Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH DI SERIBU OMBAK
Sutradara: Erwin Arnada
Skenario: Jujur Prananto
Diangkat dari novel Rumah di Seribu Ombak karya Erwin Arnada
Pemain: Risjad Aden, Dedey Rusma, Riman Jayadi, Bianca Oleen, Lukman Sardi, Jerinx, Theo Zantman
Produksi: Winmark Pictures dan Tabia Films
Singaraja menyimpan rahasia gelap di antara ribuan ombaknya.
Samihi (Andre Julian) memegang teguh papan surf menatap lautan, mencari-cari barangkali Yanik, sahabatnya, terselip di antara ombak dan tarian dolfin itu.
Lalu Samihi bercerita tentang sebuah masa kecil, ketika dia berkenalan dengan Yanik (Dedey Rusma), anak Singaraja yang bersahabat dengan ombak, dengan laut, dengan dolfin, tapi tidak dengan anak-anak lain. Yanik harus berhenti sekolah karena ibunya tak mampu lagi membiayainya. Dia bekerja sebagai pemandu turis di atas perahu yang ingin menikmati para dolfin berdansa dan bergelut di laut. Samihi kecil (Risjad Aden) dan adiknya, Syamini (Bianca Oleen), duo kakak-adik yang memiliki trauma keluarga hingga mereka harus menjauhi air laut. Abang mereka di masa lalu hilang ditelan ombak dan sang ibu meninggal karena duka.
Maka persahabatan Samihi, yang takut air, dan Yanik, yang justru bersahabat dengan laut, menjadi ikatan unik. Cerita ini menarik tidak hanya karena Yanik mencoba meyakinkan Samihi agar memperlakukan air sebagai kawan, tapi juga karena ada perbedaan ”penting” yang di masa kini dianggap besar, padahal sebetulnya itu hal wajar. Yanik penganut Hindu dan Samihi muslim taat yang tengah mencoba ikut lomba qiroah.
Apakah lantas Erwin berkhotbah soal pluralisme melalui film ini? Sama sekali tidak, karena kalau dia berkhotbah, penonton (baca: saya) akan segera lari dan tak kembali selama-lamanya. Erwin cukup menunjukkan adegan-adegan sederhana tentang peaceful coexistence, suatu konsep yang tampaknya semakin samar di negeri ini. Yanik tahu Samihi harus belajar pernapasan agar bisa menumbangkan lawan dalam lomba membaca Quran. Dia membawa Samihi ke salah satu ahli suara Bali yang terkemuka untuk melatih kekuatan suara dari perut.
Tentu saja ini bukan cerita lucu-lucuan kenangan masa kecil. Di antara ombak itu, ada kepahitan. Di antara tawa dan humor Yanik, ada mimpi buruk yang selalu saja mengganggunya. Samihi, polos dan masih baru disunat, tak paham mengapa Yanik langsung gemetar dan jeri setiap kali bertemu dengan seorang turis bernama Andrew.
Erwin Arnada berani memasuki sebuah area yang selama ini dihindari banyak sineas: cerita kelam tentang kekerasan terhadap anak. Ini memang akan mudah dianggap stereotipe, karena the big bad wolf adalah seorang turis asing yang mengoyak jiwa anak-anak. Tapi Erwin memotret kenyataan, ada sinar di Bali (alam, kebudayaan, dan denting musik) dan ada kekelaman (bom dan turis yang merusak tanah dan manusia).
Setelah mondar-mandir menjadi wartawan dan produser film, ternyata Erwin Arnada menemukan tempatnya: bertutur melalui film. Dia peka dengan problem sosial tempat dia bermukim beberapa tahun, dia menangkap emosi orang tua dan anak (lihat bagaimana adegan Samihi ”mengaku dosa” di kuburan ibunya dan reaksi sang ayah yang diperankan dengan baik oleh Lukman Sardi), dan dia tahu seberapa jauh air mata harus jatuh, seberapa banyak kita harus menertawai nasib.
Jujur Prananto menyajikan skenario yang rapi, sementara Erwin, yang empunya cerita dan sutradara, mengatur emosi setiap adegan dengan teliti. Mungkin ada beberapa bagian di masa perayaan agama masing-masing bisa diperpendek agar durasi menjadi lebih pendek dan isi menjadi padat. Kritik lain ada pada nama Andrew, yang lazim untuk orang yang berasal dari negara Anglo-Saxon, sementara si turis berasal dari Belgia, yang berbahasa Prancis dan Belanda. Jadi, dia seharusnya bernama Andre atau Andries.
Itu hanya hal kecil. Pada akhirnya ini persoalan bertutur yang fasih. Duet Erwin Arnada dan Jujur Prananto yang harmonis itu tidak sekadar membuat film Rumah di Seribu Ombak jadi hiburan belaka, tapi menjadikan film ini karya yang penting, yang relevan, sekaligus memberikan gebrakan di akhir yang mengguncang. Erwin menyajikan kisah lingkaran hidup yang lengkap: tentang seorang anak yang bersahabat dan bersatu dengan laut.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo