Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Banalitas Korupsi Daerah

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORUPSI di daerah sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Dalam beberapa tahun terakhir, ratusan kepala daerah, mantan kepala daerah, dan pejabat daerah diadili atau dihukum karena korupsi. Pada Juli-September 2010, Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menemukan 80 persen dari 113 kasus korupsi dilakukan oleh aktor lokal. Ironisnya, dalam kasus itu rata-rata vonis yang dijatuhkan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi hanyalah 1 tahun 5 bulan. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, hingga 2009, terdapat 33 ribu pengaduan kasus korupsi di 33 provinsi. Pengaduan terbanyak terjadi di Jawa dan Jakarta, disusul Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur. Fenomena ini adalah kabar buruk bagi penguatan daerah di era desentralisasi.

Jika melacak penyebabnya, sulit mengatakan korupsi daerah terjadi hanya karena keserakahan aktor lokal. Dalam banyak perkara, pemain pusat memainkan peran penting. Ramainya mantan anggota DPRD masuk bui karena korupsi disebabkan juga oleh gagalnya pemerintah pusat membangun model pembiayaan lembaga demokrasi di daerah dalam bentuk tunjangan dan gaji.

Kasus pengadaan pemadam kebakaran, ambulans, dan alat kesehatan adalah contoh paling nyata. Radiogram pemerintah pusat ”memaksa” pejabat daerah menghadiri pesta jamuan keserakahan korupsi. Sejumlah kepala daerah kini masuk bui karena penggelembungan anggaran.

Penyebab lain adalah distingsi dalam pemberian kewenangan pemerintah pusat kepada daerah dalam konsep otonomi khusus. Pemberian dana kepada daerah khusus dilakukan tanpa dilengkapi konsep pengawasan yang jelas.

Di lain pihak, penggunaan dana kampanye pemilihan kepala daerah yang tidak diikuti sistem pengawasan yang rapi menjadikan pemilu daerah itu sebagai ajang pemburu rente untuk mendapatkan proyek. Aktor-aktor pusat yang juga petinggi partai politik—di antaranya bahkan para menteri—sama sekali tidak punya komitmen terhadap penyehatan partai politik. Pemilihan kepala daerah menjadi ”pasar malam” yang akan menyediakan kebutuhan partai politik dengan ”harga miring”. Pemilu daerah menjadi penanda terbukanya ”kotak pandora” bagi berbagai modus koruptif untuk mengembalikan modal yang habis dalam ajang pemilihan itu.

Ironisnya, pusat seakan membiarkan pesta banal perilaku koruptif di daerah itu. Inpres Nomor 5 Tahun 2004 yang dikeluarkan pada awal tahun pertama periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak lebih menjadi macan kertas tanpa implementasi yang efektif. Banyak model program rancangan aksi nasional maupun strategi nasional untuk memberantas korupsi mandek karena salah sasaran atau salah akselerator dan implementator.

Dalam penanganannya, pemerintah lebih banyak menuding ”lantai yang terjungkit” daripada mengakui ”ketakpandaian menari”. Usul agar pemilihan langsung untuk memilih gubernur diganti penunjukan langsung bukan obat bagi ketidakmampuan elite negara membuat aturan dan menyelenggarakan pesta demokrasi secara lebih bermoral. Peningkatan posisi tawar gubernur terhadap bupati dan wali kota, jika tidak disertai mekanisme dan sistem pengawasan yang terintegrasi, boleh jadi hanya berujung pada peningkatan efektivitas pemerintah daerah merampok uang negara.

Keseriusan kejaksaan dan kepolisian menangani perkara korupsi juga banyak dipertanyakan. Keduanya adalah lembaga penegakan hukum yang paling lambat melakukan perbaikan dalam penanganan perkara korupsi. Di banyak daerah, kasus korupsi menjadi mesin uang bagi jaksa dan polisi. Lebih gawat lagi, pejabat negara yang punya kuasa memperbaiki polisi dan jaksa seakan tidak punya daya memperbaiki kedua lembaga kecuali menyebutkan remunerasi sebagai biang keladi kerusakan.

Sebetulnya, pemerintah pusat maupun daerah dapat menggunakan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan perbaikan. Beri KPK kesempatan agar menjadi akselerator, implementator, dan mentor dalam strategi nasional pemberantasan korupsi di daerah. KPK punya kapasitas legal untuk masuk ke semua lembaga negara dan melakukan evaluasi untuk pencegahan korupsi.

Namun pemanfaatan KPK tersebut tak kunjung dilakukan. Alih-alih memperbincangkan penguatan KPK di daerah—dengan membentuk perwakilan KPK di daerah sebagaimana diamanatkan Pasal 19 ayat 2 UU Nomor 30 Tahun 2002—DPR malah sok gagah mempersoalkan masa jabatan calon pengganti pemimpin KPK.

Andai kata itu dilakukan, banalitas korupsi daerah boleh jadi bisa ditekan.

Enam tahun SBY memerintah, tapi niat baik pemberantasan korupsi itu belum juga terlihat. Saya khawatir jangan-jangan persoalannya adalah ”pemerintah tidak mau” dan bukan ”pemerintah tidak mampu”—sesuatu yang menyebabkan pemberantasan korupsi hingga kini terbengkalai.

Zainal Arifin Mochtar
Pengajar FH UGM, Yogyakarta, dan Direktur PuKAT Korupsi FH UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus