Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Syiah: bayangan sebuah jembatan

Pengarang: syarafuddin al-musawi penerjemah: muhammad al-baqir bandung: mizan, 1983 resensi oleh: syu'bah asa. (bk)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIALOG SUNNAH SYI'AH Oleh: Syarafuddin al-Musawi Penerjemah: Muhammad al-Baqir Penerbit: Mizan, Bandung, cet. 11983, 538 hlm + index KALAU saja Reza Pahlevi tidak terguling, dan kaum Syi'ah tidak berkuasa di Iran, dunia tidak akan "tiba-tiba teringat" mazhab ini. Syi'ah, di tengah kaum muslimin selebihnya, ditaksir berjumlah sekitar 10%. Namun penyebab keterpisahan mereka dari mayoritas memang khas. Bermula dari kekalahan Ali, menantu Nabi Muhammad, dalam perebutan kekuasaan beberapa masa setelah wafat Nabi, para pengikutnya terpaksa berlindung dari pengejaran musuh-musuhnya (dinasti-dinasti Umaiyah dan Abbasiah) yang berangkat dari motif semata duniawi. Dan bila dalam dunia yang dikuasai para musuh politik itu dilakukan kemudian pengembangan ajaran dalam semangat yang harus dikatakan, bebas dari politik golongan, di kalangan Syi'ah politik dan agama manunggal dalam pengharapan "di bawah tanah" akan sebuah dunia yang lebih indah. Itulah dunia yang diterangi cahaya kepemimpinan Nabi -- seperti yang diwakili oleh para turunan. Karena itu, sementara di kalangan Sunni kepemimpinan umat -- siapa yang menjadi pemimpin -- hampir semata masalah duniawi, dalam Syi'ah soal itu diyakini sebagai sudah ditentukan dari Nabi, dan merupakan bagian dari ajaran baku. Itulah salah satu pokok dialog dalam buku ini. Bukan masalah baru, dengan begitu. Lagi pula pembicaraan ini, dirupakan dalam 112 pucuk surat, dilakukan sekitar 70-an tahun lalu. Tapi inilah publikasi yang sangat jarang dari pendekatan Sunnah-Syi'ah dalam bentuk dialog. Alasan-alasan kalangan Syi'ah sendiri, di sini diwakili oleh seorang ulama besarnya dari Libanon, yang diberikan kepada seorang rektor Al-Azhar Mesir, tentu lebih berharga dari telaah "pihak lain" -- Sunni. Bahwa sang rektor, Syaikh Salim al Bisyri al-Maliki, di situ bertindak sebagai penanya -- lagi pula, seperti disebut dalam pengantar, dialog itu sendiri terjadi setelah pertemuan kedua ulama secara kebetulan di segi lain menunjukkan bahwa jurang politik berabad-abad yang kemudian berubah menjadi dinding keagamaan itu seolah baru di masa paling akhir saja disadari. Yang dilakukan sang rektor itu bagai "mengecek kembali" anggapan-anggapan klasik. Himpunan surat ini memang akhirnya seperti buku pelajaran. Di antara hal yang tetap saja belum begitu dipahami muslimin Sunni umumnya, ialah pegangan Syi'ah kepada 'keturunan Nabi' sebagai sumber ajaran -- di samping Quran. Ke dalam pengertian itu termasuk hadis-hadis Rasul yang hanya boleh didapat lewat para ulama yang berhimpun di sekitar para imam resmi, yang dimulai dari Ali dan berakhir pada imam ke-12. Argumen mereka untuk itu ialah sabda Nabi -- yang tidak populer di kalangan Sunni -- yang menyatakan Nabi meninggalkan bukan "Kitab Allah dan sunnah (tradisi)ku", melainkan "... dan keturunanku" atau "penghuni rumahku". Inilah jawaban pertama Seyd Musawi kepada pertanyaan sang rektor: mengapa kaum Syi'ah tidak memegangi mazhab-mazhab yang diakui mayoritas ulama besar sejak dahulu: Asy'ariah di bidang theologi, dan mazhab empat misalnya di bidang fiqh. Maka diberikanlah berpuluh hadis yang menerangkan keutamaan Saidina Ali, serta berbagai ayat yang secara khas diterangkan sebagai -- dilihat dari 'sebab turun'-nya, asbabun nuzul -- berhubungan dengan keluarga Nabi. Sang rektor memang mengemukakan "pendapat orang-orang" (demikianlah, ia tidak menyangkal langsung) bahwa tingkat keaslian hadis maupun berita tentang latar belakang ayat itu, oleh penyelidikan kalangan Sunni, umumnya dinilai rendah. Sebaliknya Seyd Musawi mendaftarkan tak kurang dari 100 rawi (pembawa berita hadis) dari kalangan Syi'ah yang justru dipakai kalangan Sunni. Memang, Bukhari misalnya, yang terkenal akurat dan mengambil dari siapa saja yang diyakininya jujur, tidak memuat banyak "hadis Syi'ah". Juga peneliti besar Sunni yang lain, Muslim. Sayang tidak ada pembicaraan tentang, misalnya saja, "seberapa jujur" sebenarnya Bukhari atau Muslim. Atau mengapa sampai para sarjana yang dikenal adil itu -- yang misalnya, seperti Bukhari, sengaja mengambil jarak dari sultan dan pemerintah untuk bisa tetap obyektif -- "tidak tahu" hadis-hadis tersebut. Tentang itu Seyd Musawi hanya menyebut secara umum "iklim politik di masa-masa lampau". Sedang Syekh Maliki malah menghindari pembicaraan lebih lanjut tentang keaslian berbagai hadis Syi'ah dengan menyatakan, bahwa berbagai hadis tentang keutamaan Ali dan keluarga Nabi itu sebenarnya hanya mengajar kita agar memuliakan mereka. Dengan kata lain tak ada hubungannya dengan soal kemutlakan kepemimpinan umat. Baru dalam beberapa hadis yang secara sangat mengikat menyatakan "pelimpahan kekuasaan" Nabi kepada Ali, pembicaraan menjadi sedikit panjang. Hanya memang terasa kesengajaan menghindar pada sang Sunni itu, sesuai dengan maksudnya yang agaknya memang "menjajaki kemungkinan". Tambahan lagi kaum Sunni sendiri memang sama sekali bukan "musuh" Ali atau keluarga Nabi. Dan di sini sikap kompromistis Sunni tampak: sementara Syi'ah dengan sadar memilih antara Ali dan tiga yang lain (Abubakar, Umar, Utsman), sehubungan dengan penggantian Nabi sebagai pemimpin duniawi, bagi Sunni keempat orang khulafa rasyidun itu samasama harus dianggap sah. Bahkan pun Mu'awiah, yang merebut kepemimpinan Ali, tidak pernah secara resmi mereka salahkan. Apalagi Aisyah, istri Nabi yang berperang dengan Ali. Hanya sikap "netral" itu tiba-tiba menjadi tampak "tidak berbobot" ketika sang rektor menghadapi pertelaan Seyd Musawi tentang tindakan Umar menjelang wafat Nabi. Sebagai bukti pernyataan bahwa para sahabat di luar Ali tidak sepenuhnya mengikuti perintah Nabi, dan itu merupakan cela, sang ulama Syi'ah mengemukakan hadis -- yang juga diriwayatkan Bukhari dan Muslim -- tentang Umar yang melarang orang lain mengambilkan kertas untuk Nabi, agar bisa dituliskan wasiat. Alasan Umar: Nabi sedang sakit keras, dan "kita sudah punya Kitabullah". Bagaimana penilaian Pak Rektor? Di situ sang Sunni menjawab dengan berputar-putar. Dan sambil tidak menolak peristiwa itu benar terjadi, akhirnya: "kita tidak mampu mengetahui tingkat kebenarannya secara mendalam dan terperinci" (hlm. 400). Dan itulah memang salah satu ciri Syi'ah: mereka memandang kehidupan generasi pertama Islam secara kritis, sementara golongan Sunnah justru menghindari sikap itu yang menarik: penghindaran semangat 'menilai' itu, yang digerakkan oleh kemauan bertindak adil dan larangan Nabi dari mencela para Sahabat, pada gilirannya menyebabkan satu hal. Yakni: tidak dimasukkannya berbagai tindakan para Sahabat yang "berbeda" dari ketentuan Nabi, ke dalam dasar pertimbangan hukum. Dari Umar, yang oleh Nabi sendiri dihargai sebagai seakan-akan juga seorang nabi, "andaikata ada nabi setelah aku", 'kebijaksanaan baru' seperti itu cukup banyak didapat. Tapi juga dari Ali. Tindakan mereka itu hampir tak pernah dihargai sebagai, misalnya, pembanding cara kita memandang Quran dan Sunnah, tradisi Nabi. Melainkan semata sebagai 'pendapat', yang kedudukannya di bawah Quran dan Sunnah. Dialog ini dilakukan dengan sangat takzim, penuh sanjungan dan basa-basi. Dan diakhiri dengan sikap "koeksistensi damai". Pertanyaan yang rupanya tetap dibiarkan tergantung, yang justru disiratkan di awal dialog, adalah ini: dapatkah kedua mazhab mencapai titik temu -- lebih-lebih mengingat bahwa dalam syari'at, seperti dinyatakan Seyd Musawi, sebenarnya perbedaan keduanya tidak lebih besar dari perbedaan antara mazhab-mazhab Sunni sendiri. Benar, di kalangan Suni bukan tidak terdapat kitab-kitab fiqh yang memuat sekaligus rumusan hukum lima mazhab: empat Sunni dan satu Syi'ah (Ja'fari). Dan itu menunjukkan "persatuan". Toh Syi'ah tidak hanya berarti fiqh. Justru "subtheologi"nya sekitar imam-imam resmi itulah, dengan implikasinya pada soal kepemimpinan keagamaan umat, yang menyebabkan untuk keperluan "pembauran" orang merasa perlu dengan sengaja membuat jembatan. Munculnya Syi'ah dalam pemerintahan Iran, dalam pada itu, ada ditanggapi oleh setengah muslimin Sunni sebagai mewakili diri mereka juga. Dan itulah memang yang sering disangka orang sebagai faktor yang menentukan. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus