Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
King
Sutradara: Ari Sihasale
Skenario: Dirmawan Hatta
Pemain: Rangga Raditya, Lucky Martin, Surya Saputra, Mamiek Prakoso, Ariyo Wahab
Produksi: Alenia Pictures
Sementara sang Bapak mengais-ngais bulu ayam untuk kemudian dijual kiloan ke pabrik kok bulu tangkis, di lapangan desa, anaknya menghajar kok itu dengan sebuah pukulan smash.
Tejo (diperankan dengan baik oleh Mamiek Prakoso), seorang ayah yang sederhana, mendidik Guntur (Rangga Raditya) sendirian dengan keras. Ibu Guntur wafat beberapa tahun lalu. Guntur biasa diganjar dengan hukuman lari 50 kali atau olah fisik lainnya jika sedang bandel. Kerasnya sikap Tejo lebih karena dia tahu anaknya berbakat menaklukkan lapangan badminton itu tapi masih tak bisa menaklukkan temperamennya. Tejo ingin Guntur menyusul King, Liem Swie King.
Film debut sutradara Ari Sihasale (sebelumnya dikenal sebagai produser film Denias dan Liburan Seru) ini memiliki premis yang sama dengan film Garuda di Dadaku (Ifa Isfansyah). Kedua film ini berlatar belakang olahraga; film keluarga yang berkisah tentang upaya keras seorang anak yang ingin mencetak prestasi melalui olahraga yang disukainya. Garuda di Dadaku memilih bola; King memilih bulu tangkis.
Perbedaan kedua film ini ada pada pendekatan dan penggarapan bertutur. King meletakkan drama hubungan anak dan ayah yang lebih kental dan serius dibanding drama antara kakek dan cucu dalam Garuda di Dadaku. Sang ayah begitu keras dan menekan-nekan, tanpa menyisipkan sedikit pun kesan bahwa sesungguhnya dia mencintai dan akan berbuat apa saja demi kepentingan anaknya. Akibatnya, Guntur menjadi anak yang tertekan, mudah marah, mudah mutung karena merasa seluruh dunia tak paham tekanan bapaknya yang luar biasa.
Suasana babak awal dalam King, meski sesekali diwarnai humor teman-teman Guntur, si keriting Raden (Lucky Martin) mendorong Guntur dengan berbagai cara agar bisa ikut latihan dengan klub kecil di dekat kampungnya di pedalaman Banyuwangi, Jawa Timur. Dengan segala keterbatasan seorang anak desa yang miskin, Guntur menghadapi berbagai gerunjal dalam perjalanan menuju sukses. Tujuan Guntur hanya satu: menjadi pemain terbaik dan bertemu dengan pemain legendaris King.
Dari sisi bangunan cerita, film King memang jauh lebih meyakinkan dibanding Garuda di Dadaku. Perkembangan karakter dan hubungan ayah dan anak serta ambisi seorang anak desa yang ingin melompat bersama raketnya untuk meraih cita-cita menjadi pemain bulu tangis nasional ditata dengan rapi. Sementara hadangan si kecil Bayu dalam Garuda di Dadaku adalah larangan sang kakek yang menganggap sepak bola permainan yang tidak elite (Tempo, 15-21 Juni 2009), film King menyajikan perjuangan pencapaian menuju cita-cita itu. Dari sisi logika dan visual, bagian perjuangan ini menjadi menarik. Guntur tidak punya raket yang layak; setiap kali dia melakukan smash, raketnya hancur. Raden, si kawan setia, menggantinya dengan senar gitar (curian), lalu menggantinya lagi dengan benang balon (curian), dan akhirnya sang ayah meminjam raket dari pemain badminton desa, dengan jaminan pesawat televisinya yang mungil. Perlahan, di antara ketegangan saraf antara bapak dan anak, kita merasakan sutradara Ari Sihasale membangun emosi penonton dengan gambar: sang ayah dengan gerobak pick-up menggotong satu-satunya motor untuk digadaikan, agar anaknya bisa menuju ke pelatihan di Kudus. Dan jebol sudah benteng air mata kita. Ini adegan yang sungguh berbicara tanpa banyak dialog.
Tapi jangan salah. Ari sama sekali bukan menyajikan film yang berurai air mata. Adegan-adegan pertandingan antara Guntur dan lawan bebuyutannya, Arya (Jonathan Christie), musuh yang nyebelin itu, tersaji dengan asyik. Menyaksikan gaya Guntur dan Arya di lapangan hampir seperti menonton sebuah koreografi kenangan.
Kita kembali terlempar ke masa lalu, ketika bulu tangkis menjadi menu khas ruang keluarga Indonesia. Ketika Rudy Hartono dan Liem Swie King jauh lebih penting daripada sinetron.
Dari sisi penyusunan adegan dan scoring musik, film Garuda Di Dadaku lebih menarik dan penuh perhitungan (meski ilustrator musiknya menggunakan pasangan yang sama, Titi dan Aksan Sjuman). Tapi King lebih unggul dalam menjalin dan menyajikan cerita. Film ini lebih berhasil melibatkan penonton. Kita bisa ikut merasakan bahwa problem dan cita-cita Guntur untuk dirinya dan desanya adalah keinginan dan cita-cita kita juga.
Nasionalisme pada akhir cerita? Sebetulnya ini membuat tidak nyaman, karena soal cita-cita tak harus selalu identik dengan nasionalisme. Tapi mungkin juga film Garuda di Dadaku dan King sama-sama membuktikan bahwa masyarakat Indonesia rindu pada sesuatu yang bisa dibanggakan.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo