Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah membentuk Satgas BLBI mengejar utang lawas.
Tommy Soeharto menjadi salah satu target.
Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
ORDE Baru tumbang dua puluh tiga tahun silam, tapi rezim demi rezim pasca-Soeharto tak pernah bisa menuntaskan utang bermasalah para pelaku bisnis curang pada era itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contoh paling nyata adalah pinjaman PT Timor Putra Nasional milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Disokong program mobil nasional pemerintah, Tommy menyulap merek KIA dari Korea Selatan menjadi Timor. Urusan modal perusahaan ditopang sepenuhnya oleh bank milik negara: Bank Bumi Daya. Utang total Rp 4,5 triliun ini macet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah kekuasaan ayahnya tumbang pada 21 Mei 1998, Tommy seolah-olah tersingkir dari Timor Putra Nasional. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibentuk Soeharto, Maret 1998, menguasai aset jaminan perusahaan itu untuk penyelesaian utang ke Bank Bumi Daya. Tommy sebagai komisaris utama juga menandatangani jaminan pribadi. Toh, ia sebenarnya tetap menguasai Timor walau lewat jalan belakang.
Tommy membeli kembali asetnya dari BPPN dengan harga murah melalui transaksi berlapis. Awalnya, PT Vista Bella Pratama yang diduga terafiliasi dengan pengusaha dan politikus Surya Paloh membeli hak tagih Bank Mandiri—hasil merger sejumlah bank negara, termasuk Bank Bumi Daya—atas utang Timor. Nilainya Rp 512 miliar atau hanya sekitar sepersembilan total utang perusahaan itu. Vista pun berhak memiliki semua jaminan yang disetorkan Timor, termasuk tanah, pabrik, dan aset lain.
Hak tagih itu belakangan dialihkan kembali ke perusahaan bernama Amazonas. Perusahaan misterius ini lalu memindahkannya lagi ke perusahaan yang kuat diduga terafiliasi dengan Tommy. Walhasil, Timor Putra Nasional kembali ke pangkuan Pangeran Cendana.
Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mencium transaksi ganjil itu. Melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, pemerintah membatalkan penjualan hak tagih Timor. Semua aset yang tersisa diambil alih negara pada 2008.
Empat belas tahun kemudian, masalahnya ternyata belum selesai. Kini, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dibentuk pemerintah Joko Widodo memasukkan sisa utang Timor yang sebesar Rp 2,6 triliun ke daftar tagih. Tommy dikelompokkan dalam pengutang tak kooperatif bersama sejumlah pengusaha lain.
Satuan Tugas punya mimpi besar: menuntaskan sisa piutang negara dari dana yang digelontorkan lewat program BLBI pada 1997-1998 sejumlah Rp 110,4 triliun. Jumlah yang fantastis: dunia bisnis pada era Soeharto memang diputar oleh oli berupa korupsi, kolusi, dan kronisme. Restu dan akses dari pusat kekuasaan menjadi faktor penentu “kesuksesan” pelaku bisnis. Menjadi rahasia umum, perbankan kala itu menggelontorkan kredit ke kelompok sendiri dalam jumlah jumbo.
Bisnis yang rapuh itu tersapu krisis ekonomi pada 1997-1998. Mayoritas usaha di Tanah Air rontok. Utang mereka macet. Banyak bank yang ugal-ugalan memberikan kredit kolaps. Bank Indonesia—ketika itu masih berada di bawah kekuasaan eksekutif—menggelontorkan bantuan likuiditas hingga Rp 147,7 triliun ke 48 bank. Sudah bisa diduga, sebagian besar utang itu diselewengkan penerimanya.
Setelah krisis mereda, Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang dibentuk Soeharto pada Maret 1998 untuk menyelamatkan sejumlah bank mendapat tugas baru. Pemerintah B.J. Habibie memberi mandat lembaga itu untuk menyelesaikan utang ke bank negara yang macet. Berbagai aset jaminan pun disita. Tugas itu berlanjut pada era Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Menjelang akhir pemerintahannya, Mega membubarkan lembaga itu.
Walau mengemban misi mengembalikan dana negara, BPPN justru kerap kali menjadi jalan bagi pengusaha untuk kembali menguasai aset mereka. Menggunakan perusahaan cangkang yang berkantor di negara antah-berantah, banyak korporasi membeli kembali aset mereka dengan harga murah. Padahal transaksi yang melibatkan pemilik lama itu lancung secara hukum.
Yang hendaknya dicatat: utang Timor ke Bank Bumi Daya tidak termasuk kelompok BLBI. Pemisahan ini penting agar Satgas Joko Widodo tidak tersesat. Kasus utang PT Timor murni pinjaman bermasalah, yang diikuti upaya pemilikan kembali aset mereka. Sebagian aset yang belakangan disita sebetulnya sudah dalam penguasaan pemerintah.
Dengan kata lain: Satgas perlu bekerja rapi dan tertata. Organisasi baru itu perlu mendata secara rinci posisi utang, status hukum, hingga daftar aset yang berkaitan dengan para penunggak. Rentang waktu 23 tahun membuat kegiatan itu tak mudah dilakukan.
Penyitaan aset yang dihadiri Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. serta Menteri Keuangan Sri Mulyani tak perlu lagi dilakukan. Seremoni semacam itu mengesankan ada tujuan non-hukum dari pembentukan Satgas—misalnya mendapatkan benefit politik. Berkonsentrasi sajalah pada proses penagihan utang. Hanya dengan itu masalah warisan Orde Baru ini bisa diselesaikan dengan tidak berlarut-larut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo