Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK ada yang mampu memenuhi kebutuhan listrik Indonesia di masa depan selain pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Maka gagasan transisi energi dari pembangkit listrik berbahan fosil seperti batu bara ke nuklir merupakan suatu keniscayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2035-2040, misalnya, kebutuhan listrik nasional diperkirakan meningkat pesat, bisa mencapai 1.600 terawatt-jam (tWh). Jika hanya bertumpu pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan energi terbarukan, yang kapasitasnya cuma 1.390 tWh, kebutuhan listrik kita jelas tidak akan tercukupi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi Indonesia berkomitmen mencapai net zero emission pada 2060. Energi nuklir seharusnya menjadi pilihan karena lebih ramah lingkungan dan dapat meminimalkan efek rumah kaca. Jika terus-menerus menggunakan energi batu bara, pada 2040 Indonesia justru akan memasuki puncak emisi karbon yang berbahaya.
Karena itu, pemerintah semestinya tidak setengah hati menjalankan transisi ke energi nuklir yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2034. Sewajarnya pula Dewan Energi Nasional menargetkan PLTN berkapasitas 500 megawatt beroperasi di Pulau Gelasa, Bangka Belitung, pada 2032. Jika konsisten dengan target, pembangunan PLTN yang memerlukan waktu delapan-sepuluh tahun itu seharusnya sudah dimulai sekarang juga.
Betapapun demikian, tak sedikit yang khawatir akan masalah keamanan dan keselamatan PLTN. Bayang-bayang kecelakaan nuklir di Chernobyl, Rusia, pada 1986 dan Fukushima, Jepang, pada 2011 masih menghantui negara mana pun yang hendak mengoperasikan PLTN. Kawasan Indonesia yang rawan gempa juga dianggap bukan tempat ideal bagi PLTN.
Ada juga yang melihat Indonesia tidak memiliki bahan bakar nuklir, yaitu uranium, dalam jumlah yang cukup. Diperkirakan cadangan uranium kita hanya bisa memenuhi kebutuhan satu unit PLTN berkapasitas 1 gigawatt selama enam tahun. Transisi energi ke nuklir pun dianggap tergesa-gesa karena sumber energi terbarukan, seperti angin, air, dan surya, belum dimanfaatkan secara maksimal.
Meski layak mendapat perhatian, kekhawatiran itu tak perlu dibesar-besarkan. Toh, Indonesia sesungguhnya sudah memiliki pengalaman dalam mengelola nuklir. Di era Sukarno, pemerintah membangun reaktor Triga Mark II di Bandung, Jawa Barat, yang diresmikan pada 1965. Kemudian, pada zaman Soeharto, didirikan dua rektor nuklir. Yang pertama reaktor Kartini di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang diresmikan pada 1979. Kemudian Reaktor Serba Guna G.A. Siwabessy di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, pada 1987.
Tiga reaktor itu memang bukan ditujukan untuk menghasilkan listrik, melainkan radioisotop yang banyak digunakan di dunia medis dan industri pertanian. Namun itu setidaknya membuktikan bahwa tenaga ahli kita mampu mengoperasikan teknologi nuklir, termasuk menangani limbahnya.
Lagi pula, reaktor PLTN yang ditargetkan beroperasi pada 2032 adalah reaktor generasi keempat yang memiliki teknologi pengamanan terbaru. Bahkan dalam situasi darurat, misalnya, reaktor generasi keempat ini tidak memerlukan intervensi operator untuk mematikannya.
Walhasil, dengan kemajuan teknologinya, yang perlu dikhawatirkan bukanlah keamanan PLTN itu sendiri. Yang perlu diantisipasi adalah korupsi dan penyelewengan dalam pembangunan PLTN yang bisa mengorbankan standar keamanan dan keselamatan di kemudian hari.