KRITIK terhadap lemahnya hukum ekonomi dan bisnis di Indonesia terus saja nyaring. Hukum kita tak mampu mengimbangi gerak lajunya dunia bisnis yang kian marak. Ia selalu terseok di belakang. Benarkah itu? Apa dampaknya bagi dunia bisnis kita? Untuk mencari gambaran jagat hukum bisnis dan soal RUU, TEMPO mewawancarai Bambang Kesowo, 48 tahun. Lulusan Harvard Law School, yang dikenal pula banyak menggeluti disiplin hukum ekonomi, sehari-harinya adalah Wakil Sekretaris Kabinet dan Kepala Biro Hukum Sekretariat Negara. Karena keahlian dan jabatannya itu, tak satu pun RUU yang tak lewat dari tangannya. Berikut sebagian petikan wawancaranya dengan Linda Djalil dari TEMPO. Benarkah hukum ekonomi, dibanding dengan perkembangan hukum lainnya, paling ketinggalan? Sinyalemen itu mungkin kurang tepat. Di beberapa sektor tertentu di bidang ekonomi, memang terasa lambat perkembangan pengaturannya. Tetapi di beberapa sektor lainnya telah tersedia. Misalnya, ada UU Perindustrian, UU Perbankan, UU Ketenagakerjaan, UU Perpajakan. Kalau hendak dibuatkan RUU yang mengatur lalu lintas bisnis, skala prioritas apa yang menurut Anda paling mendesak untuk segera dibuat? Pertama, kita perlu mewujudkan prasarana pokok dan kemudian aturan permainannya. Mengenai prasarana pokok, dapat saya anggap yang penting adalah RUU Perseroan Terbatas, RUU Arbitrase, RUU Pasar Modal, RUU Hak Tanggungan Atas Tanah, dan RUU Keagenan. Mengenai aturan main, dapat kita sebut RUU Anti Monopoli, RUU Penanggulangan Persaingan yang Tidak Jujur, dan RUU Perlindungan Konsumen. RUU Perseroan Terbatas (PT) kan sudah lama diajukan. Mengapa tak kunjung selesai? Bagian mana yang membuat macet? Saya akui, materi RUU ini sangat berat. Berdasarkan catatan Sekretariat Negara, RUU tersebut, setelah melalui serangkaian pembahasan, telah dua kali ditarik kembali oleh Departemen Kehakiman. Terakhir, RUU Perseroan Terbatas itu pun dibahas dalam forum lebih luas, dengan melibatkan para menteri yang termasuk dalam lingkup Ekonomi dan Keuangan. Proses penyusunan ulang berlangsung selama tahun 1992. Pada Oktober 1993, Menteri Kehakiman dan Menko Ekku Wasbang memberi catatan. Saat ini RUU tersebut telah selesai dipersiapkan oleh Sekretariat Negara. Dari segi materi, dapat dikatakan RUU tersebut mengalami beberapa perombakan. Misalnya soal-soal perlindungan pemegang saham minoritas dan pertanggungjawaban direksi terhadap perseroan terbatas. Yang baru antara lain mengenai penambahan dan pengurangan modal, pembelian kembali saham oleh perseroan terbatas, kemudian perseroan terbatas yang terbuka (dan kaitannya dengan penjualan saham melalui pasar modal), holding company. Dengan Menteri Kehakiman telah disepakati bahwa RUU yang telah tersusun sekarang ini segera diajukan kepada Presiden guna disampaikan ke DPR. Penyempurnaan selanjutnya akan dilakukan bersama DPR. Kira-kira tahun mendatang ini, isu hukum bisnis apa yang paling menonjol? Kegiatan di sektor pembiayaan atau permodalan tampaknya akan semakin menonjol seiring dengan kian berkembangnya kegiatan ekonomi. Ini berarti, persoalan hukum di bidang pasar modal, perbankan, dan lembaga keuangan lainnya akan semakin tampil. Tetapi seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi tadi, tampaknya soal-soal yang berkaitan dengan monopoli dan persaingan juga akan meluas. Dari sisi lain, masalah perlindungan konsumen juga akan tambah marak. Juga, jangan lupa, sisi gelap dari perkembangan di bidang ini, tindak pidana ekonomi pasti akan melonjak. Begitu pula bila perundingan Putaran Uruguay (GATT) benar- benar dapat diselesaikan, masalah hukum yang berkenaan dengan penyelesaian perselisihan saya perkirakan akan menonjol. Itu sebabnya, penyelesaian RUU Arbitrase tadi saya anggap sebagai salah satu prioritas untuk diselesaikan. Jika hukum ekonomi kita memang lemah, apa dampaknya bagi dunia usaha kita? Jawabnya, dari segi apa pun, singkat saja. Pokoknya, tidak menguntungkan. Untuk menutup kelemahan, apakah tak cukup dengan mengeluarkan peraturan 'instant', yang hanya berupa surat keputusan menteri? Kita ambil contoh yang kongkret saja, pasar modal. Pengaturan kegiatan di bidang ini mutlak harus dengan undang-undang. Di luar bentuk UU tadi, paling yang dapat dijamah hanya terbatas pada aspek kelembagaan dan prosedur. Tetapi tidak mungkin menciptakan hak yang dapat dilaksanakan secara umum. Pengaturan soal hak dan kewajiban hanya akan efektif kalau disertai kekuatan untuk memaksakan perwujudannya. Dalam bahasa teknis, orang berbicara mengenai perlindungan investor, tentang kewajiban emiten, dan lain-lain yang terlibat dalam penerbitan atau penjualan saham. Bila sampai tiba pada masalah enforcement hak dan kewajiban, atau ancaman pidana, hal itu hanya dapat dilahirkan dengan undang-undang. Peraturan tingkat menteri, bahkan keputusan presiden, dapat saja digunakan. Tetapi, materinya akan terbatas pada hal-hal yang tadi saya sebutkan. Jadi, sifatnya sangat sementara dan biasanya hanya digunakan pada saat perintisan atau pengenalan lembaga dan tata kerjanya. Lalu bagaimana idealnya sistem hukum ekonomi Indonesia? Pertanyaan ini sulit. Congkak sekali kalau saya mengatakan dapat menjawab sendiri. Perlu diingat, betapapun sistem hukum tidaklah berdiri sendiri. Ia hanya bagian dari sistem nasional yang lebih besar. Tetapi seandainya digunakan paham bahwa hukum adalah alat rekayasa sosial, kita berbicara soal desain. Ini akan menyangkut cita kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya, ada aspek ideologi politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Di mana posisi hukum? Sebagai alat rekayasa sosial, hukum larut dan menjadi cerminan semua aspek kehidupan tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini