Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Suatu Hari dalam Kehidupan Dukun Beranak

Keberadaan dukun bersalin masih mendapat tempat di hati warga pedesaan. Diyakini punya ilmu khusus, tarif layanan terjangkau, bahkan bisa dicicil.

27 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Suatu Hari dalam Kehidupan Dukun Beranak
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Rohaya dukun bersalin dari Kampung Gelonggong, Bojonggede, Bogor. Pada pertengahan bulan puasa lalu, dia membantu persalinan Rahmah dari Cilebut. Rahmah sudah telentang dan mengalami perdarahan, tapi bayi tak kunjung keluar. Hasil perabaan Rohaya menunjukkan posisi bayi sungsang. Kepala bayi berada di atas, sedangkan yang di mulut rahim adalah kaki. Proses melahirkan ini akan sulit.

Di rumah sakit atau klinik bersalin, dokter tak punya pilihan selain operasi caesar. Tapi Rohaya, yang sudah berusia 59 tahun, punya cukup pengalaman menghadapi situasi gawat seperti ini. Saat Rahmah mengejan, kaki kanan janin keluar. Rohaya mencari kaki kiri, lalu menariknya keluar dengan amat hati-hati. Dibantu gerakan tangan Rohaya, saat Rahmah mengejan berikutnya, tubuh si bayi keluar sempurna. Senin itu, anak Rahmah genap jadi enam.

"Ini untuk kelima kalinya saya menangani bayi yang lahir kaki duluan," kata Rohaya, yang kerap dipanggil Mak Yoyoh. Lima hari setelah kelahiran si bayi sungsang, kami bertemu dengannya di rumah Rahmah. Mak Yoyoh sedang menggendong bayi yang belum diberi nama itu. Beratnya saat lahir 2,8 kilogram, dan itu cukup.

Rumah Rahmah adalah tempat ketiga yang didatangi Mak Yoyoh hari itu. Perjalanan tugasnya hari itu dimulai pada pukul delapan lebih tujuh menit, saat ia meninggalkan rumahnya yang sederhana. Tak ada papan nama di rumah bercat putih kusam yang berjarak sekitar 100 meter dari rel kereta Jakarta-Bogor itu. Namun rumahnya gampang dicari karena warga setempat sangat mengenalnya.

Diboncengkan suaminya, Abdurrahman, dengan motor bebek matik, Rohaya menyusuri jalanan tanah kampung yang berbatu. Kali lain, sepeda motor itu meniti jalan setapak yang berkelak-kelok melintasi rumah dan ladang. Berulang kali pasangan ini menyeberangi jembatan, termasuk jembatan gantung di atas Ciliwung yang di salah satu ujungnya terpasang pengumuman "Bonceng harap turun". Hingga senja, Rohaya mendatangi sembilan tempat. Urusannya beragam, dari memandikan dan memijit bayi, memijat ibu yang baru melahirkan, sampai memijat ibu hamil.

Rohaya termasuk "baru" menjadi dukun beranak. Ia mulai menekuni profesinya ini pada 2000, ketika berusia 47 tahun. Meski demikian, lulusan sekolah rakyat ini sudah punya banyak pengalaman. Ratusan bayi sudah ditangani, baik yang lahir normal maupun sungsang. Ia juga kerap memutar bayi sungsang agar bisa lahir normal. Produktivitas kerja Rohaya tinggi karena memang dukun bersalin masih punya peran penting dalam kelahiran di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2010 menyebutkan 43,2 persen persalinan di negeri ini masih dilakukan di rumah dan hampir separuhnya dibantu dukun beranak.

Profesi ini kerap menjadi sorotan tiap kali Hari Anak Nasional diperingati, pada 23 Juli. Meski dibutuhkan, mereka dianggap tak sepatutnya membantu persalinan karena tak lengkapnya ilmu medis yang mereka miliki. Pemerintah ingin, ke depan, persalinan yang penuh risiko ini ditangani tenaga medis, seperti bidan dan dokter. Dukun beranak secara perlahan disetip. Dengan cara itulah diharapkan angka kematian bayi dan ibu melahirkan yang masih tinggi di negeri ini bisa ditekan.

Tentu saja, untuk bisa menghapus profesi ini, pemerintah harus siap menyediakan gantinya. Bagaimanapun, Rohaya dan rekan-rekan seprofesinya adalah orang yang paling dekat dan siap membantu persalinan di desa-desa. "Kalau ada yang butuh, kapan pun waktunya, kami akan datang," kata Abdurrahman, yang bersama Rohaya memiliki empat anak.

Selain itu, biaya bersalin pada dukun beranak sangatlah murah, Rp 400-600 ribu per kelahiran—tergantung jarak dari rumahnya. Bandingkan dengan biaya melahirkan di bidan atau rumah sakit, yang bisa mencapai jutaan rupiah. Apalagi jika ada kesulitan dalam persalinan, seperti yang dialami Rahmah.

Saat melahirkan anak keduanya di rumah sakit di Bogor, Rahmah harus dioperasi caesar karena posisi bayinya sungsang. Biayanya Rp 8 juta, yang dia dapat dari hasil menggadai rumah. Celaka, Rahmah dan suaminya tak bisa menebus gadai. Rumah itu pun melayang. "Saya trauma melahirkan caesar di rumah sakit," ujarnya.

Di tangan Rohaya, Rahmah hanya mengeluarkan Rp 600 ribu. Bahkan biaya itu bisa diangsur. Rahmah mengaku sudah membayar Rp 300 ribu. Rohaya mengaku baru dibayar Rp 150 ribu. Tak tahu siapa yang betul karena tak ada administrasi rapi seperti di rumah sakit.

Selain mencicil, ada saja pengguna jasanya yang membayar jauh dari harga itu, bahkan ada yang cuma Rp 50 ribu. "Tak mendapat rezeki dari situ, bakal ada rezeki dari yang lain," kata nenek sembilan cucu yang mewarisi keterampilan dukun bersalin dari ibunya, Masnin, itu.

Karena keahlian ini umumnya didapat turun-temurun seperti ilmu perdukunan, banyak yang mengaitkannya dengan ilmu gaib. Bahkan ada yang menyebutnya ilmu laduni—ilmu yang didapat dari Tuhan tanpa belajar secara formal. Hal inilah yang terkadang menjadi alasan sebagian orang masih memakai dukun beranak.

Risma, misalnya. Warga Bojonggede ini merasa aman melahirkan anak ketiganya didampingi Rohaya, meski saat itu ia berada di tempat praktek bidan Nora Agustina di perumahan Bojong Depok Baru 1. "Saya bermimpi bertemu wanita seperti Mak Yoyoh menolong bayi saya," kata Risma.

Sempat muntah berulang kali dan tak ada kontraksi, Risma khawatir jika harus menjalani operasi caesar. Rohaya menduga Risma hanya masuk angin dan cuma perlu dikeroki. Rohaya terbukti benar. Rampung kerokan, Risma tidak muntah, dan kontraksi terjadi lagi. Bayi pun lahir normal.

Keyakinan bahwa Rohaya adalah penolong yang tepat semakin tebal ketika diketahui lutut bayi Risma mengalami kelainan. Lutut si bayi salah arah: bukannya menekuk ke belakang, tapi justru ke depan, ke arah perut. Setelah diurut dan engsel tulang lututnya dibereskan, bayi itu bisa menekuk lutut seperti bayi kebanyakan.

Selain belajar dari ibunya, Rohaya mengaku banyak belajar dari pengalaman. Dari pengalaman pula ia bisa menduga umur bayi dan kapan akan lahir, juga menebak jenis kelamin berdasarkan letak bayi di perut ibu. Ia mengklaim, dalam sepuluh tebakan, hanya satu kali dia salah menebak jenis kelamin.

Dari memijat perut dan meraba rahim, Rohaya juga sudah banyak membantu perempuan yang tak punya momongan selama bertahun-tahun. Kasus yang kerap ditemukan adalah letak mulut rahim yang miring sehingga menyulitkan bertemunya sperma dan sel telur. Setelah rahim dirapikan—begitu perempuan berkerudung ini menyebut terapinya—pembuahan kerap terjadi.

Nuning, misalnya. Sudah lima tahun warga Sukahati, Cibinong, ini menunggu kehadiran anak ketiga. Saat dipijat Rohaya, ketahuan mulut rahimnya miring dan langsung dibereskan. Tak berapa lama, kehamilan didapat. Sekeranjang kisah seperti yang dialami Nuning bisa diceritakan Rohaya dengan lancar. "Allah yang mengatur. Saya cuma menolong," ujar Rohaya, yang beberapa kali ikut penataran di dinas kesehatan agar ilmunya tak ketinggalan zaman.

Frizar Irmansjah—dokter spesialis kebidanan dan kandungan—ragu terhadap klaim Rohaya, baik yang berkaitan dengan tebakan jenis kelamin maupun soal membetulkan posisi bayi sungsang. "Pada bulan kedelapan atau kesembilan, otomatis kepala bayi akan turun mendekati mulut rahim, karena kepala lebih berat dibanding bokong. Kepala tidak turun karena ada masalah, mungkin panggul terlalu sempit atau terlilit tali pusar," katanya. Dan itu tak mungkin diselesaikan dengan pijitan.

Bagi orang kota dan berpendidikan, penjelasan ilmiah seperti itu tentu masuk akal. Tapi, bagi orang di pedesaan, penjelasan ilmu laduni para dukunlah yang lebih sering mendapat anggukan.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus