Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peran kamus dalam rekaman perjalanan sebuah bangsa.
Semakin maju suatu bangsa semakin banyak kosakata dalam kamus bahasa mereka.
Bagaimana dengan kamus besar bahasa Indonesia?
APAKAH hakikat sebuah kamus? Secara lahiriah, kamus adalah kumpulan kata/istilah (juga makna dan contoh penggunaannya) tentang benda, ilmu pengetahuan dan teknologi, proses kerja, sifat, nilai, cara, empati, benci, dan sebagainya. Kata dan istilah yang ada di dalam sebuah kamus menggambarkan kehidupan, karakter, dan peradaban masyarakat atau bangsa penuturnya. Maka dapat dikatakan bahwa kamus hakikatnya merupakan rekaman kehidupan dan peradaban sebuah bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tesis itu juga berarti bahwa makin maju sebuah bangsa, makin banyak pula kosakata dalam kamus bahasanya. Lebih jauh dapat disimpulkan bahwa kemajuan sebuah bangsa dapat diukur dari jumlah kata di dalam kamusnya. Kosakata bahasa pada bangsa yang belum maju hanya akan memuat hal-hal yang sederhana, seperti anggota tubuh, benda/alat yang sederhana, dan budaya dasar (tidur, makan, minum, mandi, berburu, bertani, berbicara, memanjat, memetik, dan sebagainya). Sebaliknya, pada bangsa maju, kamus akan memuat berbagai benda, pandangan hidup, alat, dan iptek untuk kehidupan modern. Di dalamnya dimuat hal-hal yang besar, umum, dan luar biasa hingga yang renik, rumit, spesifik, dan canggih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai wujud peradaban bangsa Indonesia saat ini memuat 114 ribu entri/kata. Kita dapat membandingkannya dengan Oxford English Dictionary (Inggris) yang memuat 750 ribu kata dan kamus A Merriam-Webster Dictionary (Amerika Serikat) yang memuat 1 juta kata (sumber Kompasiana.com). Itu berarti bahwa peradaban yang melahirkan KBBI masih tertinggal jika dibandingkan dengan peradaban yang melahirkan dua kamus terakhir. Hal ini sekaligus menjawab mengapa bangsa Indonesia perlu belajar dan mengambil berbagai peradaban dari bangsa yang sudah maju.
Dalam teori bahasa, sebuah kata atau istilah memiliki dua entitas: “konsep” dan “bentuk”. Konsep/makna adalah isi dari sebuah kata, sedangkan bentuk adalah bungkus dari sebuah konsep. Dalam proses transfer peradaban dari satu bangsa ke bangsa lain, sebenarnya konsep-konseplah yang ditransfer. Sudah barang tentu konsep itu dibungkus dalam bentuk aslinya. Misalnya kita mengambil istilah new normal, yang dipadankan menjadi kenormalan baru. Ini berarti kita mengambil konsepnya dengan cara memadankan bentuknya. Di sisi lain, kita juga menyerap kata yang konsep dan bentuknya diambil sekaligus, misalnya computer yang diserap menjadi komputer dengan penyesuaian ejaan dan pelafalan.
Ada pula cara ketiga, yaitu penciptaan bentuk baru, misalnya istilah survive dipadankan menjadi sintas, lalu muncul bentuk turunannya penyintas untuk padanan survivor. “Bentuk” dapat pula diambil dari bahasa daerah di Indonesia, seperti pada istilah download, domain, dan peat yang “bentuk”-nya menjadi unduh (Jawa), ranah (Minang), dan gambut (Banjar). Tentu saja unduh, ranah, dan gambut sekarang telah menjadi warga bahasa Indonesia.
Pemadanan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia selalu terlambat. Penutur sering kali lebih dulu mengenal bahasa asingnya, baru bahasa Indonesianya. Hal itu wajar mengingat istilah-istilah tersebut masuk melalui berbagai bidang ilmu/keahlian, cara, dan media. Sementara itu, upaya pemadanan harus dilakukan melalui diskusi yang mendalam agar hasilnya tepat secara konsep dan bentuk. Pemadanan (terutama istilah teknis bidang ilmu) juga harus dilakukan oleh ahli di bidang tersebut karena merekalah yang memahami konsep dan konteks pemakaiannya.
Keterlambatan pemadanan itu identik dengan nasib sebuah kamus baru. Bersamaan sebuah kamus diterbitkan, muncul pula kosakata baru di masyarakat, yang belum masuk kamus tersebut. Itu berarti bahwa pada hari itu pula kamus tersebut sudah kedaluwarsa.
Muncul pertanyaan: apakah kamus dengan jumlah entri/kata yang besar menggambarkan kehidupan modern penuturnya? Jawabannya belum tentu. Bisa saja kosakata yang termuat di dalam kamus yang besar itu hanyalah kosakata dari “peradaban lama”, yang dalam kehidupan modern kurang bermanfaat. KBBI memberi definisi modern sebagai “terbaru, mutakhir”. Namun tentu saja peradaban lama itu merupakan peradaban modern pada zamannya. Hal itu terjadi ketika peradaban sebuah bangsa “terhenti” kemajuannya, misalnya akibat adanya peristiwa besar yang menimpa bangsa tersebut.
Kamus juga berkaitan dengan kebutuhan para penutur yang mendapatkan pendidikan dari luar. Ketika menulis/berbicara, mereka membutuhkan bentuk-bentuk dalam bahasa Indonesia untuk mewadahi konsep yang mereka bawa dari luar itu. Mereka akan menggunakan bentuk-bentuk asingnya ketika tidak menemukan bentuk dalam bahasa Indonesianya. Di sinilah tugas berat tim pemadanan istilah dan penyusunan KBBI karena mereka harus berkejaran dengan kebutuhan para penutur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo