Bahasa Kemerdekaan MOCHTAR PABOTTINGI "YANG benar," Bung Hatta menegaskan di depan Sidang Pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928, "ialah bahwa kami sudah dibebaskan dari hipnosis kolonial .... Dari sini, kami dapat melihat kenyataan kolonial dengan jelas." Dalam pidato pembelaannya itu, Bung Hatta menampilkan bahasa atau diskursus tentang "prinsip kesamaan" bangsa-bangsa. Bahasa ini juga yang dilancarkan oleh Soewardi Soerjaningrat kala menulis Als ik eens Nederlander was atau oleh Bung Karno kala menyampaikan risalahnya yang terkenal, Indonesia Menggugat!. Dua tahun sebelumnya, Bung Hatta menyatakan bahwa antagonisme antara Eropa dan Asia tak lain adalah antagonisme antara whitemanity melawan humanity. Di zaman itu, bangsa-bangsa Eropa dengan berbagai cara memang selalu mengumandangkan superioritasnya atas bangsa-bangsa yang mereka jajah. Penjajahan bertumpu di atas asumsi perbedaan derajat antarbangsa. Tentu saja apa yang disebut superioritas-inferioritas ras adalah sesuatu yang artifisial. Simaklah cerita perjalanan pertama Nhat Linh ke Prancis dengan kapal laut tahun 1927. Novelis terkemuka Vietnam ini merekam betapa anehnya korelasi antara lokasi-lokasi geografis dan perlakuan orang Eropa terhadapnya. Di Laut Cina, ia diperlakukan bagai kotoran. Di Teluk Siam, ia dipandang bagai "nyamuk pembawa kuman malaria". Ketika memasuki Samudra Hindia, ia mulai dilihat "dengan wajah bersahabat dan simpati". Saat kapal menyusuri Laut Tengah, "mereka serta-merta memperlakukan saya sebagai orang yang juga beradab dan terhormat." Rekaman Nhat Linh ini menunjukkan betapa nisbinya asumsi tentang perbedaan derajat antarbangsa. Tapi alangkah kejamnya praktek ideologi perbedaan itu dalam struktur kolonial. Diskursus tentang prinsip kesamaan bangsa-bangsa tampil secara unik dan kompleks. Di sini, berlaku strategi ganda. Ke dalam, ia menggalang berbagai kelompok, paham atau ideologi guna membina tingkat kohesi nasional untuk menghadapi penjajah. Ke luar, ia berusaha menandaskan afinitasnya dengan berbagai kelompok bangsa, paham atau ideologi yang juga menuntut kemerdekaan atau persamaan hak. Kenyataan ini membuat diskursus kesamaan kerap disalahpahami. Tapi jika kita menangkap strategi ganda di atas, kita akan dapat memaklumi usaha Bung Karno untuk memadukan Nasionalisme, Marxisme, dan Islamisme pada tahun-tahun 1926-1929. Ia memang belajar banyak dari Sarekat Islam. Gejala yang sama juga berlaku di Vietnam. Di sana, kaum cendekiawan melakukan berbagai percobaan ideologis dengan utilitarianisme, voluntarisme, internasionalisme, idealisme, materialisme, dan berusaha memadukannya dengan Kongfusianisme, Taoisme, atau Buddhisme. Dengan fasih, Bung Karno mengutip Rousseau, Thomas Carlyle, Marx, Arthur Griffith, Gandhi, Hilferding, Sun Yat-sen, Adolphe Blanqui. Toh di sela-sela itu semua, tak dilupakannya tokoh- tokoh wayang, seperti Dasamuka, Aria Bima-Putra, Niwata Kawaca, dan Begawan Mintaraga. Sebanyak ia menggunakan jargon-jargon seru, seperti historische taak, belangenbasis, atau naar de politieke macht, Bung Karno pun melontarkan ungkapan-ungkapan "Melayu revolusioner", seperti nasib kokoro, tipuan yang tak memper, atau merah-mbahnya-merah. Bernhard Dahm mungkin benar ketika ia menyatakan bahwa tambal-sulam ideologis ini didasarkan pada kepercayaan di Jawa bahwa "pada dasarnya segala sesuatu itu sama". Memang terkesan adanya sinkretisme di sini. Namun, apa yang tampak sinkretis sebenarnya mempunyai polanya sendiri, yang tak harus dikaitkan dengan kepercayaan. Dalam situasi di mana praktis seluruh sumber-sumber daya material sudah dikuasai penjajah, bangsa terjajah akan menggalang sumber-sumber daya nonmaterial untuk melakukan perlawanan. Maka yang dilancarkan oleh tokoh-tokoh pergerakan kita tak lain adalah serangan diskursif untuk meruntuhkan hipnosis atau struktur ideologis dari sistem penjajahan. Mereka melakukan mobilisasi nilai-nilai dengan strategi ganda tadi. Begitulah cara dan pola nasionalisme kita. Mobilisasi nilai-nilai berguna untuk menekankan prinsip kesamaan bangsa-bangsa. Prinsip itu perlu dihantamkan terus- menerus ke tembok-tembok struktur penjajahan, sebab hanya dengan prinsip itu suatu bangsa terjajah memiliki dasar moral buat menuntut haknya untuk merdeka. Di sini, perbandingan akan memperjelas masalah. Bagi kaum Nazi, misalnya, perbedaanlah yang menghasilkan hak (untuk membantai kaum Yahudi). Prinsip perbedaan itu pula yang dipakai oleh Israel kini untuk menindas bangsa Palestina atau oleh para kolonis Eropa sebagai rasionale untuk menjajah. Sebaliknya, bagi para pendiri republik kita, kesamaanlah yang membawakan "hak" (untuk merdeka). Begitu juga halnya dengan semua pejuang Vietnam yang hendak membebaskan tanah airnya. Nasionalisme kita memperjuangkan kesamaan itu. Nasionalisme inilah yang akhirnya terpatri secara utuh dan cemerlang dalam Pancasila. Falsafah negara yang menjiwai Konstitusi kita itu adalah testamen historis yang sepenuhnya membela prinsip kesamaan. Menangkap Pancasila sebagai ein mehr oder weniger wirklichkeitsfremdes Ideal, seperti pernah ditulis orang, adalah menangkapnya di luar konteks dialektisnya. Syukurlah bahwa Pancasila ditampilkan pertama kali tidak dalam bahasa antitesis yang telanjang. Ia telah disublimasikan. Ia sudah diangkat dari suatu konteks partikular menjadi gagasan-gagasan yang tahan dan relevan secara universal. Mungkin karena itu sementara kalangan memandangnya utopis. Tapi kelima dasar yang dikandungnya sama sekali bukanlah utopia. Itu adalah kerinduan-kerinduan yang sah dan sederhana, yang umumnya harus dimiliki tiap bangsa yang hendak menyebut dirinya beradab. Tidakkah di situ prinsip keterbukaan sama disantuninya dengan prinsip kesamaan? Bukankah tugas kita hanya agar kita semakin mendekati rangkaian idealnya? Sekarang, orang mulai bicara tentang "nasionalisme baru" atau "nasionalisme pasca-kemerdekaan" atau "nasionalisme gelombang ketiga". Maaf, sudah tampakkah cakrawala yang melampaui apa yang dirumuskan dalam Pancasila?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini