DENGAN senjata rantai kalung tak sukar aku mengatasi keempat
Bandot yang menggenggam pedang ini. Dalam waktu tak sampai
sepenginangan, kalau aku mau, bisa kubereskan mereka. Tapi aku
bukan pembunuh: mereka sekadar kudesak mundur. Tapi kemudian,
tatkala mereka lenyap ke sebuah remang gang, aku dihadang oleh
beberapa lelaki lain. Seorang membawa busur dan puluhan anak
panah, lainnya memegang pisau berkilat.
Aku tahu persis siapa lelaki terdepan itu. Ia bekas anggota
Prajurit Khusus yang dilatih langsung oleh Sang Maha Patih Gajah
Mada. Tentu saja ia luar biasa. Namun tak sempat aku berpikir:
sebuah anak panah terlontar dan menancap di paha kiriku,
kemudian sebuah lagi dan sebuah lagi dan seterusnya sampai aku
ambruk, dan akhirnya ketika nyawaku memisahkan diri dari tubuhku
aku hitung tusukan dan tancapan luka itu tak kurang dari 18
buah. Ini kehormatan luar biasa bagiku, karena dengan satu anak
panah saja aku sudah bisa mati.
Darah menggenang, meresapi bumi: aku duduk di udara menyaksikan
onggokan tubuhku yang sengsara. Hanya terdengar suara sunyi dan
sedikit bisikan orang-orang sekitar yang menutup pintu
rapat-rapat. Sementara para pembunuhku melepaskan keringat dan
rasa tegangnya sambil bergemeremang tertawa. Dan ketika tengah
malam menjelang, sebuah pedati Kerajaan tiba, tubuhku
dilemparkan ke atasnya, dibawa ke suatu tempat, digeletakkan
sampai esok paginya, beribu semut mengerumunmya, dan siang
harinya dikuburkan di kampungku oleh beratus sinar mata yang
penuh tanda tanya.
Masyarakat Kota Gresik gempar, dan beberapa hari kemudian
seluruh rakyat wilayah Kerajaan Majapahit mendengarnya dan
memperbincangkannya tak henti-henti. Kerajaan mengumumkan bahwa
seorang Bandot pemeras telah terbunuh karena melawan. Hari-hari
berikutnya memuat berita lanjutan kematian Bandot demi Bandot --
manusia paling buruk di mata rakyat maupun Kerajaan. Keempat
Bandot yang berkelahi denganku itu ternyata umpan. Dan ternyata
mereka tidak termasuk Bandot macam aku dan sekian lain yang
terdaftar untuk dilenyapkan, atas perintah Kepala Keprajuritan
Wilayah Gresik.
Banyak rakyat bersukaria: mampuslah kalian, manusia-manusia
binatang yang hanya untuk sekeping uang tega membunuh orang!
Modarlah kamu para penarik pajak liar, para perampok, maling,
penyiksa hati rakyat! Tapi berapa orang berkata dingin: Para
perampok yang sebenarnya, mungkin, tersembunyi di balik kelambu.
Apa batasan Bandot?
Lihatlah, yang didaftar itu hanya Bandot-bandot tertentu.
Ranggalawe mungkin cukup hanya disingkirkan, tapi yang lebih
rendah darinya tak banyak risiko untuk dihilang sama sekalikan.
Batasan Bandot telah dipersempit oleh suatu kepentingan
kekuatan: Dan besok pagi, mungkin justru diperluas: siapa pun
yang dihitung bisa menjadi sumber keresahan rakyat bisa ditikam
dari belakang. Cantrik suatu perguruan persilatan bisa
dibandotkan. Pengamen yang menyanyikan kebenaran bisa
dibandotkan. Sebab persoalannya tidak pada Bandot atau bukan
Bandot. Dalam keadaan ekonomi Majapahit yang sedang merosot
perimbangannya, Kerajaan tak mau ambil risiko.
Tidak! -- kata beberapa orang itu. Ini bukan jalan keluar. Ini
hanya hiburan kecil untuk beberapa saat. Dalam susunan keadaan
kemasyarakatan yang begini, Bandot-bandot akan tetap dilahirkan,
dan pelenyapan Bandot-bandot ini bisa justru merupakan pelajaran
bagus untuk ilmu perbandotan selanjutnya. Suatu hari,
kebijaksanaan ini bisa malah menjadi bumerang.
Memang ini suatu lingkaran setan -- sahut beberapa kelompok lain
-- tetapi sebaiknya Kerajaan memakai cara yang sehat untuk
mengatasinya. Sebab buntut keadaan biasanya panjang, dan
akhirnya rakyat banyak juga yang disengsarakan.
Aku sendiri tak pernah berkata apa-apa. Sesekali kujenguk rumah
keluargaku yang menangis panjang. Di saat lain aku bertengger di
genteng rumah keluarga Bandot-bandot yang wafat, mendengarkan
lontaran-lontaran penyesalan dan dendam yang bertumbuh subur
diam-dlam.
Suatu malam, aku menyaksikan Gajah Mada kaget dan tertegun
mendengar tindakan bawahannya itu, meskipun kebetulan telah
dipindahtugaskannya. Kuamati baik-baik air mukanya: banyak hal
kusyukuri, banyak hal kusesali, tapi kutangkap dari wajahnya
yang makin menua itu suatu kesadaran kecil. Bahwa manusia
sebenarnya tidak terlampau sederhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini