Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bahaya gagalnya perdamaian

Perjanjian damai palestina-israel di washington, as, merupakan sejarah dalam konflik arab-israel. kedua negeri punya kepentingan masing-masing. plo, di bawah kepemimpinan yasser arafat mendapat tentangan terus menerus.

8 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERJANJIAN damai Palestina dan Israel 13 September 1993 di Washington menunjukkan adanya sebuah perubahan besar dalam sejarah konflik Arab-Israel. Ini menggembungkan harapan lahirnya sebuah zaman baru untuk menuju sebuah negosiasi yang terbuka dan langsung antara PLO, satu-satunya perwakilan sah masyarakat Palestina, dan Israel. Adegan di halaman berumput Gedung Putih dan bahasa tubuh yang diperlihatkan oleh para pelaku utama konflik Timur Tengah berbicara banyak. Betapa bersemangatnya Arafat menjabat tangan Rabin yang membalasnya dengan enggan. Sebaliknya, bagaimana Mahmoud Abbas, yang juga dikenal sebagai Abu Mazen, pejabat senior PLO, sangat menahan diri dan bersikap hati-hati terhadap Menteri Luar Negeri Shimon Peres yang kelihatan gembira. Bahasa tubuh para pelaku utama ini seolah-olah mengingatkan kita tentang sikap umum masyarakat dunia yang ragu-ragu terhadap penanda tangan dari kedua pihak ini. Pengumuman pada hari Minggu berikutnya yang berisi penundaan pelaksanaan tahap pertama dari perjanjian damai itu, yang sudah diramalkan oleh para pengamat politik, semakin mengingatkan kita bagaimana berbahayanya jalan menuju perdamaian yang harus ditempuh di Timur Tengah. Bagaimanapun perjanjian damai antara PLO dan Israel bukanlah sebuah kisah cinta yang mendadak. Pihak-pihak yang bermusuhan tidak secara tiba-tiba menjadi kawan hanya dalam waktu sekejap. Pada mulanya, mungkin, mereka menyadari bahwa sama-sama menekan kepentingan sendiri dapat menjadi pijakan yang kuat untuk memulai sebuah proses penyelesaian konflik mereka. Kenyataannya, memang itulah yang terjadi pada diri para pemimpin PLO dan Israel saat ini, yang menganggap penundaan perjanjian damai bukanlah penyelesaian yang mereka inginkan dalam program jangka panjang. PLO memerlukan perjanjian damai ini karena mereka mengalami krisis keuangan berat, terutama setelah peristiwa Perang Teluk. "Kesalahan" Yasser Arafat, yang mendukung Saddam Hussein, menyebabkan sejumlah negara Teluk dan Arab Saudi menghentikan atau mengurangi bantuan rutinnya pada PLO. Pihak PLO juga mengkhawatirkan, bila perjanjian damai tak segera dilaksankan kala itu, perubahan yang terjadi akan membuat jalan ke arah perdamaian makin sulit. Seandainya kekuasaan di Israel bergulir lagi dari tangan Partai Buruh ke Likud yang kanan itu, dan pemerintahan Likud bergandengan tangan dengan pemerintahan Clinton di Amerika Serikat yang pro Israel, pemecahan masalah Palestina bisa semakin tertunda-tunda. Pihak Israel, tepatnya pihak pemerintah Partai Buruh, memerlukan perjanjian ini karena mereka semakin kewalahan menghadapi intifadah, perlawanan dengan batu, terutama di wilayah Jalur Gaza. Partai Buruh juga memerlukan perdamaian ini karena mempunyai kepentingan dalam pemilu mendatang, dalam menghadapi rival mereka di dalam negeri, yakni kelompok garis keras di dalam partai Likud. Sukses mereka merintis perdamaian tentulah modal kampanye yang ampuh untuk mempertahankan kekuasaan. Masih ada faktor lain mengapa baik pemerintah Israel maupun PLO memerlukan perdamaian ini. Yakni perjanjian ini dapat menjadi senjata yang efektif untuk melawan apa yang mereka anggap sebagai kelompok ekstrem dan fundamentalis di pihak mereka masing-masing. Juga, Israel dan PLO semakin menyadari bahwa dalam konteks Tata Dunia Baru dan pandangan baru kebijakan luar negeri Amerika Serikat, Timur Tengah di zaman pasca-Perang Teluk tidak akan lagi dianggap memiliki nilai strategis yang penting seperti di masa lalu. Terutama karena AS akan lebih memandang kawasan Pasifik, yang lebih dekat, sebagai kawasan yang harus diprioritaskan. Kekhawatiran bahwa kepentingan mereka akan dikesampingkan dalam dunia internasional itulah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong kedua pihak untuk mencapai kompromi menuju perdamaian. Ada satu faktor lagi di pihak Israel yang menjadi pendorong ke jalan damai itu, selain masalah keamanan dan kemakmuran ekonomi. Yakni agar Israel dapat diterima oleh tetangga- tetangganya. Agar Israel, dari negeri yang sejak lahirnya terkucil di kawasan ini, menjelma menjadi sebuah negara yang dapat diterima dan menjadi bagian dari Timur Tengah. Tentu saja, negosiasi tentang pelaksanaan pemberian otonomi pada Jalur Gaza dan Kota Yerikho, yang dikenal sebagai "Gaza- Yerikho dulu", menghadapi berbagai masalah sejak awal. Salah satu persoalan itu adalah pelepasan tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel meski harus diakui beberapa kemajuan sudah tercapai. Yang lebih sulit dihadapi adalah masalah dua isu tentang bagaimana menyetujui definisi perbatasan untuk Yerikho, dan siapa yang akan memiliki wewenang dan mengontrol batas-batas antara Tepi Barat dan Yordania, dan Tepi Barat dan Mesir. Selain masalah keamanan, masalah perbatasan inilah yang menyebabkan penundaan pelaksanaan tahap pertama persetujuan yang tadinya direncanakan akan dilakukan tanggal 13 Desember lalu. Yakni penarikan tentara Israel dari Jalur Gaza dan Yerikho. Untuk Jalur Gaza, mungkin perbatasan itu sudah jelas. Tapi untuk Yerikho, pihak Palestina minta wilayah yang lebih luas, bukan sekadar wilayah kota, melainkan distrik. Bagaimanapun, sebenarnya masalah-masalah ini tidak tergolong berat. Itu bila dibandingkan dengan masalah yang akan dihadapi kedua belah pihak ketika akan melaksanakan tahap jangka panjang. Yakni masalah sejarah yang diyakini oleh kelompok garis keras di kedua pihak. Kelompok tersebut, baik di pihak Israel maupun di pihak Palestina, yakin bahwa seluruh Tanah Palestina seharusnya milik mereka, dan pihak yang lain tak punya hak mendiaminya sejengkal pun. Dan mereka ini siap menghancurkan persetujuan yang sudah dijalin oleh PLO dan pemerintah Israel. Masalah lain adalah masalah pendudukan itu sendiri. Di bawah hukum internasional, pendudukan itu merupakan sebuah tindakan ilegal. Berkaitan dengan masalah pendudukan ini adalah hak pengungsi Palestina di tahun 1948, tahun ketika negara Israel diproklamasikan, untuk kembali ke Palestina setelah tanah itu kembali ke tangan Palestina. Setidaknya, mereka yang mengungsi ketika Israel lahir itu berhak atas kompensasi seperti yang sudah diabadikan dalam sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB. Tapi masalah yang paling penting dari semua ini adalah masalah status Yerusalem, hak orang-orang Palestina untuk merdeka dan mendirikan pemerintahan Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Boleh dikatakan semua orang Palestina menganggap ibu kota Palestina adalah Yerusalem, dan kota ini sebaiknya tak dibagi-bagi. Maka, keberhasilan perjanjian damai ini, yang resminya disebut Deklarasi Prinsip, akan bergantung pada persiapan dan sikap pemerintah Israel dan tetangga-tetangga negara Arab di sekitarnya. Keberhasilan itu juga bergantung pada negara-negara Timur Tengah itu sendiri. Keberhasilan Deklarasi Prinsip juga bergantung pada kemampuan orang-orang Palestina memulai dan mempertahankan proses untuk meletakkan dasar-dasar negara yang mereka cita-citakan. Untuk mencapai tingkat ini, mereka memerlukan pertolongan, dukungan finansial dari masyarakat internasional, negara-negara Barat, selain dukungan Israel dan negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah. Dukungan ini akan menjadi faktor yang penting bagi PLO, paling tidak untuk tahap awal pelaksanaan persetujuan itu. Dukungan itulah yang akan mempengaruhi kelompok Hamas, organisasi perlawanan Islam yang menggerakkan intifadah, dan kelompok Palestina lainnya di dalam dan di luar daerah pendudukan, yang sangat menentang perjanjian damai ini sejak awal. Sebab, jika ekonomi di Jalur Gaza, wilayah tempat Hamas memiliki pengaruh besar karena dukungan finansial mereka, tidak membaik di bawah pemerintahan PLO, dengan sendirinya kita akan melihat konflik antara Hamas dan PLO berkembang ke arah yang membahayakan: konflik itu dapat berdarah. Kemungkinan seperti ini akan dimanfaatkan oleh sayap kanan politik di Israel dan kekuatan militan lainnya yang saat ini sedang menekan pemerintah Partai Buruh untuk menarik diri dari perjanjian tersebut. Tapi penting juga diingat, kelompok Hamas sebenarnya tidak sekuat seperti yang sering dilaporkan oleh media massa. Pertama, Hamas tidak didukung oleh seluruh masyarakat Palestina. Kelompok perlawanan Islam militan ini hanya mendapat dukungan kuat di Jalur Gaza, sedangkan di Tepi Barat, dukungan masyarakat Palestina terhadap Hamas lemah. Kedua, Hamas bukan sebuah organisasi yang bersatu, melainkan sebuah perkumpulan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang masing-masing punya sikap dan paham sendiri-sendiri. Diduga, pada masa mendatang tampaknya mereka tidak akan kompak. Timur Tengah sudah mengalami banyak perang. Masyarakatnya berhak mendapatkan kedamaian, sebuah perdamaian yang adil dan abadi. Tapi tampaknya peperangan selalu lebih mudah dicapai daripada perdamaian. Bagi Israel, pembangunan sosial dan ekonomi di masa damai akan menciptakan kesenjangan antara sesama orang Yahudi. Israel telah menunjukkan kekompakan mereka untuk berperang dan memenangkannya, tapi apakah mereka bisa sepakat bulat mempertahankan perdamaian? PLO, di bawah pimpinan Yasser Arafat, telah menunjukkan kemampuan bertahan dalam keadaan bahaya yang terus-menerus, tapi apakah mereka mampu menghadapi ketegangan dan rasa frustrasi dari dalam, dari rakyat Palestina sendiri? Hanya waktu yang bisa menjawab.*) Profesor Studi Arab dan Timur Tengah di University of Edinburh,Skotlandia, penulis masalah Timur Tengah di media terkemuka Inggris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus