Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ardi Winangun*
Sejak 1990-an, beberapa televisi swasta Indonesia menyiarkan Liga Inggris dan Liga Italia secara penuh. Acara itu tidak hanya membangkitkan dunia persepakbolaan, tapi juga membuat semakin derasnya bahasa dan istilah asing diserap atau akrab digunakan dalam dunia sepak bola di Indonesia.
Di masa lalu, bahasa asing yang akrab dalam dunia sepak bola Indonesia hanya goal dan hand. Dalam pertandingan sepak bola di kampung-kampung ataupun pertandingan resmi di stadion di Jakarta, bila bola masuk ke gawang, secara serentak penonton, dengan tanpa belajar bahasa Inggris, akan mengatakan "goal", meski diucapkan dengan kata gol. Demikian pula ketika ada pemain yang dengan atau tanpa sengaja menyentuh bola, semua penonton secara serempak mengucapkan "hand", meski diucapkan dengan kata henk.
Dengan semakin berlomba-lombanya stasiun televisi menyiarkan berbagai liga sepak bola di banyak negara, seperti Jerman, Belanda, Spanyol, bahkan Brasil, ditambah dengan kejuaraan antarkesebelasan Eropa, Piala Eropa, Piala Amerika, Piala Dunia, Piala Asia, dan kejuaraan setingkat Asia Tenggara, bahasa dan istilah asing yang digunakan dalam dunia sepak bola kita semakin banyak. Misalnya coach, derby, goalkeeper, first half, second half, off side, referee, match, hooligan, supporter, cup, dan copa.
Bahasa dan istilah asing itu dari waktu ke waktu semakin menggerus istilah-istilah yang ada di bahasa Indonesia. Dalam sebuah acara sepak bola dalam negeri yang disiarkan sebuah stasiun televisi swasta, menjelang pertandingan biasanya ada prediksi pertandingan. Dalam kesempatan itu, dengan bangganya seorang pembawa acara bertanya kepada pelatih sebuah kesebelasan, "Bagaimana pendapat coach tentang pertandingan sore ini?" Penggunaan kata coach tidak hanya saat wawancara, tapi juga sudah dilekatkan kepada seseorang yang mempunyai profesi melatih kesebelasan, seperti coach Rahmad Darmawan, coach Benny Dollo, dan coach Aji Santoso. Meluasnya penggunaan kata coach itu kelak akan menggantikan dan memusnahkan kata pelatih.
Menjelang pertandingan, biasanya ditampilkan susunan pemain. Dalam susunan itu siapa penjaga gawangnya terlihat dengan salah satu susunan pemain ditandai dengan "(GK)", misalnya Kurnia Mega (GK) dan Ferry Rotinsulu (GK). Bagi penonton yang sudah akrab, mereka mengerti bahwa itu artinya adalah goalkeeper. Kelak, sama dengan coach, goalkeeper akan menggantikan istilah penjaga gawang.
Ketika pertandingan baru berjalan, biasanya dalam tayangan di monitor televisi paling bawah akan tertera first half, dan ketika pertandingan mulai lagi, babak kedua, akan tertulis second half. Bahasa Inggris itu menggantikan bahasa Indonesia untuk istilah babak pertama dan babak kedua.
Penggunaan bahasa dan istilah asing itu sepertinya didukung oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Buktinya, badan olahraga yang saat ini penuh konflik itu juga secara resmi menggunakan bahasa dan istilah asing dalam program mereka, seperti Copa Indonesia, Liga Primer Indonesia, Indonesian Super League, dan Friendly Game. Bandingkan dulu kita menggunakan istilah Galatama (Liga Sepak Bola Utama), Divisi Perserikatan, dan Piala Kemerdekaan.
Kerasukan menggunakan bahasa dan istilah asing ini tidak hanya dialami orang-orang PSSI dan pemilik hak siaran pertandingan, tapi juga para penggemar dan pendukung sepak bola. Lihatlah para pendukung kesebelasan di Indonesia. Mereka dengan bangga menyebut dirinya hooligan, tifosi, dan ultras. Istilah hooligan dan hooliganism yang sudah muncul dalam dunia sepak bola di Inggris 1890-an, sebagai sebuah tindakan kriminalitas dan kebrutalan menjelang dan selepas pertandingan yang dilakukan oleh pendukung kesebelasan di negara-negara Eropa, digunakan pendukung kesebelasan di Indonesia untuk menunjukkan diri sebagai pendukung yang berani dan loyal.
Harus diakui bahwa bahasa dan istilah asing yang masuk ke Indonesia bisa-bisa saja diserap karena tak jarang bahasa Indonesia belum memiliki padanannya, seperti istilah derby. Derby dirasa lebih praktis untuk menggantikan istilah pertandingan satu kota. Demikian pula kata hooligan terasa sah saja untuk menggantikan sebutan pendukung jahat.
Meluasnya penggunaan bahasa dan istilah asing dalam dunia sepak bola menunjukkan bahwa sepak bola Indonesia sudah menyatu dalam arus besar sepak bola dunia. Tayangan sepak bola dari luar negeri di televisi yang tak pernah berhenti serta kedatangan kesebelasan ternama dari Eropa dan Amerika Latin yang silih berganti membuat kita larut tidak hanya dalam euforia sepak bola, tapi juga dalam bahasa dan istilah asing.
Apakah kita menerima bahasa dan istilah asing itu, tetap menggunakan bahasa yang ada, atau menyerap bahasa dan istilah yang belum ada? Bukankah kata pelatih, wasit, penjaga gawang, hakim garis, piala, babak pertama, dan babak kedua adalah kosakata yang memang sudah tercantum dalam kamus bahasa Indonesia dan kita ingin kata-kata itu tetap memperkaya keseharian kita? Jika istilah itu sudah ada dalam bahasa Indonesia, mengapa kita harus menggunakan bahasa dan istilah asing? Bahasa dan istilah asing semakin deras masuk gawang kamus bahasa Indonesia.
*) Ketua Forum Alumni Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa Megawati Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo