Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA kontradiksi antara keyakinan pemerintah dan kajian terhadap proyek penghiliran nikel di Maluku Utara. Pemerintah “mengimani” bahwa proyek penghiliran industri pertambangan akan memajukan perekonomian, sedangkan kajian Forum Studi Halmahera, Trend Asia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menunjukkan bahwa proyek tersebut hanya membawa “luka” pada hutan rimba sekaligus “derita” pada masyarakat di sekitarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita pemerintah itu sudah seyogianya diganti dengan cerita baru untuk menolak bencana ekologis. Tak berlebihan jika Arundhati Roy, dalam “The Pandemic Is a Portal” (2020), menganggap bukan manusia yang menunggu kedatangan kiamat, melainkan manusia sendiri yang sedang merancang mesin kiamat. Sebelum mesin kiamat itu benar-benar selesai dirakit, manusia perlu memikirkan kembali cerita-cerita baru yang beranjak dari pola “keimanan” egosentris menuju “keimanan” ekosentris. Cerita-cerita baru ini dapat dimulai dari penciptaan berita-berita di media massa yang bernapaskan ekolinguistik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai disiplin ilmu yang berkembang saat ini menempatkan ilmu ekologi untuk mengiringi disiplin ilmu lain, seperti kajian ekofeminisme, ekologi budaya, ekososiologi, dan ekolinguistik. Tren ini tentu saja menjadi kabar baik bagi Roy. Setidaknya rancangan mesin kiamat itu sedikit tertunda karena tren kepedulian manusia terhadap kerusakan ekologis yang kian masif.
Arran Stibbe, dalam Ecolinguistics (2021), menyatakan bahwa titik sentral humaniora adalah kesejahteraan manusia, yang pada dasarnya bermakna memperhitungkan keberadaan alam karena manusialah yang bergantung pada alam, bukan sebaliknya. Salah satu cara mewujudkan titik sentral tersebut adalah mendefinisikan ekolinguistik sebagai kajian ihwal peran bahasa dalam interaksi keberlanjutan antara manusia, spesies lain, dan lingkungan fisik.
Cerita-cerita baru yang menolak kehancuran ekologis berperan sangat penting karena memiliki “sihir” untuk mengubah banyak hal. Ben Okri, dalam Birds of Heaven (1996), mengatakan bahwa ceritalah yang menghancurkan peradaban, memenangi perang, hingga menaklukkan hati jutaan orang. Karena “sihir” inilah ekolinguistik menjadi cerita yang cukup asyik untuk diselisik.
M.A.K. Halliday, dalam “New Ways of Meaning: The Challenge to Applied Linguistics” (2001), menyatakan bahwa aspek-aspek bahasa tertentu bisa saja “bersekongkol” dalam menafsir realitas yang berujung pada dampak buruk terhadap ekologi. Stibbe menyodorkan tiga contoh untuk membuktikan bahwa bahasa dapat “lebih manis” dalam menyembunyikan persekongkolannya.
Contoh pertama adalah kata air yang bersifat tidak terikat. Pemaknaan seperti ini membuat air dianggap tersedia secara tak terbatas sehingga dapat dieksploitasi seenaknya. Contoh kedua adalah frasa lebih besar dan kata bertumbuh yang dimaknai lebih positif daripada lebih kecil dan menyusut sehingga ungkapan “pertumbuhan ekonomi” tampak lebih menarik daripada “penyusutan ekonomi”. Contoh terakhir adalah penggunaan kata ganti siapa yang dikhususkan untuk menyebut makhluk-makhluk “sadar” dan apa untuk makhluk-makhluk “tak sadar”. Bagi Stibbe, pembagian dua dunia ini merupakan bukti “persekongkolan” bahasa dengan pihak-pihak yang berkepentingan untuk merusak keberlangsungan ekologis.
Kita memang tidak mungkin mengubah bahasa demi mencapai pemaknaan yang mendukung keberlangsungan ekologis, tapi kita bisa menghadirkan bahasa (yang kurang sempurna perancangannya) dengan cerita-cerita berbeda tentang dunia. Kita, misalnya, dapat membiasakan diri menggunakan cerita tentang “kesejahteraan adalah tujuan utama masyarakat”, bukan “pertumbuhan adalah tujuan utama masyarakat”. Dengan begitu, fitur bahasa dikonstruksi sehingga menghasilkan cerita-cerita baru yang lebih ekologis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ekolinguistik"