Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Batas yang semakin menipis

Lapisan sosial kini banyak berubah. kota atau daerah yang kusut kini tak lagi menjadi kalangan di bawah & di pinggiran sepenuhnya. batas antara lapisan sosial yang satu dengan yang lain kini bocor.

26 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA berumur 18 tahun. Rambutnya hitam lebat, terurai ke bahu. Matanya berbentuk lingsa dan jeli. Tububnya sintal, pipinya seperti tomat yang segar. Dia dipanggil Anne, dengan dua "n". Dia pandai merancang mode. Dia gemar membaca Agatha Christie. Dia dinobatkan sebagai "Putri Remaja Indonesia 1980", menurut pilihan majalah Gadis. Tapi yang menarik dari semua itu ialah tambahannya: Anne, dengan dua "n", akan menyumbangkan sebagian hadiah tabanasnya yang sebesar Rp 500.000 buat masjid sekolah. Anne agaknya sebuah fenomena. Beberapa belas tahun yang lalu, di zaman Anne masih bayi atau belum lahir, seorang gadis seperti dia mungkin tak akan terfikir untuk menyumbang masjid. Bahkan di masa itu "masjid sekolah" adalah sebuah benda yang aneh. Tentu, Anne, dengan dua "n", bukanlah kembang yang lama bertengger di tangkai glamour pohon hidup kota besar. Nama lengkapnya Anne Rufaidah. Dia berasal dari desa Babakan Jati, Bandung. Ayahnya petani. Tapi bahwa seorang gadis seperti Anne bisa muncul dari latar itu, pastilah karena apa yang lazim dibayangkan sebagai "desa" dan sebagai "petani" oleh para cendekiawan itu, tidak selalu cocok dengan pengertian Neng Rufaidah dari Babakan Jati dan sanak familinya. Perubahan-perubahan telah terjadi. Dari sebuah lapisan sosial yang dulu tidak masuk hitungan dalam percaturan "superkultur metropolitan", kini muncul bunga, ratusan, aktif bersaingan. Kalangan santri, dari desa atau dari bagian "sana" kota-kota yang agak kusut masai, kini tidak lagi merupakan kalangan yang di bawah dan di pinggiran, sepenuhnya. Maka stereotip-stereotip pun meleleh. Batas-batas bocor. Maria Ulfah, gadis juara nasional Musabaqah Tilawatil Qur'an, pandai bermain piano dan gitar (siapa bilang rebana?). Ia menyukai penyanyi Bobby Vinton, dan Glenn Campbell (siapa bilang orkes gambus?). Yang menarik dari semua itu ialah bahwa sementara selera dan gaya lapisan sosial yang satu merembes ke lapisan yang lain, banyak akar tetap tinggal kokoh. Sejumlah orang memang was-was. Tapi barangkali dalam tiap masyarakat, selalu ada "seksi was-was" di dalamnya. Mereka berwajah masam, dan mungkin punya fungsi dalam kemasaman itu. Tapi bukankah perubahan bisa berharga, tidak semua hal gampang terbuncang dan tidak semua hal jadi buruk? Di masa Anne Rufaidah kecil, belum ada masjid di sekolahnya. Kini seorang anak yang ingin "naik tingkat" dalam ke-pramuka-an harus bisa beribadah. Kini para pejabat seakan-akan berpendapat bahwa karena komunisme adalah atheistis, maka anti-komunis berarti harus taat beragama. Kini kaum cendekiawan yang dulu dikenal sebagai vrijdenker, menemukan agama sebagai penjawab pelbagai pertanyaan dasar, dan penghibur dalam dunia yang telah kecewa kepada impian-impiannya sendiri. Dan nampaknya, perlahan-lahan, kesantrian pun punya wajah yang lain. Sepuluh tahun yang akan datang siapa tahu pembedaan yang dulu berlaku, antara santri dan abangan, misalnya, akan kian cair, dan para sarjana seperti Clifford Geertz harus menemukan kategor isi yang haru. Sementara itu, siapa tahu mereka yang memeluk agama dengan sikap defensif karena menghadapi zaman ini, akan beranjak ke arah sikap yang kreatif: menjawab tantangan kehidupan, juga perubahannya, dengan gembira dan bersyukur -- karena ternyata bahaya yang dulu dicemaskan tak sanggup menghabisi kita. Anne, atau Maria, atau yang lain, boleh mengingatkan kita kecemasan bisa bermanfaat, tapi tak selamanya bisa punva dasar. Mereka, anak-anak muda itu, mungkin tidak persis seperti yang kita harapkan. Tapi seorang yang bijaksana pernah berkata bahwa kita tak boleh memaksa anak-anak kita untuk memakai cara kita. "Karena mereka dilahirkan untuk suatu zaman yang berlainan daripada zamanmu." (Adapun yang mengucapkan itu bukanlah Imam Khomeini, melainkan Imam Ali).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus