihat kontestasi Pemilihan Umum 2024 sebagai ajang mencari proteksi dan pengaruh. Yang dipedulikannya adalah keberlanjutan program dan berjalannya prinsip-prinsip demokrasi.
Pada titik ini, kenegarawanan presiden diuji. Seorang negarawan akan mengupayakan pemilu sebagai perhelatan demokrasi untuk mendapatkan pemimpin berkualitas. Ia harus memastikan pencoblosan itu bukan ritual dan kewajiban prosedural semata.
Presiden memang bukan satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas kualitas pemilu. Telah lama dikeluhkan: ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold) yang tinggi membuat sirkulasi pemimpin berputar di situ-situ saja: partai yang memiliki banyak kursi di legislatif. Partai kecil, apalagi tokoh tanpa partai, sulit bergerak.
Sayangnya, untuk menjaga kekuasaan, Jokowi yang datang dari bawah dan tak berpartai pada 2014 justru melanggengkan kekuatan oligarki itu. Dia memberi banyak konsesi kepada partai yang bersedia bergabung dalam koalisi besar yang ia pimpin—termasuk dengan mengambil kebijakan yang merugikan publik dan mencederai demokrasi. Dua yang patut dicatat adalah Undang-Undang Cipta Kerja dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dibajak para oligark, pemilu sulit diharapkan menghasilkan pemimpin yang baik. Presiden terpilih akan kembali digulung oleh kepentingan para penguasa partai. Apa yang terjadi pada Jokowi tak boleh terjadi lagi. Para kandidat hendaknya menyadari: kekuasaan adalah amanah yang harus dijaga tapi tidak dengan mengabaikan kemaslahatan publik dan mencederai demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo