IA berumur 18 tahun. Rambutnya hitam lebat, terurai ke bahu.
Matanya berbentuk lingsa dan jeli. Tububnya sintal, pipinya
seperti tomat yang segar. Dia dipanggil Anne, dengan dua "n".
Dia pandai merancang mode. Dia gemar membaca Agatha Christie.
Dia dinobatkan sebagai "Putri Remaja Indonesia 1980", menurut
pilihan majalah Gadis. Tapi yang menarik dari semua itu ialah
tambahannya: Anne, dengan dua "n", akan menyumbangkan sebagian
hadiah tabanasnya yang sebesar Rp 500.000 buat masjid sekolah.
Anne agaknya sebuah fenomena. Beberapa belas tahun yang lalu, di
zaman Anne masih bayi atau belum lahir, seorang gadis seperti
dia mungkin tak akan terfikir untuk menyumbang masjid. Bahkan di
masa itu "masjid sekolah" adalah sebuah benda yang aneh.
Tentu, Anne, dengan dua "n", bukanlah kembang yang lama
bertengger di tangkai glamour pohon hidup kota besar. Nama
lengkapnya Anne Rufaidah. Dia berasal dari desa Babakan Jati,
Bandung. Ayahnya petani. Tapi bahwa seorang gadis seperti Anne
bisa muncul dari latar itu, pastilah karena apa yang lazim
dibayangkan sebagai "desa" dan sebagai "petani" oleh para
cendekiawan itu, tidak selalu cocok dengan pengertian Neng
Rufaidah dari Babakan Jati dan sanak familinya.
Perubahan-perubahan telah terjadi. Dari sebuah lapisan sosial
yang dulu tidak masuk hitungan dalam percaturan "superkultur
metropolitan", kini muncul bunga, ratusan, aktif bersaingan.
Kalangan santri, dari desa atau dari bagian "sana" kota-kota
yang agak kusut masai, kini tidak lagi merupakan kalangan yang
di bawah dan di pinggiran, sepenuhnya.
Maka stereotip-stereotip pun meleleh. Batas-batas bocor. Maria
Ulfah, gadis juara nasional Musabaqah Tilawatil Qur'an, pandai
bermain piano dan gitar (siapa bilang rebana?). Ia menyukai
penyanyi Bobby Vinton, dan Glenn Campbell (siapa bilang orkes
gambus?).
Yang menarik dari semua itu ialah bahwa sementara selera dan
gaya lapisan sosial yang satu merembes ke lapisan yang lain,
banyak akar tetap tinggal kokoh.
Sejumlah orang memang was-was. Tapi barangkali dalam tiap
masyarakat, selalu ada "seksi was-was" di dalamnya. Mereka
berwajah masam, dan mungkin punya fungsi dalam kemasaman itu.
Tapi bukankah perubahan bisa berharga, tidak semua hal gampang
terbuncang dan tidak semua hal jadi buruk?
Di masa Anne Rufaidah kecil, belum ada masjid di sekolahnya.
Kini seorang anak yang ingin "naik tingkat" dalam ke-pramuka-an
harus bisa beribadah. Kini para pejabat seakan-akan berpendapat
bahwa karena komunisme adalah atheistis, maka anti-komunis
berarti harus taat beragama. Kini kaum cendekiawan yang dulu
dikenal sebagai vrijdenker, menemukan agama sebagai penjawab
pelbagai pertanyaan dasar, dan penghibur dalam dunia yang telah
kecewa kepada impian-impiannya sendiri.
Dan nampaknya, perlahan-lahan, kesantrian pun punya wajah yang
lain. Sepuluh tahun yang akan datang siapa tahu pembedaan yang
dulu berlaku, antara santri dan abangan, misalnya, akan kian
cair, dan para sarjana seperti Clifford Geertz harus menemukan
kategor isi yang haru.
Sementara itu, siapa tahu mereka yang memeluk agama dengan sikap
defensif karena menghadapi zaman ini, akan beranjak ke arah
sikap yang kreatif: menjawab tantangan kehidupan, juga
perubahannya, dengan gembira dan bersyukur -- karena ternyata
bahaya yang dulu dicemaskan tak sanggup menghabisi kita.
Anne, atau Maria, atau yang lain, boleh mengingatkan kita
kecemasan bisa bermanfaat, tapi tak selamanya bisa punva dasar.
Mereka, anak-anak muda itu, mungkin tidak persis seperti yang
kita harapkan. Tapi seorang yang bijaksana pernah berkata bahwa
kita tak boleh memaksa anak-anak kita untuk memakai cara kita.
"Karena mereka dilahirkan untuk suatu zaman yang berlainan
daripada zamanmu."
(Adapun yang mengucapkan itu bukanlah Imam Khomeini, melainkan
Imam Ali).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini