Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pentingnya Jurnalisme Sensitif Bencana

SURAT ini saya buat untuk merespons pemberitaan sejumlah media, khususnya stasiun televisi berita TVOne, dalam memberitakan bencana Merapi. Saya berterima kasih atas perhatian media yang besar terhadap bencana Merapi. Hanya beberapa pemberitaan yang terjadi saat ini justru merisaukan dan ini perlu didengar oleh Komisi Penyiaran Indonesia daerah ataupun pusat.

Media dalam konteks bencana seharusnya memberikan efek positif, baik kepada masyarakat maupun korban bencana itu sendiri, dengan prinsip jurnalisme sensitif bencana. Peran media pada saat dan pascabencana adalah memberikan informasi dan data yang akurat. Dalam konteks bencana—apa pun bencananya, tidak hanya Merapi—harus diketahui bahwa informasi yang disampaikan akan diakses oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan latar belakang pendidikan berbeda, khususnya masyarakat korban dengan trauma psikologis.

Bila terjadi kesalahan informasi, masyarakat yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang relevan atas isu pasti dapat mengatasi hal ini. Informasi akan dapat dianalisis dan kepanikan dapat segera diatasi. Tapi bagaimana dengan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan tersebut? Saya rasa kita pun tidak menginginkan terjadinya kepanikan di masyarakat yang tentu saja akan mengganggu kelancaran proses penanganan bencana itu sendiri.

Beberapa berita menampilkan wawancara dengan korban, yang sayangnya kurang menerapkan prinsip sensitivitas. Formulasi pertanyaan yang disampaikan juga tidak matang dan terkesan ”hantam kromo”. Terkesan bahwa manajemen redaksi media itu tidak membekali reporter dengan riset dan data sosial sebelumnya. Dramatisasi dan konstruksi berita terjadi dengan porsi yang berlebihan hingga mengesampingkan kondisi lingkungan sekitar. Misalnya saja dengan melakukan reportase di dalam tenda pengungsian.

Saya tidak melihat ini sebagai kesalahan personal, tapi masalah manajemen. Karena itu, melalui surat pengaduan kepada Komisi Penyiaran, saya meminta Komisi memberikan teguran keras kepada pemimpin redaksi dan manajemen stasiun televisi tersebut. Komisi juga saya minta mengimbau stasiun televisi lainnya soal pentingnya jurnalisme sensitif bencana.

Reporter, cameraman, produser, editor, dan gatekeeper yang terlibat dalam peliputan dan penayangan berita bencana perlu dibekali pemahaman tentang mainstreaming disaster risk reduction, mulai mitigasi, respons, sampai rekonstruksi.

Mengingat Indonesia adalah kawasan yang rentan akan bencana, mungkin bisa segera dipikirkan oleh KPI agar semua media certified tentang kebencanaan. Saya kira kerja sama untuk hal ini bisa dilakukan dengan menggandeng beberapa pihak terkait, misalnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, serta Forum Pengurangan Risiko Bencana.

Rachma Safitri Yogasari
Warung Marhaen Jalan Iromejan Nomor 7, Yogyakarta 55222

Andi Arief Melecehkan Umat Kristiani

SAYA kecewa atas pernyataan Saudara Andi Arief, Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam, seperti yang dimuat dalam Tempo edisi 25-31 Oktober 2010, halaman 29, kolom kedua. Dia mengatakan, ”Kalau tahu kondisi anggaran kami, Yesus pun bisa menangis.”

Mengapa urusan dana cekak kok membawa-bawa Yesus segala? Apa hubungannya? Seolah-olah Saudara Andi ingin menganalogikan Yesus tidak mau bekerja kalau dananya minim. Pernyataan ini menyakitkan dan melukai perasaan jutaan penganut kristiani di Indonesia. Coba Anda sebut tokoh agama lain, pasti sudah lain ceritanya.

Mohon Saudara Andi berlaku sebagai gentleman, memohon maaf sebelum ada reaksi yang akhirnya merugikan Anda dan Presiden.

Edi Vinsensius
Jalan Budi Utomo, Pontianak
081345339***

Mangkunegoro Bukan Raja

LAPORAN Tempo edisi 1-7 November 2010 berjudul ”Seorang Panglima Bernama Rubiyah” sangat menarik. Tapi keterangan tentang sosok Mangkunegoro dan juga Praja Mangkunegaran kurang akurat sehingga perlu diluruskan agar tidak menyesatkan masyarakat.

Sesuai dengan hasil perundingan perdamaian di Salatiga pada 1757, maka diputuskan RM Sahid menerima pembagian sejumlah tanah di wilayah Surakarta yang boleh dia kelola untuk kediaman serta jaminan hidupnya sekeluarga. Selain itu, dia berhak memakai gelar pangeran adipati serta menyelenggarakan pemeritahan berikut merekrut pasukan pengawal tersendiri.

Dengan demikian, Mangkunegaran merupakan wilayah otonomi khusus dalam lingkungan Surakarta. Mangkunegoro bukan raja, maka dia tidak boleh membangun keraton serta memiliki lambang kewibawaan raja, semisal singgasana berikut menanam dua pohon beringin kembar di depan kediamannya.

Sebagai penggantinya, dia mempunyai kewajiban secara rutin menghadap Sri Susuhunan Pakubuwono (Raja Solo), tanpa harus duduk di lantai seperti para bupati dan abdi dalem. Mangkunegoro, sebagaimana Gubernur Belanda, boleh duduk di kursi di samping Sunan, yang pada kesempatan tersebut duduk di singgasana.

Julius Pour
Eks SR Siswa II, Mangkunegaran, Solo, Jalan Cut Nyak Dhien II FF2 Nomor 5, Bintaro Jaya Sektor VI, Tangerang  

Menagih Janji Menteri Pendidikan

SURAT ini saya tujukan kepada Menteri Pendidikan Nasional. Saya adalah salah satu pemenang lomba esai ”Menjadi Indonesia” yang diselenggarakan Tempo Institute. Judul esai saya adalah ”Kamuflase Prestasi Pendidikan: Ke Mana Anak-anak Pintar Itu?”.

Judul ini merupakan ekspresi hati saya yang meradang melihat nasib mahasiswa-mahasiswa berprestasi Indonesia yang kurang diperhatikan pemerintah. Beberapa bulan lalu, saya mendapatkan Award Young Scientist dari Amerika Serikat dan medali emas di ajang Program Kreativitas Mahasiswa. Namun seakan-akan itu hanya kamuflase.

Saya mengirimkan proposal bantuan dana ke Direktorat Pendidikan Tinggi untuk membantu dana saya sebagai perwakilan Indonesia di International Conference Ecobalance Tokyo, Jepang, pada 9-12 November 2010. Namun sampai saat ini belum ada tanggapan. Padahal konferensi tinggal beberapa hari lagi. Saya pun sudah pasrah akan jadi berangkat atau tidak.

Bapak Menteri M. Nuh pernah berucap di media bahwa siapa pun yang berhasil mengharumkan nama bangsa akan mendapat beasiswa sampai S-3 di universitas mana pun. Karena itu, pendidikan doktoral akan kami jadikan prioritas nantinya. Nah, saya ingin menagih janji Bapak Menteri. Jika Indonesia tidak cinta lagi kepada kami ini, ke mana lagi kami meminta bantuan?

Siska Aditya
Universitas Gadjah Mada
+6285729549***


RALAT

  • Dalam rubrik Obituari Tempo edisi 25-31 Oktober 2010, tertulis: pelepasan jenazah Letnan Jenderal Himawan Soetanto di RSPAD Gatot Soebroto dilakukan oleh KSAD Jenderal George Toisutta. Yang benar: oleh Panglima Kostrad Letnan Jenderal Burhanudin Amin.

  • Dalam Laporan Utama Tempo edisi 25-31 Oktober 2010 berjudul ”Kisah Orang-orang Istana”, tertulis: Ahmad Yani Basuki. Yang benar: Brigadir Jenderal Ahmad Yani Basuki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus