Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga telur ayam merosot di pasar.
Monopoli pasar industri unggas oleh pemain besar menjadi penyebabnya.
Peternak terjepit tak berkutik di tengah himpitan industri besar.
ANJLOKNYA harga telur ayam sejak awal tahun ini merupakan cermin kegagalan pemerintah mengatur tata niaga industri unggas. Struktur pasar yang tidak sehat karena didominasi segelintir pemain besar amat merugikan peternak kecil. Jika kondisi ini dibiarkan, peternak mandiri dan plasma yang menguasai sekitar 20 persen rantai pasok bisnis unggas di Indonesia bakal terus merugi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal pertama yang harus dibenahi pemerintah adalah ketersediaan data yang valid tentang neraca industri perunggasan. Saat ini, pemerintah tak punya informasi sahih mengenai jumlah riil pasokan dan permintaan produk peternakan—termasuk telur dan daging ayam. Tanpa data ini, pemerintah tidak tahu berapa impor grand parent stock atau bibit induk ayam yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibatnya, keputusan pemerintah membuka keran impor bibit ayam diambil tanpa basis data yang akurat. Tahun lalu totalnya mencapai 650 ribu ekor. Dua perusahaan terintegrasi seperti PT Charoen Pokphand Indonesia dan PT Japfa Comfeed Indonesia kecipratan kuota impor dari Kementerian Pertanian. Impor bibit ayam yang berlebih itu berimbas pada membeludaknya jumlah final stock ayam petelur tahun ini. Buntutnya: suplai telur ayam ras tumpah ruah di pasar.
Telur yang membanjiri pasar jelas tidak bisa terserap maksimal. Pandemi yang berkepanjangan juga menggerus permintaan masyarakat, restoran, dan industri perhotelan. Harga telur di tingkat peternak pun berantakan, berkisar Rp 14-17 ribu per kilogram, jauh di bawah harga acuan yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 19-21 ribu per kilogram.
Posisi peternak kian terjepit karena harga pakan ternak ikut melonjak tajam. Di pasar, harga jagung pipil kering sekarang dibanderol Rp 5.600-5.800 per kilogram, jauh di atas harga acuan Rp 4.500. Peternak ayam petelur membutuhkan jagung, sebagai bahan utama campuran pakan. Wajar bila mereka menjerit karena harus memikul selisih antara biaya produksi yang tinggi dan harga jual yang rendah.
Kondisi ini makin parah ketika jagung seperti lenyap di pasar. Klaim Kementerian Pertanian yang menyebutkan produksi jagung surplus nyatanya tak tecermin di lapangan. Seretnya pasokan jagung itu lagi-lagi menunjukkan problem klasik industri pangan di negeri ini. Selama bertahun-tahun, data pangan selalu simpang siur dan memicu kebijakan tambal sulam.
Langkah Kementerian Perdagangan menyerap telur untuk disalurkan pada program bantuan sosial mungkin bisa menjadi solusi sementara. Namun kebijakan parsial itu tidak akan menyelesaikan akar persoalan. Begitu pula keputusan pemerintah meminta perusahaan terintegrasi, seperti Charoen Pokphand, menyerap telur dari peternak. Instruksi itu jelas menguntungkan perusahaan besar karena harga telur kini berada di titik terendah.
Kita tahu, biang kerok dari semua persoalan ini ada pada dominasi segelintir perusahaan yang menguasai hampir 80 persen rantai pasok bisnis unggas. Dengan menguasai bisnis dari hulu hingga hilir, mereka mengontrol pasokan dan harga. Struktur pasar yang oligopolistik di hulu dan oligopsonistik di hilir itu menciptakan ketimpangan yang kita saksikan sekarang.
Kita tentu tak ingin struktur pasar yang tak sehat ini berlangsung terus-menerus. Sudah saatnya pemerintah merombak tata niaga industri unggas. Kalau tidak, masalah lama ini akan terus berulang. Konsumen dan peternak sama-sama dirugikan ketika stabilitas harga tak terkendali seperti sekarang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo