Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMESTINYA Butet Kartaredjasa menjadi pemandu acara forum pimpinan perusahaan yang dihadiri Presiden Joko Widodo di Nusantara, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada Kamis, 2 November lalu. Pemain teater asal Yogyakarta itu sudah berangkat dan tiba di Penajam Paser Utara sehari sebelum waktu acara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari dia tiba di Nusantara, panitia acara memberi tahu bahwa aktor 62 tahun itu batal mengisi acara. Dimintai konfirmasi pada Selasa, 21 November lalu, Butet mengatakan insiden yang menimpanya sekadar paranoia panitia. “Bukan tekanan resmi dari penguasa,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan sebelum acara di Ibu Kota Nusantara itu digelar, Butet bersurat kepada Presiden Jokowi soal pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat wakil presiden. Gibran, anak sulung Jokowi, mendampingi Prabowo Subianto setelah Mahkamah Konstitusi mengubah syarat umur calon presiden dan wakil presiden. Meski tak berusia minimal 40 tahun, asalkan pernah terpilih dalam pemilihan umum, siapa saja bisa ikut pemilihan presiden. Umur Gibran baru 36, tapi ia Wali Kota Solo.
Putusan Mahkamah Konstitusi itu dibuat oleh hakim yang dipimpin Anwar Usman, paman Gibran. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi kemudian menilai apa yang dilakukan Anwar melanggar etik dan memiliki konflik kepentingan yang diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam suratnya, Butet menulis bahwa pencalonan Gibran, apalagi menjadi pendamping Prabowo Subianto, merupakan bencana moral. Butet adalah pendukung calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ganjar Pranowo, yang berpasangan dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Tapi dalam dua kali pemilihan, 2014 dan 2019, Butet adalah pendukung militan Jokowi.
Kepada Tempo, Butet membeberkan rencana manggungnya di Ibu Kota Nusantara itu. Menurut jadwal, dia akan berduet dengan penyanyi Trie Utami sebagai pembawa acara. Grup musik Kua Etnika, yang pernah diperkuat mendiang adik Butet, Djaduk Ferianto, diplot menjadi pengisi acara. Anehnya, tak seperti Butet, Trie Utami dan Kua Etnika tetap diizinkan tampil di hadapan bos perusahaan dan Presiden Jokowi.
Bukan hanya itu, Butet juga merancang tarian khusus. Dia menamainya tari Nusantara Etam. Artinya, Nusantara kita. Pentas tari itu sudah dipamerkan di depan Presiden Jokowi di Istana Negara pada 3 Agustus lalu. Saat itu Butet hadir bersama sejumlah penari dan penata suara dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, yang didirikan bapaknya. “Pak Jokowi senang melihat tarian itu,” ucap Butet.
Rencana-rencana Butet itu buyar karena ia tak bisa tampil. Seorang pejabat pemerintah dan seniman yang mengetahui acara-acara di Istana Negara bercerita, ada banyak aktor, budayawan, dan komika yang telah bersepakat mengisi acara di kementerian batal tampil karena secara terang-terangan mendukung pasangan Ganjar-Mahfud dalam Pemilu 2024.
Komedian itu mengatakan, begitu tahu ada penampil yang mendukung Ganjar, panitia memberi opsi: batal atau memundurkan jadwal pentas setelah pemilihan presiden pada 14 Februari 2024. Padahal para pekerja seni yang batal tampil itu sering ikut Presiden Jokowi dalam berbagai seremoni, seperti peresmian kereta cepat Jakarta-Bandung.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno membantah jika pemerintah disebut menghalang-halangi penampilan para pekerja seni karena tak mendukung pasangan Prabowo-Gibran. “Tidak benar,” ujarnya dalam pesan WhatsApp, Jumat, 24 November lalu.
Bukan hanya para seniman, para calon presiden juga mendapat halangan ketika berkeliling ke daerah. Tim sukses Ganjar Pranowo bercerita, calon presiden PDI Perjuangan itu dijadwalkan menginap di rumah warga Deli Serdang, Sumatera Utara, pada Sabtu, 11 November lalu. Sepekan sebelum jadwal itu, persiapan sudah beres. Tuan rumah yang akan disinggahi memberi konfirmasi siap didatangi Ganjar.
Namun seorang kepala pemerintahan daerah mendatangi kepala desa tempat Ganjar bakal menginap dan meminta tak ada penduduk yang terlibat dalam kegiatan Ganjar. Politikus PDIP itu akhirnya bermalam di Pesantren Darularafah Raya, masih di Kabupaten Deli Serdang. Ganjar tak kunjung menanggapi permintaan konfirmasi yang dikirimkan ke nomor teleponnya hingga Sabtu, 25 November lalu.
Empat politikus PDI Perjuangan yang ditemui Tempo sepanjang pekan lalu bercerita, kader partai risau karena rentan berurusan dengan hukum. Terutama setelah rumah Sudin dan Vita Ervina digeledah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi PDIP itu diduga terlibat dalam kasus korupsi di Kementerian Pertanian dengan tersangka politikus Partai NasDem, Syahrul Yasin Limpo.
Juru bicara tim pemenangan Ganjar-Mahfud, Deddy Sitorus, mengakui ada intimidasi dan tekanan kepada para pendukung Ganjar agar tak hadir dalam acara-acara calon presiden mereka. Para elite partai, kata Deddy, juga menyampaikan kecemasan tiba-tiba berurusan dengan aparat hukum. “Terutama kader yang bersuara kritis,” ujarnya.
Di berbagai tempat, polisi juga sempat menyatroni kantor PDIP. Salah satunya di Solo, Jawa Tengah. Sejumlah aparat berseragam cokelat menyambangi dan memotret kantor partai merah itu di Jalan Hasanudin, Kecamatan Laweyan, Solo. Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDIP Solo Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo mengatakan patroli polisi ke markas partai tak wajar.
Kepala Kepolisian Resor Kota Surakarta Komisaris Besar Iwan Saktiadi membantah bila personelnya disebut mengintimidasi kader PDIP dengan mendatangi kantor mereka. “Kehadiran kami untuk memastikan lokasi tersebut aman,” kata lulusan Akademi Kepolisian 1998 itu.
Bukan hanya kubu Ganjar-Mahfud yang waswas, tim pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar juga mendapat tekanan serupa. Anies dijadwalkan menjadi pembicara dalam kuliah umum yang diadakan Indonesia Future dan Bersama Indonesia di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Jumat, 17 November lalu.
Calon presiden Anies Baswedan menghadiri Mujadalah Kiai Kampung,di Malang, Jawa Timur, 18 November 2023. Dok. Facebook Anies Baswedan
Sehari sebelum acara atau Kamis, 16 November 2023, pengelola lokasi menghubungi ketua panitia, Muhammad Khalid. Menurut dia, pemilik gedung meminta acara yang membahas pembangunan Jakarta itu dibatalkan jika Anies tetap menjadi pembicara. Khalid keberatan karena sudah memberitahukan konsep acara dan formasi pembicara yang hadir, termasuk Anies. Panitia juga sudah melunasi biaya sewa gedung.
Kepada Khalid, pengelola gedung mengaku perintah pembatalan acara datang dari Rektorat UGM. Selain itu, pemilik gedung dikontak oleh orang yang mengaku dari Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. “Sejak awal pengelola sudah mewanti-wanti soal acara di tahun politik,” tutur Khalid.
Anies akhirnya batal hadir. Dia digantikan oleh mantan Menteri Investasi, Thomas Trikasih Lembong. Thomas adalah co-captain Tim Nasional Anies-Muhaimin. Seorang kolega Anies menyebutkan jadwal acara mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebenarnya juga tak cocok dengan agenda diskusi di UGM. Namun tim Anies baru mengetahui larangan hadir di UGM beberapa waktu sebelum acara digelar.
Saat hari penyelenggaraan atau 17 November lalu, pengelola gedung mendatangi Khalid untuk membantu persiapan. Kepada Khalid, pengelola gedung ini mengaku menerima panggilan telepon dari tiga nomor tak dikenal. “Pesannya melarang acara yang dihadiri calon presiden,” kata Khalid.
Khalid dan tim juga menerima sejumlah panggilan telepon dan pesan dari nomor tak dikenal. Saat acara berlangsung, dua mobil polisi dari Polda Yogyakarta mendekati lokasi acara. Kendaraan itu membawa empat personel berseragam. Kepada Khalid, mereka bertanya soal kepastian Anies menjadi pembicara dan meminta susunan acara.
Sekretaris UGM Andi Sandi membantah jika lembaganya disebut melarang kehadiran Anies di kampusnya. Dia menyebutkan UGM sedang menelusuri orang yang disebut melarang diskusi yang diadakan Khalid dan lembaganya. “UGM tak melarang Anies ke almamaternya,” ucap Andi. Anies adalah lulusan Fakultas Ekonomi UGM tahun 1995.
Tak hanya dilarang berdiskusi, orang dekat Anies bercerita, mantan Rektor Universitas Paramadina itu juga pernah dibuntuti aparat penegak hukum saat menggelar tirakat di sejumlah kota di Jawa Tengah. Menurut narasumber yang mengikuti perjalanan itu, ada rombongan pria tak berseragam yang duduk dan ikut makan tak jauh dari Anies dan timnya. Mereka selalu berbicara dengan kepala menunduk dan sesekali memotret Anies memakai telepon seluler. Setelah dihampiri, mereka mengaku dari lembaga penegak hukum setempat.
Pendukung Anies-Muhaimin di daerah mendapat gangguan serupa. Ketua Go-Anies Jambi, Asari Syafei, bercerita, suatu kali ia ingin menggelar diskusi bersama pendukung Anies di sebuah kampus negeri di Jambi, tapi pihak kampus tidak mengizinkan. “Akhirnya dipindahkan ke kampus swasta,” ujar Asari. Go-Anies merupakan kelompok relawan pendukung Anies yang berisi kader Partai Golkar. Padahal Golkar pusat resmi mendukung Prabowo-Gibran.
Asari mengatakan spanduk dan baliho Go-Anies yang dipasang timnya di ruang publik dicopot orang tak dikenal. Dia juga pernah didatangi oleh penegak hukum saat mendeklarasikan dukungan kepada Anies pada Agustus lalu. Anies saat itu belum berpasangan dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. “Saya ditanyai alasan mendukung Anies, padahal Golkar sudah mendukung Prabowo,” tuturnya. Deklarasi dukungan kepada Anies membuat sejumlah pengerjaan konstruksi yang dijalankan perusahaannya tiba-tiba dihentikan atau ditunda.
Koordinator Nasional Go-Anies, Sirajuddin Wahab, mengatakan ada pola intimidasi serupa yang diterima pendukung Anies di berbagai daerah, yakni pembatalan diskusi, pelarangan mahasiswa hadir dalam acara diskusi, hingga pelarangan narasumber menghadiri acara dukungan kepada Anies Baswedan. “Itu sudah lama terjadi,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Egi Adyatama, Sahat Simatupang dari Medan, Shinta Maharani dari Bantul, dan Pito Agustin Rudiana dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Paranoia Sebelum Kampanye"