Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDEKATI pemilihan umum, makin banyak saja politikus dan pejabat daerah yang gelap mata menyerukan larangan terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Para politikus dan pejabat itu tidak hanya sesat sejak dalam pikiran. Mereka pun menjadi jahat dalam perbuatan karena berusaha meraup keuntungan elektoral lewat cara diskriminatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Kota Pekanbaru, Riau, misalnya, bermunculan baliho yang menolak LGBT di sejumlah tempat. Pejabat Pemerintah Kota Pekanbaru, Gubernur Riau, hingga para legislator daerah itu kompak menolak keberadaan LGBT. Sebelumnya, Wali Kota Medan Bobby Nasution melontarkan pernyataan serupa pada malam tahun baru 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah daerah lain bahkan telah menerbitkan aturan yang melarang LGBT. Sebut saja Kota Bogor, Jawa Barat, yang mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual. Kota Pariaman, Sumatera Barat, memiliki perda serupa. Para politikus di Garut, Jawa Barat, dan Makassar, Sulawesi Selatan, juga gencar mendorong pembentukan rancangan perda yang melarang kelompok dengan orientasi seksual berbeda.
Para politikus dan pejabat daerah itu menutup mata atas sejumlah konvensi internasional yang melarang diskriminasi terhadap semua warga negara, termasuk kalangan LGBT. Dunia yang lebih beradab telah menjamin persamaan hak kaum LGBT melalui resolusi Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, pada 2014. Resolusi tersebut menyatakan setiap manusia dilahirkan bebas dan sederajat serta setiap orang berhak memperoleh hak dan kebebasannya tanpa diskriminasi apa pun.
Konstitusi negara kita pun tegas melindungi setiap warga negara dari segala bentuk diskriminasi atas dasar apa pun. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak asasi semua penduduk negeri tanpa memandang apa pun orientasi seksualnya. Karena itu, tidak seorang pun, termasuk para politikus dan pejabat daerah, yang boleh melanggar hak asasi kaum LGBT.
Sentimen anti-LGBT para pejabat dan politikus menjelang pemilu hanya akan memperburuk diskriminasi serta memicu persekusi terhadap kaum minoritas tersebut. Kelompok masyarakat yang berpandangan negatif terhadap kelompok rentan itu mendapatkan amunisi untuk menyebarkan ujaran kebencian, misalnya melalui media sosial.
Baca liputannya:
Bahkan mereka bisa saja terpancing melakukan perbuatan kriminal atas dasar kebencian terhadap kalangan LGBT. Padahal, tanpa seruan jahat politikus itu, hak kaum LGBT—termasuk hak untuk memilih atau mendapat identitas kependudukan—di banyak daerah kerap diabaikan.
Politikus yang memainkan sentimen anti-LGBT sejatinya tak memiliki legitimasi untuk ikut dalam kontestasi politik yang demokratis, apalagi untuk dipilih. Belum apa-apa mereka telah berbuat curang dalam mencari dukungan dari pemilik suara mayoritas, dengan cara mengorbankan kaum minoritas. Bila barisan politikus bermental diskriminatif itu sampai terpilih, slogan Bhinneka Tunggal Ika di negeri ini akan makin kehilangan maknanya. Kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender bakal makin terpojok dan terabaikan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seruan Jahat Melarang LGBT"