Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Teguh dan apik dalam karya

Profil dan kehidupan teguh karya. mulai terjun di film th 1958. memegang 4 citra untuk penyutradaraan. (tk)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEGUH Karya itu tidak pernah melucu. Sutradara film ini, yang baru saja meraih Piala Citra untuk kesekian kalinya, memang tidak hanya sibuk shooting. Ia suka menyirami pot tanaman hias, juga memelihara anjing, di samping memimpin latihan dan rapat. Hanya saja tak pernah bercanda, walau ada waktu istirahat. Main kartu, nonton sepak bola, tinju, bulu tangkis, no. Walau ada geger apa saja di layar tv, ia tidak bergeming. Tubuhnya semampai, pakaiannya rapi, rambutnya sebagian jatuh ke gagang kaca mata di wajahnya, dan dari mulutnya mengepul asap. Ia perokok berat. Teguh "baru" menghasilkan sembilan film -- termasuk filmnya yang pertama, Wajah Seorang Laki-laki, 1971. Film ini selain tidak laku di pasaran, dianggap ruwet. "Yang lebih tidak menyenangkan, waktu itu sebagian besar produser berkomentar, kalau bikin film yang tidak laku serahkan pada Teguh Karya," kata lelaki ini. Teguh, yang biasa dipanggil akrab Steve, terpukul. Terutama karena Teater Populer yang dipimpinnya ikut memodali 40O film Wajah itu. Dan modal tak kembali. Setahun lebih ia mempelajari kelemahan film perdananya. Dan keluarlah film kedua 1973, Cinta Pertama. Lewat FFI Surabaya 1974, Cinta Pertama menyabet dua Citra untuk aktris terbaik, Christine Hakim, dan penyutradaraan terbaik. Sejak itulah nama Teguh Karya diperhitungkan. Dari sembilan film yang disutradarainya kini terkumpul 35 citra. Teguh sendiri memegang empat citra untuk penyutradaraan lewat Cinta Pertama, Ranjang Pengantin, November 1828 dan Di Balik Kelambu. November dan Kelambu masing-masing pengumpul piala citra terbanyak, enam buah. Satu filmnya yang juga gagal di FFI adalah film keenam, Perkawinan Dalam Semusim. Komentar Teguh sendiri tentang film-film yang kuat dan apik itu: Jika saja kita banyak memiliki film yang baik, film saya sebenarnya tak masuk hitungan." Bagus. Tapi ada satu film yang sudah dimainkannya di tahun 1933. Tanggal 22 September, di sebuah desa kecil 6 km dari Pandeglang, Banten, seorang bayi lahir dengan tubuh terbungkus ari-ari. Lehernya terjerat. Ia tak bisa menangis. Konon pula, dukun yang menolong persalinan itu kesurupan. "Ari-ari saya katanya dibawa lari seekor kucing," kata Teguh mengenang. Nah, "itulah film saya yang pertama". Bayi itu diberi nama Liem Tjoan Hok. Ia, anak pertama dan abang dari empat adik, datang dari keluarga pedagang yang di desa itu paling berada. Karena itulah papahnya membelikan sepatu untuk dipakai ke sekolah. Hanya saja, seperti pernah dituturkan kepada kawannya, di jalan sepatu itu ia simpan -- di atas pohon. Dia datang ke sekolah dengan kaki telanjang, seperti kawan-kawannya anak desa. Tjoan Hok itu dari kecil memang sudah "sadar lingkungan", tepa salira. Dan karena itu pula ia pernah ditabrak delman. "Saya jatuh dan terkapar di bawahnya". Gara-garanya: ia meleng karena tertarik pada seorang geisha (geisha betulan atau bukan, tapi ini di zaman Jepang) yang sedang berdandan dan memolesi wajahnya. Karena sadar lingkungan, maka ketabrak. Tapi perhatian Teguh pada sekeliling memang kuat, dan ia sendiri merasa film-filmnya berangkat dari sana. Perkenalannya dengan film terjadi tahun 1958. Ia magang di PFN, mengerjakan film dokumenter. Bahkan ikut membintangi Jenderal Kancil (1958) yang disutradarai Nya' Abbas Acub dan Mak Comblang (1960) dengan sutradara D. Djajakusuma. Lalu Sembilan (1967), film berwarna, di bawah Wim Umboh. "Dari ketiga film itu saya bisa membeli skuter yang saya pakai sampai sekarang," tuturnya. Tentu saja wajah skuter itu sudah compang-camping, tapi Teguh memelihara dengan baik, seperti ia memelihara ketiga anjing dan puluhan tanaman hiasnya. Dunia teater digelutinya lebih awal lagi. Waktu kecil ia bermain drama di gereja. Tahun 1955 datang ke ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), tapi hanya berstatus "mahasiswa pendengar" karena belum tamat SMA. Padahal ia memang keluar dari SMA, di kelas 2, karena bosan. Ia murid yang bodoh -- walaupun penurut. Tak suka Ilmu Pasti. Sukanya bertanam bunga. Tapi karena di ATNI merasa "didiskriminasi", terpaksa ia kembali ke SMA. Orangtuanya ingin dia jadi pendeta. Dan akhirnya seorang adiknyalah yang mewujudkan keinginan itu. Steve sendiri, demikian nama Kristennya, merasa lebih dekat pada pohon-pohonan, dan karena itu mengira cocok meneruskan sekolah ke Fakultas Pertanian Bogor yang waktu itu masih di bawah UI. Ternyata hanya tahan setahun. Pindah ke Fakultas Peternakan. Belum setahun sudah bosan lagi. Lalu kembali ke ATNI, kali ini tentu saja bukan sebagai "pendengar". Itulah sekolah yang rupanya cocok dengan panggilan hidupnya: lewat teater dan film ia nanti akan muncul sebagai pribadi yang teguh. Tahun itu pula, 1957, ia menyutradarai untuk pertama kalinya pementasan drama dengan pemain anak-anak ATNI. "Judulnya Taufan. Karya siapa saya sudah lupa," katanya. Pementasan enam hari yang dilakukan di Gedung Kesenian Pasar Baru itu dinilai kawan-kawannya sebagai "suatu pembaharuan". ATNI menugasi Teguh menjadi pembina acting workshop. Baru jalan enam bulan, workshop dibubarkan dengan alasan tak jelas. Pesertanya, seperti Slamet Raharjo, Tuti Indra Malaon, Silvia Widiantono, Riantiarno, Franky Rorimpandey, Henky Sulaiman, Boyke Roring, pada kecewa. Dan kekecewaan inilah yang melahirkan Teater Populer, 1968. Lalu Teater Populer pun bermain di Hotel Indonesia secara tetap 'grup perjuangan' pertama di Jakarta waktu itu, yang sukses dalam membangun penonton. Sampai tahun 1972, ketika direksi memutuskan HI "hanya menjual makanan dan tempat tidur". Bukan panggung. Teater Populer berhenti, dan Teguh berhenti juga dari jabatan penata artistik panggung di sana. Ia mengalihkan pementasan ke TIM, yang juga berdiri 1968. Syukur, hasil di HI bisa dipakai untuk membeli rumah di Kebon Kacang yang kemudian dijadikan sanggar Teater Populer. "Dari sanggar Kebon Kacang inilah lahir film-film saya, yang menyebabkan teater saya terbengkalai." Maka bala tentara Teguh di film itu pun bala tentara Teater Populer. Tak berarti ia tak mau memakai bintang lain. Nama-nama seperti Yenny Rachman, Herman Felani, Yessi Gusman, Roy Marten, Rachmat Hidayat dan banyak lagi, berasal dari luar. Dan dari kerja keras Teguh di dunia film pula lahir para sutradara muda: Slamet Rahardjo, Franky Rorimpandey, Henky Sulaiman, Ishaq Iskandar. Sanggar itu, bangunan kuno yang konon berusia 200 tahun, berhalaman luas dan lama tak dihuni orang, dikabarkan ada setannya. Tapi "sudah satu tahun saya tinggal di sini, saya belum ketemu setan," kata Teguh tenang, sama sekali tanpa gurau. Setan mudah-mudahan tidak ada. Tetapi tetangga kiri-kanan sering dikagetkan suara lengkingan atau maki-makian di sekitar subuh, yang datang dari rumah kuno ini. Mereka hampir saja protes, setelah tahu yang teriak bukan setan tetapi perempuan cantik. Itulah Christine Hakim, yang paling getol latihan vokal pagi hari. Teguh Karya lalu mendatangi tetangga, menjelaskan panjang lebar. Dan kenyataannya sanggar itu diterima di tengah perkampungan pcnduduk yang padat. Bahkan 27 Mei lalu orang-orang di situ pada datang sehabis salat Jumat. Mereka menghadiri syukuran atas keberhasilan film Di Balik Kelambu, dan pengumuman tentang itu diberikan di masjid di dekat situ, seperti dituturkan Riantiarno. Menurut Teguh, gagasan itu datang dari masyarakat sendiri. "Baru pertama kali itu saya mengalami peristiwa yang jauh lebih berkesan dari hingar-bingar sebuah festival film," tuturnya. Siamet Rahardjo bilang, Teguh sangat menghormati hak orang lain -- termasuk hak untuk merasa terganggu. Apalagi jika menyangkut masalah pribadi. "Itu yang membuat kita bisa tetap bekerja sama, dan masyarakat bisa menerima kehadiran sanggar ini," ujar Slamet. Lain dari itu Teguh orang yang sangat berdisiplin. Tapi tidak berarti galak. "Sore ini anak saya berulang tahun. Steve mengirimi satu buket kembang," kata Tuti Indra Malaon, Selasa pekan lalu. Ketika shooting film November 1828, Tuti sakit lever. "Steve menyediakan makanan khusus untuk saya. Di tengah kesibukan shooting ia masih memikirkan orang lain." Roy Marten mengagumi cara kerja Teguh. "Dia membentuk kelompok kerja tetap lewat grupnya. Saya bermaksud membuat kelompok kerja seperti itu." Halaman sanggar di Kebon Pala itu luas. Karena itu pula Teguh Karya bisa meneruskan kegemarannya sejak kecil, berkebun di waktu senggang. Kecuali bila ia membaca. Sutradara yang mengaku menjadi murid Asrul Sani, D. Djajakusuma dan Usmar Ismail ini juga punya kegemaran melukis -- di samping sastra, musik, dan tari. Malah katanya, ia ingin di masa datang kembali ke 'dunia yang luas', yang lebih luas dari sekadar layar film. Hanya, mestinya, jangan dalam waktu dekat, Steve.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus