TIDAK sedikit kerikil yang menghadang Arifin Siregar saat ia mengayunkan langkah ke posnya yang baru sebagai Duta Besar Republik Indonesia di AS. Kerikil itu rupa-rupa: hak asasi manusia, Timor Timur, hak buruh, intervensi dalam jual-beli senjata, ancaman pencabutan GSP. Kendati situasinya kurang menjanjikan, proses surat-surat diplomatik bagi Arifin Siregar bekas Menteri Perdagangan dan jauh sebelumnya Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) terlaksana lebih cepat dari biasanya. Ini sebuah sinyal, barangkali. Bahkan, kepada Arifin, Clinton mengutarakan niatnya untuk sekali waktu berkunjung ke Indonesia. Yang lebih pasti ialah lawatan Clinton ke Jakarta dalam rangka APEC tahun 1994 ini. Di tengah kesibukannya di Washington, pekan lalu Arifin Siregar menyisihkan 45 menit untuk sebuah wawancara dengan wartawan TEMPO Bambang Harymurti. Petikannya: Bagaimana hubungan Indonesia dan Amerika Serikat saat ini? Anda tahu, hubungan Amerika dan Indonesia beberapa tahun terakhir ini cukup baik. Di bidang politik, Indonesia sangat aktif dalam memecahkan masalah Kamboja, yang tentu saja merupakan kepentingan bagi Amerika Serikat. Dalam forum-forum internasional seperti APEC maupun Putaran Uruguay, pada umumnya kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Amerika cukup baik. Di putaran Uruguay, apakah AS dan Indonesia selalu searah? Tentu ada perbedaan paham. Tapi kita tidak termasuk dalam negara-negara yang dianggap menghalang-halangi kemajuan Uruguay Round itu. Kemudian, di bidang ekonomi, perdagangan kita cukup berkembang. Ekspor kita tahun lalu mencapai US$ 4,5 miliar dan impor kita US$ 3,5 miliar ditambah impor jasa-jasa. Sedangkan ekspor Amerika ke Indonesia, kalau tak salah, sekitar US$ 4,3 miliar. Jadi, hampir berimbang? Ya, hampir berimbang. Dipandang dari sudut Indonesia, pasar Amerika ini memang cukup potensial. Dilihat dari sudut investasi, nilai investasi Amerika di Indonesia, terutama di bidang minyak, gas, dan pertambangan, tak kurang dari US$ 25 miliar. Kalau di bidang nonmigas, kira-kira US$ 3,2 miliar, dan Amerika menduduki peringkat kelima, sesudah Jepang, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan. Bagaimana dampak ancaman pencabutan fasilitas GSP Indonesia terhadap hubungan kedua negara? Dilihat dari berbagai sudut, hubungan RI-AS cukup baik. Lebih dari 10.000, bahkan mungkin 12.000 mahasiswa Indonesia belajar di Amerika. Banyak yang telah selesai dan kembali ke Indonesia. Maka, dilihat dari segala sudut, hubungannya sangat baik. Jadi, sangat disayangkan, kalau hanya disebabkan masalah GSP dan hak asasi, hubungan menjadi buruk. Fasilitas GSP hanya menyangkut sebagian kecil ekspor Indonesia ke AS. Mengapa Pemerintah kelihatannya repot betul menghadapi ancaman pencabutan GSP? Memang, dari ekspor kita yang US$ 4,5 miliar tahun 1992 ke AS, hanya sekitar US$ 640 juta yang masuk GSP. Namun, apabila GSP ditarik dari Indonesia, ini bisa mengeruhkan hubungan Amerika dan Indonesia. Seperti diketahui, sejak peristiwa 12 November 1991, Indonesia banyak disoroti secara negatif karena insiden Dili. Dan masalah ini masih terus dirasakan dan setiap waktu bisa muncul ke permukaan. Kita melihat usaha-usaha dari Senator Feingold untuk melarang penjualan senjata ke Indonesia. Kita melihat banyak sekali kalangan di surat kabar dan majalah Amerika, yang menganggap Indonesia itu adalah a gross violator (pelanggar) hak asasi manusia. Hal ini akan lebih muncul lagi ke permukaan apabila GSP ditarik, Februari nanti. Karena itu, saya beranggapan, alangkah baiknya bila masalah GSP dapat dipecahkan secara memuaskan bagi kedua pihak. Kalau tidak, konsekuensi negatifnya akan jauh lebih besar. Tapi persoalan yang sebenarnya kan bukan dengan Pemerintah, tapi dengan Kongres dan NGO. Bagaimana upaya menghadapi mereka? Memang, yang masih sulit dipecahkan adalah soal insiden Dili. Ini kelihatannya merupakan masalah jangka menengah dan panjang. Perlu waktu. Mengingat bahwa sistem pemerintahan di AS berbeda dengan negara lain, termasuk Indonesia, maka kita tak bisa mengatakan bahwa ini hanyalah masalah NGO atau masalah Kongres. Itu semua merupakan suatu kesatuan. Sebagai contoh GSP. Yang mengambil prakarsa memang NGO Asia Watch dan mitra-mitra dari AFL-CIO tapi yang mengambil keputusan kan pemerintahnya? Demikian juga Feingold Amendment. Yang mengusulkan Kongres, tapi kalau diterima, yang menjalankan, ya, pemerintahnya. Jadi, tak bisa dipisahkan. Menurut saya, hubungan Indonesia-Amerika hendaknya jangan dikeruhkan oleh masalah GSP dan hak buruh. Ada kekhawatiran, kalau GSP dicabut, negara-negara lain akan mengikuti jejak AS tersebut. Benarkah? Kemungkinan itu ada saja. Sebab, dasarnya sama, yaitu hak-hak pekerja, yang dianggap bagian dari hak asasi manusia. Bagaimana hasil kunjungan tim ILO ke Indonesia baru-baru ini? Katanya, sebagian peraturan perburuhan Indonesia dinyatakan tak sesuai dengan standar internasional. Saya belum mendapat laporan yang lengkap. Tapi yang penting adalah dalam dengar pendapat 3 November lalu. Di situ pemerintah RI melalui duta besarnya mengatakan, pemerintah Indonesia akan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki keadaan buruh. Ini terlepas dari permintaan Amerika. Mudah- mudahan langkah-langkah ini akan diambil oleh pemerintah Indonesia. Ini demi kepentingan kita sendiri, tapi mungkin juga bisa memuaskan pihak Amerika. Bagaimana soal Marsinah? Oh, ya. Itu salah satu tindakan yang dianggap cukup baik dari pemerintah kita. Jadi, siapa yang diduga bersalah harus dihadapkan ke pengadilan. Nanti pengadilanlah yang akan memutuskan. Di kelas mana potensi investor AS di Indonesia paling kuat, menengah atau kecil? Macam-macam. Katakanlah Freeport besar, tapi juga banyak yang menengah, yang merupakan komponen dari US$ 3,2 miliar tadi. Kalau saya, lebih melihat dari potensi untuk ekspor kita ke AS. Saya perkirakan, tahun depan harusnya bertambah 25%. Ekspor Indonesia ke AS itu nomor berapa dibandingkan ke negara lain? Dipandang dari sudut ekspor nonmigas, Amerika itu sudah hampir sama dengan Jepang, sekitar US$ 3,9 miliar. Ekspor kita ke Jepang total US$ 10,8 miliar. Jadi, AS sudah menjadi pasar ekspor Indonesia nomor dua. Kalau bagi AS, impor dari Indonesia menduduki peringkat ke-23. Investasi apa yang diharapkan dari AS? Yang bisa kita harapkan banyak dari Amerika tetap di bidang migas. Seperti proyek Exxon, kalau jadi akan bernilai US$ 2040 miliar. Tapi kita masih terus berunding. Kalau di sektor nonmigas, mereka masih jauh dibandingkan Jepang, Korea, Hong Kong, dan Taiwan. Menurut Anda, upaya apa yang sekarang paling penting dilakukan untuk memperat hubungan AS-Indonesia? Terus terang, promosi melalui TTI (Trade, Tourism, and Investment), seminar perlu terus digalakkan. Sebab, walaupun pengusaha mengenal Indonesia, banyak pula yang belum. Mungkin yang belum mengenal ini bisa merupakan calon kuat untuk investasi dan sekaligus investor potensial. Karena itu, saya akan pergi dengan US-ASEAN Council ke Michigan, Louisiana, Georgia, Minneapolis, dan Texas, terutama untuk menarik pengusaha-pengusaha Amerika, agar investasi di Indonesia atau membeli produk Indonesia lebih banyak. Kabarnya, banyak calon investor AS mengeluh, karena kurangnya kepastian hukum di Indonesia, sebagai hambatan melakukan investasi. Ini kan sikap orang Amerika dan orang Barat pada umumnya. Mereka kan tak cepat mengambil keputusan. Banyak hal mereka lihat, terutama segi hukum. Maka itulah negara seperti Korea dan Hong Kong lebih banyak mengadakan investasi di Indonesia. Beberapa pengamat mengatakan, setelah APEC, terjadi perubahan sikap pemerintah AS dalam HAM dan lingkungan hidup. Anda setuju? Masih terlalu dini. Dan kita jangan lupa, ada satu masalah yang perlu kita perhatikan. Dalam perdebatan NAFTA itu kan terjadi hubungan yang kurang baik antara pemerintah Amerika dan serikat buruh. Begitu parahnya hubungan, hingga dipandang perlu oleh Clinton untuk mengadakan pertemuan khusus dengan Lane Kirkland, ketua serikat buruh. Kita belum tahu apakah Clinton terpaksa memberikan konsesi kepada mereka, katakanlah mengenai hak-hak buruh. Memang perlu dicatat, perundingan APEC di Seattle secara tak langsung menempatkan kita lebih banyak di fokus masyarakat Amerika. Ini mungkin ada dampak positifnya. Namun, di lain pihak, perdebatan NAFTA itu mungkin akan ada dampak negatifnya. Jadi, Anda menganggap bahwa tahun depan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan APEC itu penting? Memang, saya rasa baik bahwa kita akan menjadi tuan rumah. Karena untuk kedua kalinya akan diadakan leaders meeting. Itu saya rasa penting sekali. Kalau begitu, Anda optimistis hubungan RI-AS akan terus membaik? Saya tak bisa mengatakan optimistis sekali. Saya sangat berhati-hati. Sebab, saya belum tahu, bagaimana masalah GSP nanti. Menurut saya, ini sangat menentukan. Mudah-mudahan bisa dipecahkan dengan baik. Tapi bukan berarti, kalau GSP bisa dipecahkan semua berjalan lancar. Soalnya, masalah Timor Timur akan tetap menghantui. Sampai kapan? Masih agak lama. Masih ada demonstrasi-demonstrasi seperti di Seattle, di sini (maksudnya di Washington, D.C.). Juga pemberitaan di koran-koran. Kalaupun mereka memuji Indonesia di bidang ekonomi, tetap ada embel-embelnya. Apalagi di Washington Post. Ini mengganggu sekali. Sebagai bekas Direktur IMF, apakah Anda sudah mencium gejala masuknya soal HAM dan demokratisasi dalam kebijakan IMF dan Bank Dunia? Sudah mulai. Kan negara-negara donor itu negara Barat? Sebagai contoh, soal lingkungan hidup dulu tak ada dalam Bank Dunia. Lalu Bank Dunia banyak mendapat kritik soal ini sedemikian rupa, hingga mau tak mau Bank Dunia harus memperhatikannya. Demikian juga dengan HAM, walaupun belum separah seperti dalam kasus lingkungan hidup, toh sudah mulai ke sana. Sebab, tak bisa dilepas, pemegang saham terbesar Bank Dunia itu negara Barat. Mereka jelas akan memperjuangkan prioritas mereka. Contohnya, sampai beberapa waktu lalu IMF tak mau memberikan pinjaman ke Vietnam. Jadi, soal ini tak dapat dipisahkan. Langsung atau tak langsung pengaruh negara besar akan semakin terasa. Walaupun ditentang staf, yang menentukan kebijakan kan para pengambil keputusan, dan kekuatan saham tiap negara berbeda, tergantung besarnya sumbangan. Yang namanya good government itu kan sebenarnya demokratisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini