Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA bisa optimistis memandang kebijakan anggaran Prabowo Subianto, setidaknya hingga tahun pertama masa pemerintahannya. Cara presiden terpilih itu mengatur keuangan negara lewat tim ekonominya yang masuk ke kabinet Presiden Joko Widodo tecermin dari Nota Keuangan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nota Keuangan tersebut menyatakan pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 2.189 triliun atau naik 10 persen dari APBN 2024. Angka ini merupakan target tertinggi sepanjang sejarah. Nilai penerimaan bisa bertambah menjadi Rp 2.490 triliun jika memasukkan cukai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,2 persen dan inflasi 2,5 plus-minus 1 persen, target ini tergolong konservatif. Artinya, di atas kertas, bisa tercapai. Syaratnya, kebijakan pemerintahan Prabowo mendukung pertumbuhan ekonomi.
Rencana menaikkan kembali pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen, misalnya, bisa jadi kontraproduktif mengingat penurunan daya beli masyarakat. Contoh lain adalah janji ambisius Prabowo mengerek rasio perpajakan hingga 23 persen dari produk domestik bruto (PDB)—saat ini 10 persen.
Sebab, cara meningkatkan penerimaan pajak hanya dua, yaitu menambah subyek atau obyek pajak dan memperbesar tarif. Tarif pajak yang tinggi secara otomatis akan mengurangi pendapatan yang bisa dibelanjakan wajib pajak—baik perorangan maupun badan. Ujung-ujungnya, perekonomian terganggu.
Ihwal belanja negara, Nota Keuangan menyatakan pengeluaran pemerintah pusat mencapai Rp 2.693 triliun pada 2025. Ini angka tertinggi kedua dalam lima tahun setelah 2022, saat pemerintah menggeber belanja guna memulihkan ekonomi pasca-pandemi Covid-19.
Prabowo mengusung delapan program hasil terbaik cepat, di antaranya makan bergizi gratis untuk anak sekolah, bantuan gizi bagi anak balita dan ibu hamil, serta kenaikan gaji aparatur sipil negara, personel Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian RI, dan pejabat negara. Semua program itu jelas membutuhkan biaya besar. Karena itu, bermunculan kekhawatiran anggaran belanja negara tersedot habis.
Faktanya, meski menjadi ikon kampanye Prabowo dalam pemilihan presiden 2024, program makan bergizi gratis hanya kebagian anggaran Rp 71 triliun. Angka itu jauh dari keinginan awal, Rp 450 triliun. Memang, ada kenaikan anggaran pertahanan dan keamanan sebesar 12,3 persen atau setara dengan Rp 40 triliun—tahun-tahun sebelumnya di bawah 5 persen. Namun bujet itu tak semata digunakan untuk pembelian alat utama sistem senjata atau alutsista.
Rincian belanja pemerintah berdasarkan fungsi di Nota Keuangan menunjukkan anggaran pertahanan dan keamanan sebesar Rp 372,2 triliun. Adapun gabungan alokasi biaya Kementerian Pertahanan dan Polri Rp 291,1 triliun. Artinya, ada sekitar Rp 81 triliun anggaran fungsi pertahanan dan keamanan yang disebar di kementerian atau lembaga lain milik negara. Ini mirip dengan anggaran fungsi pendidikan—besarnya 20 persen dari APBN—yang disebar di semua kementerian dan mencakup program makan bergizi gratis.
Poin lain yang menentukan dalam membaca Nota Keuangan adalah defisit. Defisit RAPBN 2025 sebesar Rp 616 triliun atau 2,53 persen dari PDB. Berbekal defisit yang tergolong ringan ini, pemerintah berencana mengakuisisi utang baru Rp 775,9 triliun untuk melakukan refinancing utang yang jatuh tempo—nilainya Rp 800 triliun pada 2025.
Dengan postur anggaran demikian, dengan catatan Prabowo konsisten dan berdisiplin menjalankannya, kita boleh berharap ekonomi akan lebih cerah ketimbang pada masa pemerintahan Jokowi.