Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bandot

Pengertian penjahat dipersempit oleh suatu kepentingan kekuatan. kelak bisa terjadi, siapa yang dianggap menjadi sumber keresahan rakyat bisa ditikam dari belakang. rupanya ini bukan jalan keluar.

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN senjata rantai kalung tak sukar aku mengatasi keempat Bandot yang menggenggam pedang ini. Dalam waktu tak sampai sepenginangan, kalau aku mau, bisa kubereskan mereka. Tapi aku bukan pembunuh: mereka sekadar kudesak mundur. Tapi kemudian, tatkala mereka lenyap ke sebuah remang gang, aku dihadang oleh beberapa lelaki lain. Seorang membawa busur dan puluhan anak panah, lainnya memegang pisau berkilat. Aku tahu persis siapa lelaki terdepan itu. Ia bekas anggota Prajurit Khusus yang dilatih langsung oleh Sang Maha Patih Gajah Mada. Tentu saja ia luar biasa. Namun tak sempat aku berpikir: sebuah anak panah terlontar dan menancap di paha kiriku, kemudian sebuah lagi dan sebuah lagi dan seterusnya sampai aku ambruk, dan akhirnya ketika nyawaku memisahkan diri dari tubuhku aku hitung tusukan dan tancapan luka itu tak kurang dari 18 buah. Ini kehormatan luar biasa bagiku, karena dengan satu anak panah saja aku sudah bisa mati. Darah menggenang, meresapi bumi: aku duduk di udara menyaksikan onggokan tubuhku yang sengsara. Hanya terdengar suara sunyi dan sedikit bisikan orang-orang sekitar yang menutup pintu rapat-rapat. Sementara para pembunuhku melepaskan keringat dan rasa tegangnya sambil bergemeremang tertawa. Dan ketika tengah malam menjelang, sebuah pedati Kerajaan tiba, tubuhku dilemparkan ke atasnya, dibawa ke suatu tempat, digeletakkan sampai esok paginya, beribu semut mengerumunmya, dan siang harinya dikuburkan di kampungku oleh beratus sinar mata yang penuh tanda tanya. Masyarakat Kota Gresik gempar, dan beberapa hari kemudian seluruh rakyat wilayah Kerajaan Majapahit mendengarnya dan memperbincangkannya tak henti-henti. Kerajaan mengumumkan bahwa seorang Bandot pemeras telah terbunuh karena melawan. Hari-hari berikutnya memuat berita lanjutan kematian Bandot demi Bandot -- manusia paling buruk di mata rakyat maupun Kerajaan. Keempat Bandot yang berkelahi denganku itu ternyata umpan. Dan ternyata mereka tidak termasuk Bandot macam aku dan sekian lain yang terdaftar untuk dilenyapkan, atas perintah Kepala Keprajuritan Wilayah Gresik. Banyak rakyat bersukaria: mampuslah kalian, manusia-manusia binatang yang hanya untuk sekeping uang tega membunuh orang! Modarlah kamu para penarik pajak liar, para perampok, maling, penyiksa hati rakyat! Tapi berapa orang berkata dingin: Para perampok yang sebenarnya, mungkin, tersembunyi di balik kelambu. Apa batasan Bandot? Lihatlah, yang didaftar itu hanya Bandot-bandot tertentu. Ranggalawe mungkin cukup hanya disingkirkan, tapi yang lebih rendah darinya tak banyak risiko untuk dihilang sama sekalikan. Batasan Bandot telah dipersempit oleh suatu kepentingan kekuatan: Dan besok pagi, mungkin justru diperluas: siapa pun yang dihitung bisa menjadi sumber keresahan rakyat bisa ditikam dari belakang. Cantrik suatu perguruan persilatan bisa dibandotkan. Pengamen yang menyanyikan kebenaran bisa dibandotkan. Sebab persoalannya tidak pada Bandot atau bukan Bandot. Dalam keadaan ekonomi Majapahit yang sedang merosot perimbangannya, Kerajaan tak mau ambil risiko. Tidak! -- kata beberapa orang itu. Ini bukan jalan keluar. Ini hanya hiburan kecil untuk beberapa saat. Dalam susunan keadaan kemasyarakatan yang begini, Bandot-bandot akan tetap dilahirkan, dan pelenyapan Bandot-bandot ini bisa justru merupakan pelajaran bagus untuk ilmu perbandotan selanjutnya. Suatu hari, kebijaksanaan ini bisa malah menjadi bumerang. Memang ini suatu lingkaran setan -- sahut beberapa kelompok lain -- tetapi sebaiknya Kerajaan memakai cara yang sehat untuk mengatasinya. Sebab buntut keadaan biasanya panjang, dan akhirnya rakyat banyak juga yang disengsarakan. Aku sendiri tak pernah berkata apa-apa. Sesekali kujenguk rumah keluargaku yang menangis panjang. Di saat lain aku bertengger di genteng rumah keluarga Bandot-bandot yang wafat, mendengarkan lontaran-lontaran penyesalan dan dendam yang bertumbuh subur diam-dlam. Suatu malam, aku menyaksikan Gajah Mada kaget dan tertegun mendengar tindakan bawahannya itu, meskipun kebetulan telah dipindahtugaskannya. Kuamati baik-baik air mukanya: banyak hal kusyukuri, banyak hal kusesali, tapi kutangkap dari wajahnya yang makin menua itu suatu kesadaran kecil. Bahwa manusia sebenarnya tidak terlampau sederhana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus